Misalnya, si kecil biasa bangun pukul 06:00, terus mandi, ganti pakaian seragam, dan sarapan. Nah, pagi ini mungkin dia juga bangun seperti biasa hanya saja tak langsung mandi, tapi bermain-main dulu dengan mainan kesayangannya. Ketika disuruh mandi, dia menolak dengan berbagai alasan. Setelah dipaksa barulah dia mau mandi. Di kamar mandi pun, bikin ulah. Alhasil, ia terlambat tiba di sekolah. Bukan tak mungkin kita pun "mengalah", "Ya, sudahlah. Hari ini nggak usah 'sekolah'. Habis sudah terlambat sekali." Si kecil pasti kegirangan, "Asyik!" Karena memang itulah yang dia inginkan. Boleh jadi besok dan besoknya lagi hal itu akan diulanginya kembali.
Bisa terjadi si kecil kemudian berbohong, "Aku mengantuk, nih, Ma," atau "Perutku sakit, Ma,". Kebohongan ini, menurut Gerda, hanyalah defense mechanism yang sifatnya untuk secara rasional mengatakan pada ibunya, "Aku, tuh, enggak mau 'sekolah'."
Bila kebohongan ini terjadi berulang kali dan si anak memang berada dalam suatu tekanan psikologis, maka bisa mengarah ke reflek-reflek somatis pada badan. Dia jadi sakit perut betulan, misalnya, buang-buang air, sakit kepala, dan sebagainya.
Karena itu, anjur Gerda, "Orang tua seharusnya melihat respon-respon anaknya. Mungkin dari perubahan wajah, suara, tingkah lakunya, dan sebagainya. Komunikasikanlah dengan anak." Dengan demikian, orang tua bisa segera tanggap terhadap alasan sebenarnya yang tersembunyi di balik "ulah" si kecil.
Selanjutnya yang perlu dilakukan orang tua ialah bicara dengan guru si anak. Atau dengan kepala sekolah bila ternyata si guru tak bersikap terbuka. Soalnya, tak jarang kita dapati guru yang langsung emosional kala orang tua "mengeluhkan" anaknya. Entah karena si guru takut disalahkan atau memang punya sifat arogan sehingga selalu menganggap orang tua tak tahu apa-apa. Bisa juga si guru over power karena dia merasa, di kelas dirinyalah yang "berkuasa" sehingga orang tua harus tunduk padanya.
Tapi Anda tak perlu kecil hati karena masih lebih banyak guru TK yang baik, kok. Yang penting, cepatlah tanggap terhadap sinyal-sinyal yang diperlihatkan si kecil. Kalau tidak, yang terjadi kemudian si kecil sudah terlanjur "mogok".
Julie Erikania/nakita
KOMENTAR