"Iman Dharma/nakita "
"Kemarin anakku jadi juara lagi, lo." Bangga, kan? Ya, begitulah orang tua.Kalau mau jujur, setiap orang tua pasti ingin anaknya berprestasi. Makanya, tak heran kalau banyak orang tua yang begitu antusias mengikutsertakan anaknya dalam berbagai lomba. Bahkan, sejak bayi sudah diajak berlomba. Agak besar sedikit, si kecil pun dikursuskan supaya bakatnya makin berkembang. Alhasil, piala kemenangannya pun makin banyak. Coba, siapa yang enggak bangga?
Tapi apakah benar anak balita sudah bisa berprestasi? Ternyata, tidak! Seperti dituturkan Dra. Shinto B. Adelar, MSc. dari Fakultas Psikologi UI, anak usia balita belum bisa berprestasi di bidang apa pun. Karena, "Yang namanya prestasi itu harus ada usaha terus-menerus dan tekun di satu bidang. Jika dari kecil ia kontinyu menekuni satu bidang tertentu, dilatih, dan didukung lingkungan sekelilingnya, maka akan bisa menunjukkan prestasinya kelak. Contohnya, pecatur Utut Adianto atau pebulutangkis Mia Audina."
Juara menyanyi, menggambar, dan lainnya di usia balita, kata Shinto, bukanlah prestasi. "Mungkin saja ia memang berbakat di bidang itu dan tanpa usaha pun, hasilnya akan bagus. Jadi, wajar saja. Tak perlu dibangga-banggakan." Tinggal selanjutnya bagaimana orang tua mengembangkan bakat tersebut agar kelak si anak bisa berprestasi. Kalau tidak, "Juara-juara di usia dini ini tak akan bertahan."
MASIH BERKEMBANG
Menurut Shinto, usia 3-5 tahun bukanlah usia untuk berprestasi. "Anak usia 3-5 tahun masih dalam usia perkembangan. Jadi, masih banyak aspek yang harus dikembangkan. Baik aspek fisik, intelektual, emosi, maupun aturan bertingkah laku."
Secara fisik, misalnya, konsentrasi koordinasi motorik kasar maupun halus. Ia harus bisa menjaga keseimbangannya agar dapat berjalan dengan benar, terampil melompat, memanjat, naik sepeda, main tali, dan sebagainya. Begitupun motorik halusnya, bagaimana ia mengkoordinasikan apa yang dilihat dengan gerakan tangannya.
Dari sisi inteligensi, antara lain kemampuan konsentrasi, ketajaman persepsi, dan daya tahan untuk menuntaskan suatu tugas tertentu. Perkiraan mengenai orientasi keruangan, jumlah, waktu, dan sebagainya, juga masih harus dikembangkan. Demikian pula kemampuan verbalnya: bagaimana mengembangkan kosa kata dan mengekspresikan keinginan maupun perasaannya.
Dari aspek emosi, misalnya, anak masih harus belajar untuk lebih mengerti perasaan-perasaannya. Entah itu sedih, senang, kesal, marah, dan sebagainya sehingga ia dapat mengekspresikannya secara benar. Kecerdasan emosional ini sangat penting agar anak dapat mengendalikan emosinya. Kalau tidak, ia akan diatur oleh perasaannya. Hal mana dapat mempengaruhi performance-nya kelak dalam pekerjaan dan tingkat keberhasilannya.
Sementara aturan tingkah laku mencakup pengembangan kemampuan bergaul dengan anak lain, sehingga anak tahu perilaku mana yang boleh dan tidak. Harap diingat, anak usia ini masih egosentris. Ia harus dilatih untuk berbagi dan mengerti perasaan/keinginan orang lain, yang akan membantunya mengontrol dan mematangkan emosinya.
Nah, semua aspek perkembangan tersebut masih perlu dimantapkan di usia ini. Kalau tidak, akan mempengaruhi konsep diri dan kemampuan si anak ketika tiba saatnya untuk berkompetisi, yaitu di usia Sekolah Dasar. Jadi, tandas Shinto, "Janganlah anak usia ini disuruh cepat-cepat berprestasi karena perkembangannya belum sempurna. Kecuali anaknya jenius. Tapi itu pun jarang sekali."
BANGKITKAN KESENANGANNYA
Shinto khawatir bila anak balita terus dipacu berprestasi atau terlalu dibangga-banggakan, maka akan menghambat perkembangannya. "Anak jadi tak termotivasi lagi dan malas. Atau mungkin ia akan memberontak pada suatu hari nanti karena ia dipaksa harus menghasilkan sesuatu yang bagus, harus menang."
Lain ceritanya jika ia melakukannya atas dasar minat atau memang suka. Pada kasus ini, anak akan menumpahkan segala kreasinya tanpa peduli orang akan mengatakan bagus atau tidak. Nah, kalau kemudian ia dapat berprestasi dengan bagus, maka hal itu merupakan usahanya yang terus-menerus.
Karena itu, anjur staf pengajar pada Fakultas Psikologi UI ini, yang terbaik ialah mengembangkan potensi yang dimiliki si anak. Caranya? Telusuri minat dan bakatnya, lalu kembangkan. Misalnya, suaranya bagus, latihlah ia dengan cara memasukkannya ke kursus menyanyi agar suaranya tetap terjaga dan bisa belajar teknik-teknik menyanyi yang benar.
"Kursus-kursus itu banyak manfaatnya. Apalagi untuk talenta khusus seperti menyanyi, menggambar, main catur, dan sebagainya." Karena itu, menurut Shinto, anak dikursuskan sebanyaknya juga tak apa-apa. Apalagi jika orang tua belum tahu, apa bakat anaknya. "Lewat berbagai kursus yang diikutinya, kita amati, mana yang paling dia sukai." Cuma, ingat Shinto, sebaiknya orang tua tak memaksa. "Namanya anak, satu saat ia bisa merasa tak senang lagi alias bosan. Jangan paksa. Biarkan dia berhenti dulu, nanti baru kita bujuk pelan-pelan."
Bagaimana dengan mengikutkan anak pada aneka lomba? "Lihat dulu, anaknya senang atau tidak? Kalau tak suka, ya, jangan paksa. Selain hasilnya tak optimal, si anak pun akan tertekan." Namun sebaliknya, jika si anak ingin, "Orang tua tak perlu memaksanya untuk jadi juara." Jikapun ia menang, harap diingat, hal itu belumlah dapat dikatakan suatu puncak prestasi.
Pada usia ini, kata Shinto, yang penting bukan hasil akhirnya (juara atau tidak), tetapi prosesnya. Bagaimana menumbuhkan kesenangan pada anak untuk mengerjakan sesuatu, bukan demi mencapai hasil sesuatu. "Kalau dia senang, tentunya dia akan terdorong dengan sendirinya. Tanpa disuruh pun ia akan mau melakukannya."
JUARA BUKAN SEGALANYA
Satu hal diingatkan Shinto, jangan pernah membanding-banding anak. Entah dengan teman-temannya maupun saudara kandungnya. "Itu sama sekali tidak benar. Tiap orang punya bakat dan kemampuan masing-masing, punya inteligensi dan temperamen yang berbeda. Orang tua tak bisa menuntut anak melakukan sebagus anak lain atau seperti saudaranya yang memang berbakat."
Hal lain yang juga penting dipahami orang tua ialah reaksi mereka terhadap kemenangan-kemenangan yang diperoleh anak dapat membentuk perilaku si anak. "Kalau orang tua terlalu membangga-banggakan dan menganggap juara adalah segala-galanya, maka anak bisa melecehkan teman-temannya yang tak pernah jadi juara."
Karena itu, tunjukkan kepada anak, setiap orang punya kemampuannya masing-masing. Misalnya, "Kamu memang pintar menyanyi, tapi bukan tidak mungkin temanmu juga ada yang pintar menyanyi tapi mereka tak pernah ikut lomba seperti kamu sehingga tak jadi juara. Kalau mereka ikut, mungkin saja bisa jadi juara."
Dengan menunjukkan kelebihan anak lain dan menyadari kemampuan masing-masing, maka si anak tak akan menjadi sombong. Begitu pula jika anak menjadi "bintang kecil" alias tenar. Jangan mentang-mentang dia selalu didatangi atau disapa lebih dulu oleh teman-temannya, maka dia lantas tak mau mendahului. Tetap ajarkan padanya untuk mendahului berkenalan. Misalnya di dekat rumah ada tetangga baru, ajak dia berkenalan.
Selain itu, jika suatu hari anak tak mendapatkan kemenangan lagi, tentu ada pengaruhnya. Anak akan kecewa. "Jelaskan padanya, itu tak masalah. Tanamkan padanya, ia tak selalu harus jadi juara." Dalam hal ini orang tua harus menerima emosi anak yang tengah sedih karena gagal. Ajaklah ia bicara, "Waktu dulu kamu juara, teman-teman kamu juga merasa seperti kamu sekarang ini. Nah, sekarang gantian. Mungkin selama ini kamu memang yang paling bagus di antara teman-temanmu. Tapi, kan, temanmu banyak dan mungkin saja ada yang lebih bagus dari kamu."
Dengan demikian anak akan tahu, di lingkungan terbatas, mungkin dia "jago"nya. Tapi di lingkungan yang lebih luas, ada yang sama pintarnya dengan dia dan ada juga yang lebih pintar. Itulah kenyataan hidup yang harus dikemukakan agar anak tahu dan mengerti bahwa dia tak akan selamanya menang terus.
Dedeh Kurniasih/nakita
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR