"Iman Dharma/nakita "
"Tina, enggak mau ke dokter, Ma, takut disuntik!" Dibujuk apa pun, Tina tetap menolak. Akhirnya, tak ada cara lain kecuali memaksanya kendati Tina berontak.
Kejadian itu pulakah yang sering Anda alami? Nah, agar si kecil berani ke dokter, seperti dianjurkan dr. Najib Advani, Sp.A, M.Med.Paed., orang tua jangan pernah menjadikan dokter sebagai figur yang ditakuti. Bagaimana si anak mau ke dokter jika setiap kali ia tak mau makan atau malas mandi, Anda mengancamnya dengan kalimat, "Nanti Ibu bawa ke dokter, lo, biar disuntik!" Justru kita harus menciptakan dokter sebagai figur yang familiar.
Caranya? "Misalnya, sering-sering main dokter-dokteran. Jelaskan bahwa dokter adalah orang yang membantu menyembuhkan penyakitnya," saran dokter anak dari Sub. Bag. Kardiologi Anak, Bag. Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSUPN Cipto Mangunkusumo ini.
JUJUR
Najib juga menganjurkan agar orang tua tidak membohongi anak. "Bilangnya mau diajak ke mal tak tahunya dibawa ke dokter. Buat anak, itu sesuatu yang menyakitkan hatinya hingga akhirnya ia tak akan percaya lagi pada kata-kata orang tuanya." Berterus teranglah jika ia akan diajak ke dokter. Tentu saja dengan bahasa yang mudah dimengerti anak. Contohnya, "Dokter bisa membantu kamu sembuh dari sakit. Nggak enak, kan, sakit terus. Kamu jadi nggak bisa main sepeda."
Jelaskan pula apa yang bakal dialami anak setibanya di tempat praktek dokter atau rumah sakit. Misalnya, nanti ia diminta membuka mulut, buka baju untuk diperiksa, dan seterusnya. "Kalau perlu, sambil diperagakan. Atau gunakan boneka, pura-puranya si boneka jadi pasien." Dengan demikian, lanjut Najib, "Anak merasa tenang karena sudah tahu apa yang bakal dialaminya. Ini sekaligus bisa mengusir rasa takutnya."
Jika ia harus disuntik, entah itu untuk imunisasi, jelaskan pula pada anak. Katakan dengan jujur, ia akan merasa sedikit sakit. "Itu, lo, rasanya seperti kalau kamu dicubit. Tapi enggak usah takut, sakitnya cuma sebentar. Habis itu, badanmu jadi enggak panas lagi."
Untuk anak batita, tutur Najib, tak ada salahnya dibolehkan membawa mainan/boneka kesayangannya sehingga ia merasa "aman" dan tak bosan menunggu. Bawakan ia makanan, minuman, baju ganti, jika antrean di dokter panjang.
TIGA A
Ada dokter yang mungkin lupa, pasiennya adalah anak kecil dan bukan orang tua si anak. Alhasil, dokter cuma asyik bicara dengan orang tua dan melupakan anak. "Akibatnya, anak jadi takut pada dokter," tutur pengajar di FKUI ini. Dengan kata lain, carilah dokter yang komunikatif dengan anak.
Dokter yang baik, menurutnya, akan menyapa anak saat pertama kali ia masuk ke ruang praktek, lalu mengajaknya ngobrol , menanyakan nama si anak atau, "Sudah makan belum. Bagian tubuh mana yang sakit?" Anak akan merasa diperhatikan dan familiar dengan dokternya. "Salah satu cara yang digunakan dokter untuk menciptakan rasa familiar, si dokter pakai baju biasa, bukan baju putih," kata Najib.
Sebaiknya, lanjut Najib, si anak juga diajarkan menyapa dokternya bila masuk ruang periksa sehingga si kecil merasa familiar. "Beri dorongan agar anak dapat mengutarakan sendiri keluhan penyakitnya. Anak juga perlu diajarkan berani bertanya tentang semua hal yang ingin diketahuinya perihal penyakitnya," tutur Najib.
Selain komunikatif dengan si anak, tutur Najib, dokter yang baik juga komunikatif dengan orang tua. Mau mendengar keluhan-keluhan pasien dan mengatasi aneka problem yang timbul. Pengobatannya juga baik.
Ahli jantung anak ini juga menambahkan, dokter ideal di mata pasien harus memenuhi 3 A, yaitu Attitude(sikap), Ability(kemampuan), dan Appearence (penampilan).
RAWAT INAP
Nah, ini juga bikin anak takut. Apalagi para batita yang sangat sensitif akan perasaan dipisahkan dari orang tuanya, "Ia takut, jangan-jangan selamanya akan dipisahkan dari orang-orang terdekatnya." Belum lagi, rumah sakit merupakan lingkungan baru baginya. Rasa takutnya pun jadi dobel.
Kalau anak memang harus menjalani rawat inap, "Katakan terus terang padanya. Ceritakan hal-hal yang menyenangkan yang akan dialaminya di situ. Misalnya, pagi-pagi dibangunkan suster, diukur suhunya, dimandikan, diberi makanan, dan lainnya." Jangan hanya menekankan "karena kamu sakit harus dirawat di RS." Sedapat mungkin, terutama untuk anak balita, temani anak selama ia dirawat. Kalau tak memungkinkan (tak diizinkan rumah sakit), sedapat mungkin berada tak jauh-jauh dari anak. "Minimal, sesiangan anak ditemani."
Jika memungkinkan, sesampainya di rumah sakit, ajak si kecil berkeliling melihat-lihat ruang-ruang di rumah sakit. Tunjukkan letak ruang operasi, ruang dokter, tempat bermain, dan sebagainya. "Jadi anak bisa berpikir, 'Enak juga, ya, di sini,'" kata Najib.
Jangan lupa bawakan ia mainan, bantal kesayangan, atau makanan dan minuman kesukaan si kecil (bila ia tak diharuskan diet). Dengan begitu, ia akan merasa seperti di rumah. "Jika rumah sakit sudah menyediakan segalanya, seperti diapers, pakaian ganti selama di rumah sakit, ya, orang tua tak perlu membawanya juga," tambah pengasuh rubrik Tanya Jawab Kesehatan Anak nakita ini.
Najib mengingatkan, anak usia batita kadang sukar untuk bed rest (istirahat total di tempat tidur) dan minta digendong terus, "Bujuklah ia agar bermain di tempat tidurnya. Beri ia mainan yang dapat dilakukan sambil berbaring. Misalnya bawakan ia video game, play stasion, atau bacakan buku-buku cerita."
Untuk mengatasi rasa bosannya selama dirawat dalam waktu lama, ajak ia bermain-main di sekeliling rumah sakit. "Di sini sudah ada beberapa rumah sakit yang menyediakan ruang khusus untuk tempat anak-anak main lengkap dengan permainannya. Nah, dia bisa diajak ke situ," ujar Najib.
Ke Dokter Umum Atau Dokter Anak
Idealnya, sih, untuk anak kecil sebaiknya dibawa ke dokter spesialis anak, meskipun bukan suatu keharusan. Setidaknya, dokter anak lebih memahami penyakit anak karena pendidikan di bidang penyakit anak lebih mendalam ketimbang dokter umum.
"Tapi kalau keadaannya tak memungkinkan, misalnya karena terlalu jauh atau terlalu mahal, tak ada salahnya berobat ke dokter umum," kata dr. Najib. Siapa tahu cocok. Toh, kalau ada kasus yang khusus, pasien akan tetap dirujuk ke dokter spesialis.
Biasanya yang sering jadi faktor penentu orang tua memilih dokter ialah kepuasan. "Semuanya tergantung kecocokan hati. Apakah ia sreg atau tidak dengan dokter tersebut," terang dokter anak yang juga praktek di RS Siloam Gleneagles dan RS International Bintaro ini.
Siapa pun yang dipilih, saran Najib, carilah dokter yang terdekat dengan rumah. "Kalau ada apa-apa dan harus segera ke dokter, waktunya tak terbuang terlalu banyak di perjalanan. Bisa saja, kan, di tengah jalan si kecil keburu kejang, dan sebagainya."
Soal tempat praktek yang ramai atau sepi, menurut Najib, tak harus jadi patokan. "Semuanya punya kelebihan dan kekurangan. Kalau ingin tenang berkonsultasi, tanpa harus diburu-buru oleh pasien lain, tak ada salahnya memilih tempat praktek yang sepi," katanya. Dokter yang terlalu ramai dan banyak pasien biasanya waktunya terbatas untuk masing-masing pasien. Akibatnya, konsultasi jadi tak bisa santai dan tergesa-gesa.
"Tapi bukan berarti yang tempat prakteknya ramai lantas jelek, ya!" tukas Najib. Biasanya tempat praktek yang ramai, terangnya, ada sebabnya. "Entah karena dokternya sangat komunikatif, dapat menjawab dan menyelesaikan masalah yang dihadapi orang tua, obatnya manjur, atau tarifnya sangat reasonable," tuturnya.
Bisa pula karena si dokter mau menjawab bila ditelepon pasien. Sebab, kesabaran dan kesediaan dokter untuk menerima telepon juga disukai pasien. "Karena anak, kan, sangat ringkih. Bisa saja saat datang periksa, panasnya hanya 38 derajat, tapi malamnya ternyata meningkat jadi 40 derajat, bahkan kejang-kejang. Nah, dokter yang baik selayaknya membuka komunikasi lebar-lebar," terangnya. "Di beberapa negara maju, konsultasi melalui telepon sudah merupakan bagian dari praktek itu sendiri, sehingga dokter yang sibuk mempunyai petugas yang khusus melayani konsultasi via telepon," terang dokter yang sempat menimba ilmu di Belanda dan Australia ini.
Tapi bukan pula berarti tempat praktek sepi disebabkan dokter tidak baik dan tak komunikatif. Sebab, tutur Najib, "Bisa saja dokter tersebut sebenarnya sangat baik dan komunikatif, tapi karena baru buka praktek, pasiennya masih sedikit. Bisa juga karena ia memang membatasi jumlah pasiennya."
Jadi? Semuanya terpulang kepada Anda. Bila tak keberatan menunggu berjam-jam dan merasa puas dengan dokter itu meski hanya bertemu sebentar, silakan saja. Tapi bila Anda tak suka antri lama-lama karena takut si kecil tambah rewel, ya, pilih tempat praktek yang sepi.
Satu hal diingatkan Najib, kendati dokter bersedia ditelepon, sebaiknya orang tua juga mengerti keadaan dokter. "Jangan sedikit-sedikit telepon dokter. Karena dokter, kan, juga perlu istirahat dan harus melayani banyak orang," terangnya. Jadi, bila si kecil hanya panas di tengah malam, misalnya, cobalah ditangani dulu dengan memberinya obat penurun panas dan dikompres. "Siapa tahu panasnya turun. Baru paginya mengunjungi dokter."
Lain hal bila panasnya sangat tinggi hingga kejang-kejang, atau si kecil diare terus-menerus hingga lemas dan muntah-muntah. Ini harus segera dibawa ke dokter, meskipun di malam hari. "Jadi, harus dilihat derajat penyakitnya, apakah emergency atau tidak," kata Najib.
Bila dokternya tak bisa dihubungi, orang tua bisa membawa si kecil ke bagian gawat darurat 24 jam di rumah sakit.
Kapan Harus Pindah Dokter ?
Ada orang tua yang baru dua hari membawa anaknya ke dokter A, besoknya sudah pindah lagi ke dokter B. Alasannya, panas anak tak juga turun. Padahal, kata Najib, berpindah-pindah dokter tak bagus. "Kalau baru dua hari sudah pindah dokter, berarti dokter kedua melakukan pemeriksaan dari awal lagi," jelasnya.
Lebih baik habiskan dulu obat dari dokter pertama. Bila tak kunjung sembuh, kembalilah ke dokter tersebut untuk menanyakan sebabnya. "Karena kondisi penyakit bisa berubah-ubah setiap waktu. Jadi, bukan karena dokternya yang kurang bermutu dan obatnya tidak manjur," tukas Najib.
Lain halnya bila si anak sudah berobat berkali-kali tapi tetap tak ada perubahan, bolehlah orang tua mencari pendapat dokter lain. Meski tak tertutup kemungkinan diagnosa dokter kedua ini pun sama dengan dokter pertama.
Untuk yang selalu berpindah dokter, Najib mengingatkan agar membawa data medis si kecil. Biasanya dokter anak akan memberikan satu buku atau kartu untuk dipegang orang tua si pasien. Kalau dokter tak memberi kartu data medis, kita boleh memintanya kepada si dokter.
Lewat kartu data medis itulah dokter kedua bisa melihat perkembangan pasien. Ia jadi tahu, obat apa saja yang pernah diberikan, apakah pasien pengidap alergi tertentu, dan lainnya. Idealnya, dokter kedua pun melanjutkan data pasiennya di kartu tersebut.
Mungkin saja terjadi, karena pindah-pindah dokter, data medis jadi kacau karena tak semua data dituliskan di sana, sementara dokter yang baru tak hapal dengan keadaan si pasien sebelumnya.
Apa pun, saran Najib, sebaiknya tak berpindah-pindah dokter karena hal ini menyangkut perkembangan medis si anak. Dengan hanya berobat pada satu dokter, maka si dokter jadi tahu persis bagaimana perkembangan dan kondisi pasiennya.
Itulah mengapa Najib juga menganjurkan orang tua agar membawa anaknya kontrol ke dokter, kendati sehat. Untuk anak usia 1-3 tahun, sarannya, kontrol 3 bulan sekali. Dengan begitu, perkembangan si anak dapat terus terpantau. "Bila ada kelainan yang tak sesuai perkembangan usianya, bisa cepat ditangani dokter," jelas Najib.
Menjelaskan Penyakit
Anak usia 2-3 tahun biasanya sudah mengerti. Jadi tak ada salahnya ia diberi tahu soal penyakitnya dengan bahasa yang sederhana. Misalnya, "Kamu sakit berak-berak. Makanya makannya harus bubur. Kalau makan yang keras-keras, ususnya enggak kuat. Nanti kalau sudah sembuh, boleh makan yang keras-keras lagi."
Menurut Najib, tak perlu memberi tahu nama penyakitnya. "Terutama untuk anak yang sensitif. Jika diberi tahu ia mengidap kanker, misalnya, ia bisa langsung patah semangat, merasa akan segera mati." Jadi, "Ayah dan ibu juga harus memikirkan dampak psikologisnya pada anak."
Jika si kecil harus pakai alat bantu seperti pada penderita thalassemia, terangkan saja secara sederhana. "Darahmu kurang bagus. Nah, kalau pakai alat ini, darahnya jadi baik dan kamu jadi kuat kembali."
Sebaiknya anak juga dijelaskan kalau memang harus menjalani operasi. "Contohnya ada anak yang menduga kalau operasi amandel itu lehernya dipotong. Nah, terangkan bahwa mulutnya nanti diminta menganga, terus amandelnya diangkat. Dengan demikian ketakutannya akan berkurang," terang Najib.
Indah Mulatsih/nakita
KOMENTAR