"MEMBELI" TEMAN
Lantas, apa yang terjadi pada si anak yang ditolak ini? "Anak jadi merasa minder atau rendah diri dan tak percaya diri dalam lingkungannya. Ia merasa tak aman, cemas karena merasa ditolak," terang Evi. Sekalipun ia anak agresif, perasaan-perasaan itu juga ada pada dirinya. "Sebab, meski tampaknya anak agresif itu berani, bukan berarti ia selalu percaya diri."
Biasanya anak-anak yang ditolak akan melakukan berbagai cara agar bisa diterima teman-temannya. Mencari perhatian dengan cara mengganggu, misalnya. "Nah, si teman, kan, akan bereaksi meski rekasinya itu dalam bentuk marah. Tapi si anak tak sedih atau kecewa karena temannya marah. Buat dia, yang penting temannya sudah bereaksi."
Pada umumnya, lanjut Evie, anak-anak yang ditolak ini akan berusaha "membeli" teman-temannya. Misalnya, dengan bersikap penurut. Apa saja yang dikatakan atau diminta temannya, diturut. Yang penting ia punya teman dan dia bisa diterima sang teman. Ada pula yang lantas menjadi "bos", sering menjajani teman-temannya.
Nah, kalau anak tak segera "diluruskan" maka cara-cara di atas itulah yang akan terus dipakainya saat ia besar nanti. Tentu saja dampaknya tak bagus untuk si anak. Antara lain, ia tak belajar bagaimana seharusnya berperilaku yang dapat diterima secara sosial.
Di sisi lain, anak yang merasa ditolak biasanya juga akan berusaha mencari teman pengganti. Bisa berbentuk hewan piaraan, teman khayal, maupun anggota keluarga. Keuntungannya, anak memiliki obyek atau orang lain sebagai penyalur kebutuhannya untuk berteman atau bersosialisasi. Paling tidak, tutur Evi, "Ia merasa dirinya tak ditolak sepenuhnya oleh lingkungan. Buktinya, masih ada yang menerima dirinya. Perasaan bahwa ia diterima dan berharga ini amat penting bagi anak."
Kerugiannya, anak hanya selalu ada dalam lingkungan itu-itu saja, di mana ia merasa aman dan diterima. Karena hari-harinya dikelilingi oleh lingkungan yang sudah ia kenal, maka ketika ia harus keluar dari lingkungan tersebut, ia akan kesulitan untuk beradaptasi. Ia merasa tidak aman dan cemas. "Mungkin penyesuaian dirinya jadi lebih lama dibanding anak lain ketika ia harus masuk ke dalam lingkungan baru," terang Evi.
BAIK BURUK TEMAN KHAYAL
Di buku Perkembangan Anak, si penulis, Elizabeth Hurlock, menulis, anak kecil biasanya menganggap teman khayal sebagai pengganti teman bermain nyata yang memuaskan. Baginya, teman khayal seolah-olah hidup, punya nama, ciri fisik, dan kemampuan untuk melakukan sesuatu.
Segi baiknya, hal ini menimbulkan pengaruh sosialisasi pada diri anak. Anak dapat melatih keterampilan bahasa melalui pembicaraan dan permainan sederhana dengan teman khayalnya. Permainan itu akan merangsang kreativitas yang dapat diterapkannya dalam permainan dengan teman nyata.
Sayangnya, teman khayal tak dapat mengajari si anak keterampilan bermain atau mempelajari permainan yang bersifat kooperatif serta sportivitas. Yang lebih parah, teman khayal mendorong anak belajar menjadi orang yang suka memerintah karena dengan teman khayalnya, si anak bisa berperan sebagai pemimpin dan mendominasi situasi permainan.
Kerugian yang sama juga akan dialami si anak bila teman penggantinya adalah hewan piaraan. Hanya saja, Elizabeth melihat, hewan piaran masih lebih menguntungkan ketimbang teman khayal. Sebab, melalui hewan piaraan, anak belajar memberikan kasih sayang dan perhatian. Ia pun tak bisa sepenuhnya bersikap dominan karena adakalanya sang hewan tak mau mengikuti perintahnya. Dengan demikian, ia belajar untuk berempati. Ini merupakan salah satu "modal" penting bagi anak dalam menjalin hubungan dengan teman.
KOMENTAR