Jika sesaat setelah mengonsumsi obat lalu timbul gejala yang tak diharapkan, mungkin saja ini gejala keracunan obat. Mari cari tahu lebih lanjut!
Anda mungkin pernah mendengar kasus seseorang yang tubuhnya melepuh dan gosong setelah mengonsumsi obat yang diresepkan seorang paramedis rumah sakit di suatu daerah yang membuka praktik pribadi di rumah.
Seusai mengonsumi obat itu, orang tadi mengeluh tubuhnya terasa amat panas dan kulitnya gatal. Lama kelamaan kulitnya jadi menghitam seperti gosong, bahkan matanya terancam buta.
Lain lagi dengan kasus yang pernah ditemukan di Sumatera Utara. Seorang wanita dikabarkan meninggal dunia dengan tubuh melepuh seusai mengonsumsi suplemen mengandung klorofil. Dugaan sementara wanita itu meninggal akibat keracunan obat.
Begitu banyak kasus serupa ditemui di media massa. Banyak pula asumsi yang dikaitkan akibat malpraktik dokter yang menyebabkan terjadinya kasus keracunan obat ini. Bagaimana sebenarnya yang terjadi dengan kasus keracunan obat ini?
DR. dr. Parlindungan Siregar, Sp.PD, KGH, konsultan sub-bagian ginjal divisi penyakit dalam Siloam Hospital Karawaci yang kerap disapa Parlin, menjelaskan fakta mengenai keracunan obat dan menjelaskan yang sebenarnya terjadi dari sudut pandang medis.
Malapraktik Vs Alergi Obat
Memang mengerikan bila menemui reaksi tak diharapkan dari sebuah pengobatan. Tak hanya menyebabkan gatal atau bengkak di bagian tertentu tubuh, tapi beberapa juga menyebabkan seluruh tubuh melepuh seperti luka bakar, hingga hilang kesadaran.
Bukan hanya sesaat setelah mengonsumsi obat, saat jarum injeksi belum selesai dicabut pun seseorang bisa saja menunjukkan reaksi, misalnya pingsan. Bila sudah begini, keluarga pasti panik mencari penjelasan lebih lanjut. Dokterkah yang bersalah?
Menanggapi hal ini, Parlin tak setuju bila contoh dua kasus di atas disebut sebagai kasus keracunan obat. Parlin lebih sepakat ini disebut sebagai reaksi alergi obat. Dalam dunia medis alergi obat diklasifikasikan sebagai adverse drug reaction atau reaksi simpang obat.
Reaksi semacam ini memang bisa terjadi pada siapapun, tak jauh berbeda dengan reaksi alergi pada makanan. "Memang, seluruh bahan obat berpeluang menyebabkan terjadinya reaksi alergi pada seseorang," ungkap Parlin.
Namun, berat dan tidaknya reaksi yang ditimbulkan tergantung dari sensitivitas imun yang mengenali bahan obat sebagai benda asing. Reaksi yang bersifat ringan biasanya hanya menimbulkan bengkak pada mulut atau mata. Atau berupa gatal di bagian tubuh tertentu seperti kaki, tangan, dada, atau seluruh tubuh.
Sedangkan reaksi yang lebih berat bisa menimbulkan kulit melepuh dan pecah-pecah, atau biasa disebut stevens jhonson syndrome. Bahkan gejalanya juga bisa membuat sesak nafas hingga pingsan, akibat tekanan darah anjlok tiba-tiba.
"Ini sama sekali tak ada hubungannya dengan kondisi tubuh seseorang. Hanya soal kepekaan saja," Parlin meluruskan anggapan yang mengaitkan sakit pendahulu dengan reaksi alergi pada seseorang.
Reaksi alergi ini merupakan bawaan yang sudah dimiliki seseorang sejak lahir, begitu pula potensi reaksi yang mungkin terjadi. Bukan hanya reaksi alergi yang patut diwaspadai dari reaksi simpang obat ini, kontraindikasi obat pun patut diberi perhatian.
Obat-obatan tertentu diketahui berpotensi menimbulkan reaksi terhadap kondisi tertentu. Misalnya, pada wanita hamil dilarang menggunakan antibiotik tetrasiklin yang dapat menimbulkan kelainan pada janin.
Pada penderita asma tak boleh menggunakan obat darah tinggi jenis beta blocker yang bisa memicu asma kambuh. Obat golongan steroid tak boleh diberikan kepada orang dengan luka (ulkus) lambung, karena dikhawatirkan bisa memicu perdarahan lambung.
"Biasanya kontraindikasi obat sudah tercantum pada kemasan obat dan sudah diketahui oleh dokter yang meresepkan obatnya," tegas Parlin.
Laili Damayanti
KOMENTAR