Pementasan yang sepanjang pertunjukan selalu dipadati penonton ini sekaligus juga membuktikan proses regenerasi di tubuh Teater Koma dengan tampilnya Rangga sebagai sutradara. Ini adalah debut pertama Rangga sebagai sutradara. Dalam katalog pertunjukan Rangga mengungkapkan, "Pemilihan naskah Antogoneo sebagai debut penyutradaraan saya tidak lepas dari hubungan baik yang telah dibina Teater Koma dengan Evald Fliser," ujar Rangga yang sebelumnya menerjemahkan karya Evald, What about Leonardo dan dipentaskan Teater Koma tahun 2007 dengan judul Kenapa Leonardo.
Dua tahun setelah pementasan itu, "Evald mengirimkan sebuah naskah yang baru dia tulis, versi modern Antogone karya Sophocles. Saya tertarik dengan tema mempertahankan kuburan yang akan digusur karena secara realita, peristiwa itu universal dan bisa memiliki banyak makna metaforis," tutur putra pasangan N. Riantiarno dan Ratna itu.
Lakon Antigonoe menceritakan tentang krisis ekonomi yang menyeret sebuah kota kecil pinggir pantai ke ambang kebangkrutan. Ada proyek baru yang membikin warga tidak putus harapan yakni pembangunan hotel mewah lengkap dengan kasino dan lapangan golf. Proyek ini diyakini mampu memulihkan perekonomian kota.
Namun, lapangan golf kekurangan lahan. Maka kompleks pemakaman kota pun terpaksa harus dibongkar. Warga kota yang keluarganya dikubur di pemakaman itu setuju, hanya satu yang menolak yaitu Klara (yang dimainkan dengan bagus oleh Tuti Hartati.) Walikota (N. Riantiarno) pusing menghadapi sikap perlawanan Klara, apalagi wanita itu adalah keponakannya.
Di seputar masalah inilah lakon bergulir. Dialog antarpemain yang sesungguhnya berat, menjadi enak dinikmati berkat kekuatan akting para pemainnya. Lakon diperkuat aktor senior antara lain Dudung Hadi, Salim Bungsu, Budi Ros dan diperkuat artis Cornelia Agatha yang tampil menawan. Selain itu, aktor muda Teater Koma juga tampil tak mengecewakan.
Dibandingkan lakon-lakon Koma sebelumnya yang biasanya dipadu tari dan nyanyian, lakon kali ini mengusung pertunjukan realis yang membutuhkan kekuatan aktor. Dan, Rangga sanggup mengeksplorasi para aktor-aktornya. Jadilah, sebuah pertunjukan yang apik. Panggung yang biasanya dikemas Koma dengan megah dan berganti-ganti setting, kali ini juga statis. Sepanjang sekitar 3 jam pertunjukan, setting kisah hanya tejadi di pemakaman. Panggung pun disulap menjadi area pemakaman.
Sebagaimana kredonya, Koma adalah sebuah metafora yang mengartikan gerak berkelanjutan, senantiasa berjalan tiada henti, tak mengenal titik. Maka, Teater Koma selalu berusaha mengeksplorasi berbagai wilayah artistik. Dan, tampilnya Rangga sebagai sutradara , membuktikan telah berhasilnya Koma melahirkan generasi baru. Rasanya, Teater Koma akan terus mengisi panggung pertunjukan teater dengan lakon-lakon bermutu.
Henry
KOMENTAR