Intinya, lanjut Agung, “Kami hanya mengelola aspek manajerialnya, mulai dari memasarkan, merawat, bahkan mentraining buttler oleh tenaga ahli perhotelan. Soal bagi hasil, tiap bulan Simply Homy akan memberikan laporan kepada pemiliknya. Bagi hasil diberikan per bulan setelah dikurangi biaya listrik dan gaji. Jumlahnya pasti beda setiap bulannya, tergantung banyaknya tamu. Tapi paling tidak dalam sebulan bisa dihuni 10 kali,” tegas Agung.
Buttler yang tinggal di dalam rumah bertugas sebagai petugas keamanan, kebersihan, perawatan serta penerima tamu. Tanggung jawabnya menunggui tamu selama menginap maupun saat tidak ada tamu, “Kami punya pengalaman buruk. Pernah tamu tidak ditunggu, ada barang yang melayang atau terbawa tamu. Jadi tugas buttler juga harus men-check list semua barang dan fasilitas rumah. Kalau ada yang rusak atau hilang, si penyewa harus menggantinya. Itu SOP kami.
Simply Prime
Sukses dengan bisnis laundry kiloan dan Simply Home, serta menjadi pembicara ke berbagai tempat, Agung semakin dilirik pihak ketiga. Tahun 2013, Agung diajak ke Korea dan Jepang untuk bertemu dengan para TKI yang bekerja di industri-industri besar. “Saya diminta menggandeng para TKI itu untuk berinvestasi ke bisnis saya di Indonesia. Pasalnya, gaji para TKI itu besar, bisa mencapai Rp50 juta per bulan. Biasanya, sebagian uang yang dikirim ke keluarga di Indonesia habis begitu saja,” terang Agung yang kemudian mempresentasikan bisnisnya di Indonesia kepada para TKI tersebut.
Rupanya, para TKI tertarik menanamkan investasinya di bisnis terbaru Agung dengan brand Simply Prime. Ini bisnis laundry satuan yang lebih canggih. “Tetapi para TKI itu hanya saya tawari berinvestasi di posisi keagenan alias penerimaan laundry satuan, karena kalau posisinya di workshop-nya terlalu mahal, bisa Rp800 juta.” Investasi Rp80 juta sudah termasuk sewa tempat dan pengelolaan.
Ternyata banyak yang berminat. ”Jumlahnya mencapai 20 orang, padahal kami sebelumnya belum pernah saling mengenal. Bisnis, kan, utamanya memang soal, kepercayaan, ya, itu yang saya jaga. Karena diminati, saya berencana menawarkan bisnis serupa ke TKI yang di Mesir.”
Bisnis kemitraan khusus bagi TKI ini dijanjikan menerima bagi hasil setiap bulan. Tapi Agung juga menyampaikan bahwa bisnis itu tidak selamanya untung banyak. “Kadang balik modalnya lama. Tapi kalau menghasilkan, pastilah ada. Karena itu semua yang pahit sudah saya sampaikan di depan.”
Sebelum ke Korea dan Jepang, Agung mengaku sudah memegang matang konsep Simply Prime. Dan kini, kurang dari setahun sudah berdiri 7 Simply Prime di Yogya. “Workshop ada satu yang saya punya, lainnya agen yang investasinya dimiliki para TKI. Saya masih akan menambah lagi. Permasalahannya cari lokasi dengan harga sewa tempat Rp20 juta-an di Yogya sudah susah.”
Siap Bersaing
Ayah 3 anak ini mengakui bisnis Simply Prime bersaing head to head dengan hotel berbintang yang lebih dulu ada. “Tapi sasaran konsumen beda. Simply Prime menyasar segmen menengah ke atas. Sampai saat ini masih dalam tahap pengenalan. Tetapi yang datang sudah banyak. Kebanyakan bridal dan pemilik baju pesta.”
Simply Prime, lanjut Agung memiliki kelebihan lain seperti memperlakukan kain secara hati-hati dan berbeda satu sama lain. Setiap helai baju digarap detail dengan menggunakan chemical khusus dan terbaik agar hasilnya lebih bagus dari kompetitor. “Teknologinya juga mahal. Beda bahan beda chemical dan dijamin lebih sehat.”
Menjamurnya bisnis laundry sekarang ini juga memicu isu soal limbah yang mengganggu lingkungan. Namun Agung tak khawatir. Pasalnya, bisnis laundry kiloan dan satuan yang ia miliki sudah sejak awal memperhatikan soal limbah. Ia mengolah air hasil cucian dengan sterilisasi. “Sementara untuk Simply Prime, saya menekankan pada penggunaan chemical yang lebih sehat.”
Sejak tahun 2008, “Kami sudah memikirkan limbah ini berbahaya atau tidak. Makanya kami sudah memakai deterjen ramah lingkungan. Tanah yang rusak malah bisa subur dengan limbah kami. Hanya saja, kala itu masyarakat tidak peduli dengan apa yang terus kami suarakan tentang green product. Bahkan dulu kami pakai kemasan kertas. Tapi karena harga kertas semakin mahal, jadi balik ke plastik dengan penjelasan daur ulangnya,” tambah Agung yang sudah mengantongi 36 buah penghargaan dari berbagai kategori.
(TAMAT)
Rini Sulistyati
KOMENTAR