Tak pernah terbersit dalam benak perempuan bernama lengkap Neneng Siti Rahmah (44) ini kelak memiliki sebuah peternakan sapi. "Peternakan enggak dilirik, karena berkonotasi dengan pekerjaan yang kotor dan bau. Bukan saya banget lah pokoknya," tutur mantan account executive (AE) sebuah majalah terbitan Jakarta ini sambil tertawa.
Namun ternyata nasib menentukan lain. Wanita kelahiran Bandung, 7 Oktober 1969 ini justru kini memiliki usaha sapi perah, bahkan mengelola peternakan milik mertuanya, (Alm.) Radja Marsadi, yang sudah menjalankan pekerjaan ini sejak tahun 1970-an. Dulu, lantaran tak pernah dan tak mau beternak, Neneng dan suaminya, Iwan Ramkar (45) memilih memiliki usaha lain dan bahkan sampai bekerja di Jepang sejak 1998.
"Kami ingin menunjukkan, kami berdua bisa memiliki usaha lain selain beternak. Meski begitu, di tahun 1996 saya dan suami sempat mencoba punya peternakan bebek. Tapi ketika 1998 muncul krisis moneter, usaha kami tutup dan kami memutuskan untuk bekerja ke Jepang. Kebetulan sejak sebelum menikah, suami pernah bekerja di Jepang," beber Neneng.
Di Negeri Matahari Terbit itu, keduanya pun bekerja sebagai operator di sebuah pabrik suku cadang mesin mobil di kawasan Anjo, Nagoya. Dari seorang AE lulusan Fakultas Ekonomi sebuah universitas swasta yang kemudian menjadi operator pabrik, jelas sempat membuatnya kaget. "Kebetulan saya orang yang mudah bergaul dan beradaptasi. Tapi semua harus saya lakukan agar survive, jadi harus bisa bikin sesuatu."
Kehidupan di Jepang, kata Neneng, sangat berat. "Saya, kan, senang bergaul, mengobrol dan punya banyak teman. Sementara di Jepang, saya berhadapan dengan mesin selama 11 sampai 13 jam per hari. Jangankan bicara dengan teman, bicara dengan suami saja hanya bisa seminggu sekali. Saya dan suami memang bekerja di perusahaan berbeda yang jaraknya seperti Jakarta - Bandung," paparnya.
Kemudian, "Melihat keadaannya seperti itu terus, suami bilang, kayaknya lebih baik pulang kampung saja. Waktu berkumpul jadi sangat berarti dan lebih berharga dibanding uang. Terlebih ketika itu dua anak kami ditinggal di Indonesia. Berat banget, kan, rasanya," katanya.
Kegagalan pertama saat membuat peternakan bebek lantas memberi motivasi tersendiri pada dirinya untuk tak berhenti berusaha. "Sekembalinya dari Jepang pada tahun 2000, saya kembali mencoba bikin usaha, tapi sayangnya kami tertipu melulu. Sempat di tahun 2003 kami coba berimigrasi ke New Zealand. Kebetulan ketika itu New Zealand membuka kesempatan untuk menerima warga negara baru."
Ternyata, "Begitu saya hendak diwawancara oleh Kedutaan New Zealand, saya bilang hendak berlibur dengan keluarga. Tapi pihak kedutaan tidak mau menerima dan menolak permintaan kami, karena kami dianggap menyepelekan alasannya. Kemudian suami saya bilang lagi, mungkin kami harus kembali beternak. Saya sempat enggan, karena saya merasa dunia peternakan itu bukan dunia saya."
Oleh karena sang suami tetap pada pendiriannya ingin membuat peternakan sapi, "Saya memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta dan ingin bekerja sebagai AE lagi. Tapi suami malah bilang begini, 'Bagaimana kalau kamu tetap ikut saya ke Sukabumi, nanti kamu saya gaji.' Tapi saya, kan, bukan orang yang seperti itu. Saya sangat menikmati pekerjaan sebagai AE, karena saya bisa bersosialisasi, berteman, dan bersahabat."
Akhirnya, suami Neneng menyerah dan pergi ke Sukabumi sendirian untuk membuat usaha peternakan. "Saya lalu berpikir kembali, biar begini saya juga tahu soal agama. Akhirnya saya pun mengikuti suami. Pada Agustus 2003 saya pun tiba di Sukabumi. Menggunakan sisa tabungan sebesar Rp110 juta hasil bekerja di Jepang. Kami membeli 10 ekor sapi dan membangun rumah serta kandang."
Kendati awalnya sempat dilanda rasa enggan menjadi peternak, "Ketika sudah punya sapi dan peternakan, justru saya memiliki pemikiran yang berbeda. Ini adalah harta saya yang harus saya jaga. Akhirnya, setiap hari jam 03.00 dini hari saya sudah bangun untuk memandikan sapi, membersihkan kandang, dan memasak air untuk membersihkan susu sapi sebelum diperah."
Setahun berjalan, Neneng sempat terpikir, sampai kapan harus jadi peternak terus? "Bukan dilihat dari penghasilannya, ya. Tapi saya berpikir, sudah bekerja keras tapi siapa yang dapat keuntungan terbesar? Saya memerah susu lalu setor ke pabrik, kemudian pabrik yang punya merek dan panggungnya. Sementara saya? Nah, kemudian saya berpikir, saya ingin ada di panggung yang sama."
Ketika jadi peternak, susu hasil peternakannya hanya dihargai Rp2 ribu per liter. "Sementara setiap hari saya setor sekitar 50 liter susu. Dari situ, saya lantas punya keinginan untuk meningkatkan keuntungan dan membawa diri saya ke atas panggung yang selama ini hanya dimiliki pabrik saja," tekadnya.
Sejak itu, Neneng mulai mengikuti berbagai pelatihan dari Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi. Di tahun 2005, "Saya coba bikin beragam olahan dari susu. Ini sebenarnya berangkat dari keinginan saya memberikan jajanan sehat buat anak-anak saya. Kemudian berlanjut dengan membagikan olahan susu ini secara gratis kepada warga sekitar peternakan kami," ujar Neneng yang selanjutnya melakukan kegiatan ini selama setahun penuh.
Sama sekali tak ada keinginan Neneng untuk menjual olahan susu yang dibuatnya. "Saya merasa masih jauh untuk menjual produk ini. Anak-anak peternak dan warga yang tinggal di sekitar peternakan justru enggak suka susu. Padahal mereka beruntung tinggal di dekat peternakan, karena memiliki akses mudah untuk mendapatkan susu segar setiap hari."
Usaha Neneng untuk menularkan kebiasaan minum susu terus dilakukan sampai ke sekolah-sekolah di sekitar Sukabumi. "Alhamdulillah, lama kelamaan mulai banyak yang suka minum susu. Tapi saat itu saya tetap belum mulai berjualan." Kegiatan memberikan susu secara gratis itu, lanjutnya, ternyata beredar dari mulut ke mulut. Sampai kemudian, ada seseorang yang membeli susunya untuk diberikan ke sekolah-sekolah. "Kebanyakan yang beli mantan murid sekolah di desa kami."
Neneng kemudian baru berjualan susu secara resmi mulai November 2006 dengan merek dagang HAS Milk. "HAS berarti Halal, Aman, dan Sehat. Sejak itu, semakin banyak juga yang membeli olahan susu buatan saya."
Lantaran produk olahan susu mulai memperlihatkan hasil signifikan, Neneng selanjutnya mulai meninggalkan tugasnya di peternakan dan fokus pada pengolahan susu. "Modal pertama untuk menjual olahan susu hanya berupa tiga panci Stainless ukuran 5 liter. Produk yang dijual juga mulai beragam, tak hanya susu segar. Saya juga mulai membuat yoghurt yang ternyata lumayan bagus pasarnya. Menyusul aneka olahan susu lain seperti permen karamel, stick susu, es susu, dan puding susu."
Bila awalnya susu yang diolah adalah hasil dari peternakannya sendiri, demi memenuhi kebutuhan produksi dan permintaan pasar, kini Neneng sudah membeli susu dari peternak lain. "Peternakan kami akhirnya digabung dengan peternakan milik mertua, yang saat ini dijalani oleh adik suami saya. Saat ini, kami butuh sekitar 620 - 680 liter susu murni per hari untuk memproduksi 12 macam produk susu," imbuh Neneng yang kini beromzet Rp150 juta per bulan.
Sejak menjadi produsen susu dan olahannya, Neneng mengaku, tak terlalu banyak mendapat hambatan. "Hambatan yang muncul biasanya akibat musim hujan. Setiap musim hujan, produksi susu sapi menurun," ujar Neneng yang dua tahun belakangan ini diminta Dinas Peternakan menjadi instruktur pengolahan susu di seputar Sukabumi.
Berkat usahanya yang semakin maju, Neneng pun memberdayakan 23 orang warga sekitar untuk membantu bagian produksi. "Ada beberapa reseller untuk memasarkan produk saya. Banyak juga anak-anak SMA yang ambil produk dari sini untuk dijual di sekolah mereka."
Sejak 2007, Neneng kemudian membuka peternakan dan pabrik pengolahan susunya untuk wisata edukasi. "Saya memberikan pengetahuan, ini adalah produk lokal yang tidak kalah dengan produk impor atau pabrikan besar. Dalam sebulan, ada lebih dari seribu orang yang datang ke sini untuk berwisata edukasi. Pernah juga ada satu sekolah booking selama seminggu di sini untuk praktik lapangan."
Ke depannya, Neneng berencana untuk terus meningkatkan kapasitas produksi HAS Milk di atas 1.000 liter. "Saya enggak mau muluk-muluk untuk memasarkan HAS Milk ke luar Sukabumi. Ketika produksi susu sapi saya sudah habis diserap oleh warga Sukabumi saja, saya sudah senang. Saya ingin menjadi tuan rumah di kampung halaman sendiri, Sukabumi," tutup anak ke-8 dari 11 bersaudara ini.
Edwin Yusman F.
KOMENTAR