Mengubah Paradigma
Menghadapi setiap fase traumatik yang dialami seseorang, beragam pendapat hadir. Misalnya jika lebih dari enam bulan terjadi, akan timbul gangguan stres pascatrauma. Bentuknya berupa kecemasan yang parah akibat trauma psikologis. Kejadian ini dapat memicu ancaman kematian diri sendiri maupun orang lain, bahkan merusak potensi integritas fisik, seksual, atau psikologis individu.
"Kalau di negara-negara Timur, religious coping itu cukup berperan untuk membuat seseorang tahan banting terhadap peristiwa pahit. Istilah lainnya, berdamai dengan kondisi yang terjadi."
Hal ini akan termanifestasi dalam bentuk berdoa. "Kalau isi doanya masih ada penolakan, itu adalah curhat. Tapi pemulihan yang terbaik adalah ketika berserah diri, tawakal. Sebab, manusia tak bisa menanggung beban hidup sendiri, Tuhan bisa membantu memulihkan. Seringkali pemahaman ini membuat korban menjadi lebih tenang."
Upaya pemulihan lainnya yakni coping active, di mana korban disibukkan dengan banyak kegiatan sehingga pemulihan bisa berlangsung lebih cepat. "Sibuk di sini bukan sekadar pelarian, tapi sibuk yang sehat yakni korban menyadari persoalannya, tapi tidak menghindar. Ia memecah pikirannya lewat aktivitas yang disukai, seperti hobi, berkumpul dengan sahabat, olahraga, atau membantu orang lain," ujar Yohana.
Untuk aktivitas yang disebut terakhir, Yohana meyakini, membuat orang merasa terbantu dan senang adalah terapi pemulihan yang bagus agar bisa mengeluarkan energi negatif. "Yang pasti, jangan mengurung diri dan berlarut-larut dalam situasi yang membuat dirinya merasa tak berdaya. Harus lihat ke depan atau move on. Positif dan optimis. Mengubah paradigma dia bisa melakukan banyak hal ke depannya."
Input Positif
Di samping religious coping dan support dari keluarga, tentu saja hal-hal tadi juga bermanfaat ketika korban menerima kehadiran bayi tak berdosa yang dilahirkan. "Menerima kondisi yang terjadi padanya adalah tanda pulih. Tapi jika kondisi korban masih bergejolak, belum menerima, ditambah (jika) ada proses hukum, itu jadi membuat lelah. Untuk bisa bangkit, tergantung seberapa besar kemauan si korban."
Sebab, sumber yang menggerakkan perilaku seseorang adalah pikiran dan hati. "Kalau pikirannya masih belum menerima, dia bisa merefleksikan kepada anaknya. Begitu pula hatinya. Disadari atau tidak, tentu akan menjadi beban. Bisa saja si anak jadi sasaran atau korban menyalahkan anak itu."
Jika si ibu "lumpuh" dan memang tak memungkinkan kondisinya untuk merawat anak, maka ia harus dipisahkan dari si anak, ketimbang terjadi hal buruk menimpa si anak atau kedua-duanya. Perlu ada orang lain yang mengasuh anaknya, yakni orang terdekat yang dipercaya. Pemisahan ini sifatnya sementara. Menyoal ini, cara merawat si anak akan bergantung pada seberapa besar tahap insiden. Jika masih melekat traumanya, akan terlihat dalam proses pengasuhan. Begitu pun sebaliknya.
"Tapi bila secara fungsi masih bisa, harus dikejar ke arah pemulihan dengan input positif. Sebab bonding antara ibu dan anak penting untuk perkembangan anak."
Dalam kasus ini, seringkali jika korban melihat anak tak berdosa yang masih innocence, mengamati tumbuh-kembangnya, ia bisa terhibur. "Makanya, harus sebanyak mungkin di-input hal positif seperti mensyukuri kehadiran bayi yang lucu. Tentu ia tak akan meninggalkan anaknya atau tidak mengurus. Tapi jika selalu negatif, ya, akan menyalahkan keberadaan si anak dan destruktif."
Berkaca dari kasus-kasus kekerasan seksual yang pernah ada, Yohana mengatakan, tak bisa memukul rata waktu dan fase trauma yang dialami satu korban dengan korban lainnya. "Ujung-ujungnya, bila sudah dewasa semua keputusan itu ada pada diri sendiri, mau maju atau positif, atau negatif. Tinggal kita membolehkan diri mau sembuh dari sebuah trauma atau tidak. Sebab, terkadang ada juga orang yang senang berada dalam kondisi mengeluh, meratapi, dan mengasihani diri sendiri," pungkasnya.
Ade Ryani
KOMENTAR