Saya seringkali mendengar orang berkomentar, kereta api identik dengan kesan jantan. Padahal sebenarnya semua bidang itu sama. Hanya disiplin ilmunya yang membedakan. Meski sekolah itu penting, tapi saya percaya, pengalaman di lapangan disertai kemauan untuk belajar jauh lebih penting.
Saya, Tatyana Sentani Sutara, terlahir dari pasangan Sutara Martadisastra dan Aida Sutara pada 17 Mei 1963 di daerah Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Masa kecil saya berpindah-pindah kota, mengikuti pekerjaan ayah di bidang perkayuan. Saya pun sempat tinggal di Riau. Zaman dulu, bisnis perkayuan memang sangat termasyhur.
Ayah merintis usaha ini dari bawah. Sedangkan ibu saya bekerja sebagai guru. Menjelang masuk SD barulah kami semua hijrah ke Jakarta. Saya lalu menamatkan bangku sekolah di St. Theresia, Jakarta. Sejak kecil, orangtua saya tak pernah memanjakan anak-anaknya dengan materi. Justru kami dididik untuk selalu berhati-hati mengelola uang.
Saya memegang teguh ajaran untuk tidak boros dan harus suka menabung dalam bentuk investasi. Makanya, sejak kecil saya sudah terbiasa mengelola uang jajan sendiri. Kendati diberi fasilitas tambahan berupa kartu kredit, saya tetap bertanggung jawab untuk membayar tagihannya sendiri.
Sebagai sulung dari dua bersaudara, saya juga mengamati kebiasaan Ayah yang selalu berbagi cerita soal pekerjaannya saat kami makan malam bersama, misalnya. Dari situ saya jadi terinspirasi sekaligus belajar soal bisnis dan seluk-beluknya.
Tawarkan Kartu Kredit
Setamat SMA, saya lalu melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta. Alasannya, agar saat lulus nanti mudah mendapat pekerjaan. Padahal sebenarnya sejak dulu saya senang sekali menggambar, terutama mendesain interior rumah. Saat ada waktu luang menunggu jadwal sidang skripsi, saya penasaran seperti apa rasanya bekerja. Bersama teman-teman kuliah, di tahun 1986 saya lalu melamar kerja ke American Express (Amex) sebagai tim sales kartu kredit.
Awalnya saya tak tahu bahwa pimpinannya adalah teman Ayah. Saya melamar tanpa jalur koneksi. Sang bos lalu mendatangi saya dan menawarkan bagian lain yang menurutnya lebih nyaman. Saya menolak, sebab saya ingin memulai karier dari bawah. Lagi pula banyak hal menantang yang bisa saya pelajari. Saya pun jadi percaya diri dengan prestasi kerja yang ada. Sebagai tim sales saya berhasil melampaui target. Buah apresiasi perusahaan, saya dikirim ke luar negeri untuk acara perusahaan dengan skala se-Asia Pacific.
Di masa itu, untuk punya kartu kredit belum semudah sekarang. Amex bisa dibilang merajai pasar. Konsumenlah yang lebih membutuhkan kartu kredit, dibanding sebaliknya. Saya pun belajar soal kehati-hatian dalam menelisik calon nasabah kartu kredit. Jangan sampai ada penipuan, pemalsuan, atau lari dari tanggung jawab membayar.
Perempuan muda dengan karier yang tengah menanjak, tentu memiliki segudang keinginan dalam hidupnya. Mungkin bedanya saya dengan perempuan lain, saya lebih baik tidak bergaya hidup mewah daripada berfoya-foya dengan uang atau kartu kredit yang saya punya. Saya tak ingin punya rapor merah di perbankan, Bank Indonesia.
Kali pertama mendapat gaji yang lumayan besar, saya kepengin juga, sih, punya baju yang bagus-bagus. Tapi saya tak mau mencicil, meski teman kantor banyak yang berjualan dengan 2-3 kali pembayaran. Dalam membeli barang, saya sering berpikir seribu kali tentang kegunaan dan nilainya ke depan.
Saya juga tak suka beli baju mahal-mahal, karena tak bisa dijadikan investasi. Yang penting pantas dipakai dan bila tak punya uang, saya tak beli. Itulah prinsip yang saya pegang teguh. Percaya atau tidak, gaji pertama saya tabung dan dibelikan cincin emas berukuran kecil. Sejak bekerja itulah saya senang berinvestasi tiap menerima gaji. Bermula dari cincin kecil, bulan berikutnya saya jual cincin emas itu untuk membeli perhiasan lain yang lebih mahal.
Beruntung, begitu lulus kuliah saya sudah bekerja di Amex. Karier saya pun cukup berkembang. Tahun 1991, saya lalu hijrah ke Bank Lippo atas tawaran yang lebih menarik. Dari dunia perbankan saya belajar tentang pasar modal yang tergolong baru pada masa itu. Tertarik mendalami, di P3E (Pendidikan Perantara Pedagang Efek) saya lalu mendapat sertifikat untuk bidang ini.
Saat itu, saya masih muda dan punya rasa ingin tahu yang besar. Saya juga penasaran, sejauh mana kemampuan yang saya punya. Singkat kata, saya menikmati peran baru sebagai trader di perusahaan pasar modal joint venture milik Jepang dan Indonesia. Pasar modal itu tempat belajar yang luar biasa, saya senang bisa menganalisa perusahaan-perusahaan yang go public.
Saya lalu memutuskan untuk berwirausaha dengan bidang yang cukup berbeda, yakni pendidikan. Seorang teman menawari saya sebuah konsep pendidikan dengan metode long live learner, dimana anak-anak jadi menyukai aktivitas belajar. Bermula di tahun 1996, akhirnya saya bergabung di High Scope. Saya pribadi menyukai anak-anak. Tapi bagaimana pun, sebuah sekolah harus dikelola dengan baik agar bisa berjalan dengan baik pula.
Apalagi sekolah bertaraf internasional masih sangat minim saat itu. Kini, High Scope telah berjalan dengan sistem yang bagus. Posisi saya beralih sebagai komisaris dan pemegang sahamnya.
Sementara saya sendiri sudah menikah dan memiliki satu anak yang beranjak SD. Saya pun mengajarkan metode yang digunakan di High Scope untuk mendidik anak saya di rumah.
Mendalami Kereta Api
Pada dasarnya, segala keputusan yang saya buat bertolak pada peluang bisnis. Termasuk ketika menerima ajakan dari teman-teman yang sudah pensiun dari PT KAI dan Dinas Perhubungan. Mereka bercerita soal bisnis di bidang perkeretaapian yang sebenarnya sangat potensial.
Memang, bidang ini kurang diminati oleh sebagian besar investor. Melirik pun mereka enggan. Sebab mereka tak memahami kereta api sebagai transportasi yang penting dibandingkan kendaraan di jalan raya. Ini karena pola pikir sebagian masyarakat Indonesia adalah ingin punya mobil. Saya melihat kebijakan pemerintah yang kurang tepat dibandingkan kota-kota besar dan padat penduduk di dunia.
Idealnya, pemerintah menyediakan transportasi publik yang bagus. Dan yang cocok adalah yang berbasis rel. Seperti di New York ada subway, Singapura ada MRT, dan banyak lagi negara lainnya. Maka dari itu, pandangan saya soal bisnis perkeretaapian telah jauh ke depan.
Indonesia memiliki banyak penduduk. Jika cuma mengandalkan transportasi di jalan raya atau di udara, tentu tak akan mencukupi kebutuhan masyarakat. Misalnya, di darat kita akan berhadapan dengan kemacetan. Sedangkan moda transportasi pesawat kapasitasnya terbatas.
Saya yakin Indonesia akan perlu transportasi publik terus-menerus. Terutama di Jakarta. Armada kereta api haruslah ditambah. Apalagi banyak pelaju (pekerja) dari area suburban ibu kota. Sementara itu, peran swasta yang ingin berinvestasi juga dibutuhkan. Makanya, saya yakin bidang ini akan menguntungkan di masa mendatang.
Akhirnya saya beralih mendalami bidang perkeretaapian sejak tahun 2002 di bawah bendera PT PrimaRail Internasional. Saya pun survei untuk menjajal rute kereta api di berbagai kota. Tentu banyak suara yang mempertanyakan kemampuan saya. Terlebih rajanya transportasi di Indonesia adalah angkutan darat. Banyak orang berpikir, bisnis transportasi yang menguntungkan itu seperti membangun jalan tol, memiliki pabrikan otomotif.
Tapi saya tetap pelajari tentang kereta api dan semakin yakin keunggulannya. Dalam sekali jalan banyak penumpang bisa terangkut, hemat waktu, dan cepat. Saya punya impian Indonesia punya moda transportasi massal berbasis rel yang modern seperti di luar negeri. Alangkah nyamannya masyarakat, terutama kaum perempuan jika beraktivitas di kota besar menggunakan transportasi kereta api.
Menjawab tantangan ini, saya membangun perusahaan dengan modal utama yang amat penting yaitu sumber daya manusia. Saya beruntung bertemu para ahli di bidang design engineering terkait kereta api. Sebab tak banyak orang yang bergerak di bidang ini. Para ahli tadi adalah aset perusahaan yang sangat membantu keberlangsungan usaha yang baru saya rintis ini. (BERSAMBUNG)
(Nomor depan: Tak banyak pemain lokal berbisnis di bidang perkeretaapian. Tatyana pun mencoba memahami seluk-beluk kereta api semakin dalam. Termasuk memetakan jalur padat penumpang yang bisa mengundang investor. Padahal bisnis ini bukan untuk keuntungan semata. Lantas bagaimana ia bertahan dan mengembangkan bisnisnya?)
Ade Ryani HMK
Rahasia Cantik Luar dan Dalam Bersama Eva Mulia Clinic, Solusi Terjangkau untuk Kulit Sehat
KOMENTAR