"Saya, sih, sempat nanya-nanya saat awal mengontrak dulu, katanya dia kerja sebagai kuli panggul di Cipulir," ujarnya kepadatabloidnova.com.
Jefri hanya melihat sosok Dayat tak beda jauh dengan pengontrak rumah petaknya yang rata-rata pekerja rendahan di Jakarta.
Namun sejak awal tahun baru 2014 Densus 88 dan Subdit Jatanras Polda Metro Jaya menyerbu rumah kontrakannya, Jefri mendadak menjadi incaran wartawan.
Pasalnya, Dayat si kuli panggul yang ikut meninggal dunia dalam baku tembak di malam tahun baru dengan polisi ternyata buronan perampok juga penembak polisi di Pondok Aren.
Akibat penyerbuan Densus, rumah petakan 4 kamar milik Jefri di jalan Haji Hasan, Kampung Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan, luluh lantak terkena berondongan peluru dan ledakan bom milik teroris.
Bukan hanya itu, salah satu rekannya berinisial NW juga sempat diciduk polisi karena sempat dibonceng Dayat sebelum penyerbuan dilakukan.
"Padahal, dia (NW) juga pergi karena saya mintain tolong beli alat listrik listrik," ujar Jefri sembari menepis jika NW mengenal Dayat maupun terkait dengan terorisme.
Setelah semua diluruskan, istri NW sempat datang mengambil uang ganti rugi rumah kontrakan dari polisi dan pulang kampung.
"Iya. Sempat ketemu waktu polisi bagi-bagi uang pengganti. Istrinya sempat bilang, 'semua diserahin aja'. Tapi dia sempat ambil uang (pengganti) dan katanya mereka pilih pulang kampung," ujar Jefri.
Pada hari penyerbuan Densus 88, Jefri dan keluarganya yang tinggal di sekitar rumah petak diminta mengungsi.
"Waktu itu jam 5 sore kita dievakuasi. Ada sekitar 4 orang datang dan minta kita pergi sementara. Kita sih percaya saja mereka petugas. Enggak pakai nanya-nanya lagi,"ujarnya lugu.
KOMENTAR