Seperti biasa, pulang sekolah Muhammad Abdul Azis (15), siswa kelas 3 MTs Fathan Mubina, Ciawi, mengajak dua teman mainnya Ilham Maulana (14) dan Abdurrahman Assegaf (14) menongkrong di wilayah Perkebunan Tapos milik PT Rejo Sari Bumi. "Kami suka pulang bareng walau beda kelas dan sekolah. Ilham biasanya pulang jam 14.00 soalnya dia masih kelas 7," ungkap Azis saat ditemui di kantor KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) sebelum menerima penghargaan Pejuang Perlindungan Anak Kamis (23/5) lalu.
Tiga serangkai ini memang tinggal berdekatan di Desa Citapen, Ciawi, Bogor. "Makanya sering pulang bersama naik motor." Nah, Selasa siang itu, saat berboncengan motor menuju perkebunan, ketiganya mendengar teriakan perempuan minta tolong. Tertarik, Azis yang sedang menyetir motor langsung menimpali teriakan tadi, "Woy, lagi ngapain?"
Spontan, orang yang diteriaki menjawab, ia baru terjatuh dari sepeda motor. "Tapi, kok, posisi motornya berdiri dengan standar. Kayaknya enggak mungkin habis kecelakaan atau jatuh," ungkap Azis heran. Apalagi ketika si pria berkata dari kejauhan, di balik semak, tangannya patah.
Ingat Adik
Curiga dengan jawaban yang mengada-ada, Azis Cs segera memarkir motor dan mendekati asal suara. Mereka lalu melihat seorang perempuan sedang kesakitan dan terus teriak minta tolong.
Mencium gelagat tak baik, Ilham dan Abdu segara menjauhkan si perempuan yang belakangan diketahui bernama PA (14) dari pria yang mengaku patah tangan. "Kami sempat melihat kepala PA dibenturkan ke tanah. Wajahnya biru-biru dan berdarah sampai ke kerudungnya. Dia juga bilang, mau diperkosa. Kami kasihan dan spontan ingin bantu dia," ungkap Ilham menimpali cerita Azis.
Namun si pria yang tertangkap basah, "Malah nawarin kami sebungkus rokok. Ya, kami tolak. Kami bertiga juga punya adik perempuan, jadi teringat dan kasihan kalau adik kami dibegitukan orang," ujar Ilham yang berbadan kecil tapi paling pemberani.
Akhirnya si pria digelandang ke pos satpam perkebunan. Bahkan, ia sempat dihajar warga. Lucunya, kisah tiga serangkai ini, mereka sempat disangka dicokok petugas lantaran habis tawuran.
Soalnya, saat dibawa menumpang mobil polisi, Azis yang duduk di depan terlihat oleh warga kampung dan dilaporkan ke orangtuanya. "Di kampung sempat ramai, kami bertiga dikira diciduk polisi karena tawuran," kata Abdu.
Saat semua telah jelas, berbagai pujian dan penghargaan pun mengalir untuk ketiganya. Soal uang hadiah yang diterima, di antaranya sejumlah Rp5 juta untuk masing-masing anak dari Tabloid NOVA, "Sebagian ditabung dan sebagian lagi untuk membantu orangtua," kata Abdu mewakili dua sahabatnya.
Mereka mengaku tak besar kepala lantaran diberi predikat pejuang dan pahlawan. "Enggak berpengaruh, kok. Kami tetap biasa-biasa saja. Anak ketiga memang jago, sih," canda Azis. Maklum, ketiga bocah ini sama-sama anak ketiga dari empat bersaudara dan masing-masing punya adik perempuan.
Uang penghargaan, kata mereka, juga akan dipakai untuk melanjutkan sekolah ke SMK jurusan otomotif. "Soalnya kami semua cinta motor dan suka sekali mengutak-atik motor," ungkap Azis yang juga bercita-cita jadi polisi.
Yang jelas, kata mereka, "Meski nanti saya jadi polisi, Abdu jadi tentara, dan Ilham kuliah, kami akan tetap bersahabat."
Sering Terjadi
Sebenarnya, kata mereka, apa yang mereka saksikan di perkebunan Tapos Selasa lalu itu, bukan hal asing. "Banyak warga sudah tahu tempat itu rawan kejahatan. Pernah ada pembunuhan, mayatnya dimutilasi, tawuran, ataupun perkosaan."
Kenyataan ini juga yang membuat ketiganya merasa prihatin dan miris. "Inginnya, sih, dipantau hingga tidak terjadi lagi. Dan kalau bisa, perempuan-perempuan jangan mau diajak ke situ sama laki-laki yang enggak dikenal," ujar Ilham.
Ditemui di Polsek Ciawi, Kamis (23/5), tersangka pelaku percobaan perkosaan, AH (16), lebih banyak menunduk, "Saya khilaf, terbawa hawa nafsu," sesalnya. Terbata-bata, siswa kelas 3 SMP yang menyambi sebagai tukang ojek ini mengaku, tak berniat menggauli PA. "Saya dimintai tolong teman untuk menjemput PA, pacarnya di sekolah. Saya kenal PA karena dia adik kelas."
Diam-diam, AH menaruh hati kepada PA. Ketika menyusuri perkebunan yang sepi, "Saya jadi tergoda," kata AH yang kepada penyidik mengaku terpengaruh video porno yang ditontonnya semalam sebelum kejadian.
Nah, ketika berusaha menggagahi PA, tiga serangkai pemberani itu muncul. "Mereka tidak memukuli saya, malah mengingatkan perbuatan saya salah. Makanya saya minta maaf dan diam," tutur AH yang kini terancam hukuman 15 tahun penjara.
Ia juga mengaku tak melawan saat warga menghakiminya. "Saya ditampar sampai benjut dan berdarah. Saya ikhlas digituin, kok. Saya salah, menyesal, dan kapok," kata AH yang mengaku baru kali ini melakukan tindakan kriminal.
Akan halnya PA, belum menjalani pemeriksaan di Polsek Ciawi lantaran masih trauma. Ia diwakili Badrun, sang ayah, yang terlihat muram dan enggan berkomentar. Kini, PA mendapat pendampingan dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bogor. Menurut Yoyoh dari P2TP2A, suhu badan PA masih tinggi akibat trauma. "Dia belum bisa diajak bicara. Masih perlu waktu untuk memulihkannya," ujar Yoyoh.
Tubuh Kecil, Nyali Besar
Quraish Assegaf (56) dan Enung (45) jelas bangga pada perbuatan anak mereka, Abdu. "Padahal dia agak penakut. Apalagi badannya kecil. Tapi saya yakin, nyali dia besar. Waktu saya tanya kenapa berani, jawabnya karena spontan saja," kata Quraish yang mengaku terharu dengan keberanian sang anak.
Bapak empat anak ini bertutur, selalu menanamkan pendidikan agama kepada anak-anaknya. "Mudah-mudahan dia bisa sekolah tinggi, sampai kuliah."
Sedangkan, ayah Azis, Rachmat (42), berkisah, sehari sebelum berhasil menggagalkan usaha perkosaan itu, "Azis cerita, dia pernah lihat perempuan diperkosa di tempat itu tapi enggak berani mencegah karena pelakunya berbadan besar. Saya nasehati, lain kali jangan lihat perawakannya. Panggil orangnya dan laporkan kepada yang berwajib. Alhamdulillah, kali ini dia berani," ujar Rachmat bangga.
Ibunda Azis, Siti Sawanah (37), pun tak kalah bangga. "Padahal dia bukan anak pemberani. Makanya dia ikut taekwondo di sekolahnya setahun belakangan ini."
Kini, setelah banyak pihak memberi penghargaan dan hadiah bagi putranya, Rachmat hanya bisa berharap masa depan anaknya lebih baik dari dirinya. "Dulu saya guru agama dengan penghasilan kecil. Sekarang saya jadi buruh apa saja. Kalau kerja, baru dapat uang," ungkapnya.
Oleh sebab itu, ia berharap Azis jadi anak pintar dan sekolah setinggi-tingginya. Soal cita-cita jadi polisi, "Saya bilang ke Azis, jadi polisi tak semudah yang dibayangkan. Makanya buktikan dulu dengan sekolah yang pintar," ungkap Rachmat.
Laili Damayanti, Ahmad Tarmizi
KOMENTAR