Mungkin mimpi pun Muhyi tak pernah menyangka bakal kehilangan alat vitalnya. Tapi itulah yang terjadi Selasa (14/5) dini hari lalu. Adalah N, perempuan yang jadi tersangka pelakunya.
Alkisah, empat bulan silam Muhyi diberi sederet nomor telepon genggam oleh temannya. Katanya, si pemilik nomor itu gadis bernama Umay. Penasaran, Muhyi pun menghubungi nomor itu.
Mulanya telepon tak diangkat. Ketika kemudian Muhyi dihubungi balik oleh nomor itu, seperti diceritakan Abdul Rizal (27), saudara sepupu Muhyi yang menemani wawancara, Muhyi langsung bilang, "Kamu Umay, kan?" Si penelepon pun mengiyakan, "Meski belakangan ketahuan, nama dia N, bukan Umay. Nama N juga baru diketahui Muhyi setelah ia diringkus polisi."
Mau Sama Mau
Dari telepon itu, N dan Muhyi jadi sering mengobrol. Bahkan sempat bertemu dua bulan lalu. "Senin (13/5) itu dia yang mengajak bertemu," kata Muhyi. Tempat pertemuan juga sama, di depan Universitas Pamulang (Unpam), Tangerang Selatan.
N yang tinggal di Kosambi Timur, Tangerang, Banten, datang dengan menumpang kendaraan umum sementara Muhyi naik motor. Mereka lalu berboncengan. "Saya bilang ke dia, paling lama sampai jam 22.00 saja karena saya capek habis kerja."
Muhyi pun terkejut ketika sang gadis yang mengenakan jilbab dan cadar itu malah berkata, "Saya maunya sampai pagi, biar puas sama kamu. Enggak akan dicari orangtua karena saya sudah bilang akan menginap di rumah teman," tutur Muyhi menirukan kata-kata N.
Bagai pasangan yang tengah memadu cinta, "Kami sempat sempat berhenti di sebuah taman di daerah Kahuripan. Ya, namanya remaja, kami pegang-pegangan. Itu juga atas kemauan dia. Mau sama mau lah."
Sejoli ini lalu diusir anggota keamanan setempat karena malam makin larut. "Kami jalan lagi dan berhenti di sebuah musala," kata Muhyi yang mengaku saat itu merasa sangat lelah, mengantuk, lalu tidur-tiduran di teras musala. "Selama itu, dia terus memancing melakukan hubungan intim."
Akhirnya, kata Muhyi, ia tergoda dan melakukannya di kamar mandi musala. "Saya sama sekali enggak memaksa. Itu juga cuma ditempel-tempelkan saja (tidak terjadi penetrasi, Red.)," aku Muhyi.
Seperti juga di taman, di musala mereka diusir warga setempat karena tertangkap basah. Saat itu, kata Muhyi, sudah pukul 02.00 pagi. Mereka pun naik motor lagi. "Dia minta berhenti di sebuah gang sepi di kawasan Perumahan Reni Jaya, terus mengajak berhubungan intim. Kali ini dia minta dimasukkan," ujar Muhyi yang mengaku menolak. "Saya enggak mau ambil keperawanan dia. Saya masih mikir juga lah."
Terbawa suasana malam yang sepi, Muhyi dan N kembali bermesraan hingga Muhyi ejakulasi. Lantaran lapar dan kelelahan, pasangan ini memutuskan makan di sebuah warung nasi goreng. Usai makan, Muhyi ingin segera pulang. Namun karena saat itu masih sekitar pukul 04.00, N meminta untuk menunggu hingga matahari terbit. "Kalau tidak, dia mau ikut saya pulang ke rumah. Sementara saya takut bawa perempuan ke rumah."
Seumur Hidup
Akhirnya N mau pulang, "Dengan syarat boleh lihat alat kelamin saya." Muhyi mengaku, ketika N berjongkok di hadapannya, tak lama kemudian ia merasa kesakitan. "Pas saya lihat, kok, banyak darah dan kemaluan saya sudah buntung."
Panik, Muhyi bertanya, kenapa N setega itu. "Katanya dia akan tanggung jawab dan mengajak saya ke rumah sakit." Sambil kesakitan, Muhyi meraih potongan kemaluannya dan segera memacu motornya ke Puskesmas terdekat. N, helm, dan telepon genggam miliknya ditinggal begitu saja.
Oleh karena belum ada dokter yang datang di Puskesmas, oleh satpam Muhyi dibawa ke Rumah Sakit Umum Kota Tangerang Selatan (RSUK Tangsel). Sialnya, potongan alat vital Muhyi tak mungkin disambung lagi.
Beberapa hari kemudian, ketika mendengar N tertangkap, "Saya lega sekaligus kesal karena ancaman hukuman lima tahun tak setimpal dengan perbuatan N. Saya dendam dan enggak mungkin bisa maafin dia. Lima tahun, mah, cepat banget. Sedangkan penderitaan ini harus saya rasakan seumur hidup," ujarnya getir.
Muhyi makin geram saat mengetahui N memberi kesaksian bertolak belakang. "Bohong semua yang dia bilang! Saya ini seperti sudha jatuh tertimpa tangga. Sudah dianiaya, masih difitnah pula," kata Muhyi yang ingin N menerima hukuman setimpal. "Ya, dia harus merasakan juga penderitaan saya!"
Ketika keluarga N mendatangi rumahnya di Jumat (24/5) sore untuk mengajukan pernikahan sebagai syarat berdamai dan pertanggungjawaban, Muhyi menepis keras. "Enggak mau lah. Saya jelas ogah menikahi dia!"
Sama seperti sang anak, orangtua Muhyi pun bersikukuh kasus ini harus diselesaikan lewat jalur hukum.
Astudestra Ajengrastri, Hasuna Daylailatu
KOMENTAR