Komunitas 5 Menara
Berawal dari novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, terbentuklah Komunitas 5 Menara yang anggotanya awalnya terdiri dari pembaca novel itu. Hanya saja, makin ke sini anggotanya sudah berasal dari berbagai kalangan. Agak berbeda dengan komunitas lain, komunitas ini merupakan tempat orang berkumpul untuk membantu memberikan pendidikan bagi anak-anak tak mampu.
Sebenarnya, jelas Fuadi, anggota komunitas ini lebih banyak yang berdasarkan kepada panggilan jiwa. "Seperti yang diajarkan kiai saya, ukuran kesuksesan kita adalah seberapa kita bermanfaat buat orang lain. Nah, salah satu misinya adalah memberikan pendidikan untuk anak-anak kurang mampu di usia pra sekolah."
Baru sekitar 35 persen anak-anak yang mendapat akses pendidikan. "Padahal, anak-anak usia dini ini, menurut penelitian, adalah masa-masa pembentukan karakter, mengembangkan otak, dan sikap. Kalau lewat masa itu, sudah beda lagi penanganannya."
Lewat pembentukan karakter mulai dari usia 0-6, harapannya anak-anak punya karakter kuat, kejujuran, kerja keras, anti korupsi, kelak setelah dewasa. "Akhirnya, saya bersama istri melakukan survei ke daerah tempat tingal kami di kawasan Bintaro, Tangerang. Di belakang kompleks banyak tinggal tukang kebun yang anak-anaknya tak sekolah karena mereka tak sempat memikirkan soal pendidikan anak-anaknya. Tinggalnya pun di rumah petak dengan banyak anak, masih ada kakek neneknya pula. Lalu, apa yang diwariskan ke anak cucunya?"
Keprihatinan itu menambah semangat pasangan ini mengontrak rumah untuk membuat sekolah dan membuka pedaftaran di akhir 2010. "Kami lakukan seleksi ketat lewat wawancara dan kondisi rumah, pantas atau tidak sekolah di tempat kami yang semuanya gratis," tutur Fuadi yang hanya menerima 25 siswa saja. "Awalnya ada yang menolak lantaran takut bayar, padahal gratis. Atau beralasan tunggu saja sampai SD," papar Fuadi yang sudah membangun sekolah di Padang seusai gempa.
Dana awal yang dipakai membangun sekolah itu dari royalti buku dan film atau sumbangan. "Dana nya dipakai untuk seragam, makanan sehat, gaji guru, dan operasional lain yang membutuhkan dana sekitar Rp6-7 juta per bulan."
Selain itu, Fuadi juga punya mitra Komunitas Menara. "Kami bercita-cita mereplikasi lewat program 1.000 Paud se-Indonesia. Konsepnya membangun sekolah di wilayah yang tak memungkinkan ada sekolah. Siapa yang mau jadi mitra, relawan, atau donatur silakan saja lihat di Facebook kami: negerilimamenara.com/komunitas," tutur Fuadi yang pada tahun depan ingin menambah di Sulsel, Sumbar, Jatim, NTT, Kalimantan.
Bagi yang berminat membangun sekolah sendiri, Fuadi bisa membantu kurikulum dan gurunya. "Tapi ada juga yang langsung memberi uang Rp 150 juta untuk satu sekolah dengan biaya operasional setahun ditanggung kami. Selanjutnya bisa mandiri atau dicarikan donatur lain. Standar luas sekolah 200-300 meter persegi, ada 2 kelas, ruang guru, tempat bermain, atau bikin taman baca."
Tak jarang ada juga pelajar SMA yang mengumpulkan uang jajannya buat menyumbang. "Perbuatan itu membanggakan, bisa bermanfaat buat orang lain dengan cara dan kemampuan masing-masing. Jika tidak punya biaya, misalnya, ahli keuangan bisa menyumbang tenaganya sebagai pengurus pajak atau ahli desain bisa bikin brosur."
Yang jelas, lanjut Fuadi, kendala yang dirasakan adalah tak mudahnya membuat kesadaran baru bahwa sekolah sebelum SD ini sangatlah penting. "Pengertian itu harus dilakukan berulang-ulang hingga paham. Jadi, tujuannya, bagaimana bisa bekerjasama dengan pemerintah agar tujuan ini terwujud."
Begitu juga ketika mengelola relawan yang punya waktu terbatas. "Inginnya mengajak orang agar mau berkontribusi di dalam segala hal. Mencari orang yang cocok di bidangnya cukup sulit. Komitmen baru akan kelihatan setelah waktu berjalan. Yang didasari panggilan jiwa biasanya akan lebih mampu bertahan," tukas Fuadi.
Noverita K Waldan
KOMENTAR