Aku tak pernah menemukan lelaki sebaik Mas Agus. Sejak menikah pada 1997 hingga kini, tak pernah sekali pun ia bicara kasar padaku. Sebaliknya, yang keluar dari mulutnya hanyalah tutur kata lembut dan santun. Mas Agus adalah tipe lelaki yang sangat perhatian kepada istri dan anak-anak. Ia tak tega melihat aku kelelahan setelah sibuk bekerja di rumah.
Karena itu, meski pulang kerja dalam keadaan capek, ia tetap berusaha membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci piring, menyapu lantai, sampai ikut mengupas ketela yang akan digoreng dan dijual di warung.
Begitu pula perhatiannya ke anak-anak kami. Tak heran bila ketiga buah hati kami sangat lengket dengan ayahnya. Sejak anak-anak masih bayi, Mas Agus tak segan membantu memandikan, membuatkan susu, mengendong, sampai mencuci popok kotor.
Mas Agus pun tak pernah lupa menyenangkan hati istrinya. Ia selalu berusaha memenuhi keinginanku. Boleh percaya atau tidak, yang membelikan semua perabot rumah tangga seperti panci, wajan, gelas, piring adalah suamiku. Ah, sangat sulitlah menemukan sisi buruk suamiku.
Sejak memutuskan buka warung kecil-kecilan di samping rumah, sebenarnya Mas Agus kurang setuju. Ia takut aku terlalu capek. Ketika kujelaskan ingin cari tambahan buat uang saku anak-anak, ia berujar, "Maaf ya, Dik, kamu sampai harus buka warung segala hanya demi membantuku membesarkan anak-anak."
Duh, jika ingat kata-kata Mas Agus itu, semakin hancur rasanya hatiku. Mengapa lelaki sebaik itu harus cepat meningalkan kami? Oh ya, ada satu hal lagi yang selalu mengingatkanku padanya. Ia tak pernah lupa membangunkanku untuk salat subuh saat azan mulai menggema. "Ayo, Dik, segera bangun. Sudah waktunya salat," demikian ucapnya tiap pagi.
Seperti ayahnya, Anggun dan Angga anak yang sangat baik. Mereka seolah tahu persis keadaan orangtuanya yang serba pas-pasan sehingga tak macam-macam. Anggun adalah gadis pendiam dan tak banyak tingkah. Bahkan orang-orang sekitar bilang, sikapnya seanggun namanya. Si sulung ini selalu terpilih mewakili sekolah untuk berbagai acara, salah satunya seni tari.
Tak hanya Anggun, Angga pun anak yang membanggakan. Ia sangat penurut dan pandai bergaul. Entah bisa dikatakan sebagai firasat atau bukan, beberapa hari sebelum peristiwa itu, aku memilki perasaan berbeda. Terutama kepada dua anak perempuanku ini. Aku merasa kasih sayangku kepada mereka makin besar, melebihi hari-hari biasanya. Aku juga melihat mereka makin cantik dari biasanya. Aku sampai heran mengapa bisa begitu.
Bahkan, malam hari sebelum ajal menjemput, Mas Agus tak biasanya pula menyerahkan ponselnya kepadaku, sementara ponsel milikku dimintanya untuk dibawanya berjaga malam di tambak udang. "Dik, HP-ku dibawa sama kamu saja, ya, soalnya di dalamnya banyak lagu-lagu kenangan yang bisa kamu putar semalaman," ucap Mas Agus.
Tak kusangka, esok paginya Mas Agus dan kedua anak kami pergi tanpa pernah kembali. Namun kini aku sudah ikhlas dan aku yakin, mereka pergi dalam keadaan mati syahid. Mereka akan mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Amin...
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR