Sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa melupakan peristiwa Senin (1/4) pagi itu. Ya, aku mendapat cobaan teramat berat. Tiga orang yang paling aku cintai, suamiku Agus Trisula (45) bersama kedua buah hatiku Aggun Eka Putri Darma (15) dan Nur Anggraeni Dwi Aulia (9), tewas mengenaskan setelah ditabrak bus di jalan raya tak jauh dari rumah kami.
Rasanya tak ada firasat apa pun sebelum musibah itu terjadi. Pagi itu, Anggun dan Anggraeni (Angga) sudah rapi berpakaian sekolah. Anggun bersiap mengikuti try out mengingat ia saat ini duduk di kelas 3 SMP Negeri I Suboh, Mlandingan. Sedang Angga baru duduk di kelas 4 SDN II Buduan.
Doa Try Out
Seperti kebiasaan setiap pagi, Mas Agus rutin mengantar kedua anak kami ke sekolah mereka. Pagi itu, sambil menunggu kedatangan ayahnya pulang dari tempat kerjanya menjaga lokasi budidaya tambak udang sejak semalam, kedua putriku memerhatikan aku yang sedang mengoreng kue yang biasa kujual di warung belakang rumah.
Anggun lalu berujar. "Bu, hari ini aku mau try out, doakan berhasil, ya. Sambil tolong tiup ubun-ubunku, supaya doa Ibu terkabul," begitu kata Anggun sambil mendekatkan kepalanya ke wajahku. Spontan pula aku tiup ubun-ubunya seperti permintaannya. "Ibu, kok, bau, ya," komentarnya sambil tertawa-tawa bersama Angga.
Aku tak menyangka, gurauannya di pagi itu adalah yang terakhir mereka lakukan buatku. Sebab, tak lama setelah itu Mas Agus datang menjemput dengan motornya. Sebelum naik boncengan, mereka berdua mencium tanganku lalu melambaikan tangan. Aku pun kembali ke dapur untuk melanjutkan menggoreng kue jualan.
Satu jam berselang, tiba-tiba datang seorang pria langsung ke dapurku. Dengan wajah tegang, ia berkata, "Mbak jangan terkejut, ya, Mas Agus dan dua anak Mbak saat ini kecelakaan di jalan raya. Tapi sampeyan harus sabar, ya. Mari, Mbak saya antar ke sana. "
Deg. Mendengar ucapan itu tubuhku langsung lemas. Tanpa pikir panjang, kompor langsung kumatikan dan bergegas ikut pria yang sampai sekarang tak kuketahui aku namanya. Setiba di lokasi kejadian, pikiranku makin tak menentu sebab Mas Agus dan kedua anakku ternyata sudah tak ada di sana. Aku hanya melihat bus yang terguling dan masuk ke tengah sawah. Makin ciut melihat pemandangan itu dan pikiran buruk semakin menghantuiku.
Yang kuingat kemudian, aku diantar ke RSUD Besuki. Aku langsung curiga ketika langsung dibawa ke bagian belakang rumah sakit. Ya Tuhan, benar saja, aku diantar ke ruang jenazah yang sudah dikerumuni banyak orang. Begitu memasuki kamar, aku lihat jasad Mas Agus dan kedua anakku dalam posisi berjejer dengan kondisi tubuh yang nyaris tak utuh lagi.
Wajah kedua anakku masih bisa kulihat jelas meski banyak luka di tubuh mereka. Namun begitu lihat jenazah Mas Agus, astagfirullah... Aku jadi membayangkan, seperti apa sakit yang mereka rasakan ketika menemui ajal di jalan raya? Aku hanya bisa menangis histeris hingga tak sadarkan diri.
KOMENTAR