Tak pernah menyangka bila Minggu (24/2) silam adalah pertemuan terakhirku dengan anak semata wayangku, Galau Wahyu Utama (19). Di hari itu ia sempat mengantar aku ke Terminal Jember untuk naik bus menuju Surabaya, demi keperluan mengurus surat keterangan aku sebagai perawat.
Esoknya, Senin (25/2) seusai mengurus surat dari Surabaya, aku sempat berkirim SMS kepadanya, mengabarkan bila urusan surat selesai aku akan langsung pulang ke Bondowoso. Saat itu Galau masih sempat menjawab SMS. Namun setibanya di rumah petang hari, aku tak mendapati Galau ada di rumah. Menurut suamiku, Agus Santoso (45), siang pukul 14.00 Galau diminta Suwono, adik iparku yang tinggal di Sidoarjo, untuk menemui seseorang yang berencana melihat rumah yang akan dijualnya di Jl. Raden Patah, Jember.
Untuk berjaga-jaga bila ada yang akan melihat kondisi rumah, Suwono menitipkan kunci kepada Galau dan tetangganya. Oleh karena tetangganya tak ada di rumah, Suwono meminta Galau yang menemui calon pembeli. Suwono sebelumnya hanya berkomunikasi melalui HP dengan calon pembeli, tanpa pernah bertemu langsung. Rumah milik Suwono itu juga biasanya dijadikan Galau sebagai tempat istirahat di sela-sela kuliah.
Keluar - Masuk Rumah Sakit
Setelah menemui si pembeli, Galau tiba-tiba sulit dihubungi. Menjelang malam HP-nya tak aktif, di SMS pun tak berbalas. Aku dan suami bertanya-tanya, ke mana anakku, kok, belum pulang. Tak pernah ia main sampai larut malam. Sekitar pukul 22.00 aku dan suami memutuskan mencari Galau berboncengan motor menuju Jember.
Setiba di Jember, tempat yang pertama kali aku datangi adalah rumah adikku itu. Kondisi rumah gelap gulita, sementara pagar depan dan pintu utama tampak tak terkunci. Begitu lampu dinyalakan, aku tak menemukan Galau di sana. Aku hanya menemukan tas ransel berikut gadget-nya tergeletak di atas meja kamar.
Dihinggapi perasaan cemas, kami kembali berboncengan motor berputar-putar mencari Galau di seluruh kota Jember. Kami sempat mendatangi sejumlah rumah sakit. Kami tanyakan apakah ada korban kejahatan dengan ciri-ciri fisik seperti anakku.
Oleh karena tak berhasil menemukan Galau, aku kembali ke rumah adikku itu untuk beristirahat. Tapi aku tetap saja memikirkan Galau. Dalam hati aku berdoa dan memohon kepada Allah, bila anakku benar telah menjadi korban kejahatan, selamatkan lah nyawanya. Andai mobil atau harta lainnya dirampas, aku ikhlas sebab harta bisa dicari.
Aku tak putus asa, esoknya pagi-pagi sekali aku menongkrongi kampusnya. Siapa tahu ada Galau di sana. Lagi-lagi kekecewaan yang aku dapat. Teman-temannya tak satu pun mengetahui keberadaan anakku. Akhirnya kami kembali ke Bondowoso sekaligus melapor polisi. Menjelang sore kami dibantu kerabat kembali ke Jember naik mobil. Setiba di sana arah pencarian diubah, bukan RS melainkan ke sejumlah area publik, dari kafe sampai pertokoan yang ada di Jember.
Hingga larut malam, kami merasa mentok sebab Galau tak juga ditemukan. Akhirnya, kerabat kami memutuskan kembali ke Bondowoso. Nah, saat itulah aku seolah mendapat petunjuk. Sebelum sampai Bondowoso, aku minta mampir ke RSUD Jember. Aku mau menananyakan ulang, siapa tahu ada korban kejahatan atau kecelakaan yang masuk RS itu.
KOMENTAR