Belakangan ini MA (17), siswi kelas 3 SMAN 22 Jakarta Timur, lebih suka mengurung diri di rumah. Itu berlangsung setelah ia membuka kasus pelecehan seksual yang dialaminya. Remaja yang tinggal di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur, ini beberapa waktu lalu melaporkan T (47), wakil kepala sekolahnya, ke Polda Metro Jaya. T, menurut laporan MA, beberapa kali melakukan pelecehan seksual terhadapnya.
"Bebeberapa hari terakhir ini dia terus menangis. Kondisi psikisnya sangat drop. Dia merasa hidupnya sudah tak berarti," ujar Heru Narsono (50), salah seorang yang menjadi tempat MA mengadu.
Genggam Tangan
Kisahnya bermula dari kedekatan MA dengan T. Seperti dituturkan MA kepada Heru, menjelang kenaikan kelas sekitar Mei lalu, MA berdarmawisata ke Jogja dan Bali. MA yang saat itu kelas 2 IPS, duduk di bus bagian belakang. Dalam perjalanan, MA merasa kepalanya pusing. Selanjutnya, ia diminta T duduk di bangku sebelahnya yang kosong.
MA yang menurut Heru sejak kecil tak mengenal ayahnya ini, awalnya tak merasa aneh dengan perlakuan T. "Dalam perjalanan, T beberapa kali menggenggam tangan MA. Namun MA masih tak merasa aneh. Ia merasa itu layaknya hubungan ayah dengan anak, atau guru dan muridnya."
Pindah ke Bagasi
Sesampai di Jakarta, T mencoba lebih mendekati MA. Suatu ketika di bulan Juni, setelah MA naik kelas 3, T mengajak MA ke Ancol. Mereka janji bertemu di sebuah tempat yang cukup jauh dari sekolah. T berdalih, ajakan ini ada hubungannya dengan urusan sekolah. MA pun tidak menaruh curiga.
Mereka berdua lalu naik mobil T menuju Ancol. "MA mulai curiga ketika sesampai di pelataran parkir dalam suasana hari yang mulai gelap, T menunjukkan perilaku tak wajar," kata Heru.
Di mobil itu, lanjutnya, T melakukan pelecehan seksual. "Ada fakta baru yang disampaikan MA ketika melakukan visum di RSCM beberapa hari lalu, meski ceritanya sama dengan pengakuan sebelumnya. Di mobil itu, T memasukkan jemarinya ke kemaluan MA. Bahkan, T berniat menggagahi MA. Karena menolak, akhirnya MA dipaksa melakukan oral seks," ujar Heru.
Sesampainya di rumah, ketika akan buang air kecil, MA mendapati celana dalamnya ada bercak darah. Saat pipis, ia pun merasa perih. Tak hanya itu, suatu hari T kembali mengajak MA semobil. Kali ini tujuannya ke Sentul. Di area parkir, kembali T melecehkan MA.
Lalu, "Suatu hari menjelang bulan puasa yang lalu, T mengajak MA ke rumahnya. T menjemput MA di suatu tempat." Anehnya, ketika mobil akan memasuki kompleks rumah T di kawasan Bekasi, "T minta MA pindah ke bagasi agar tak terlihat orang. Alasannya, enggak enak sama tetangga. Terpaksa MA menuruti keinginan T. Sesampai di rumah, kondisinya sepi. Istri T katanya sedang nyekar."
Tindakan T, menurut MA, lebih brutal ketimbang sebelumnya. Tangannya meraba-raba bagian sensitif tubuh MA. T juga berusaha menggauli MA. Sebenarnya, MA berusaha memberontak. "Tapi seperti sebelum-sebelumnya, ia diancam akan dapat nilai jelek, dipersulit kelulusannya, dan tak akan dapat ijazah."
Sebagai anak sulung yang ingin sekolahnya lancar, MA takut mendengar ancaman T." Toh, kata Heru, MA tetap bisa mempertahankan kesuciannya. "Lagi-lagi MA dipaksa melakukan oral seks." Saat itu, menurut pengakuan MA, "Ia sebenarnya jijik dan marah. Ia putus asa tapi tak bisa protes. Sebagai murid, ia tak berani melawan wakil kepala sekolahnya. MA hanya bisa menangis. MA juga mengaku, kejadian di rumah T itu yang paling menyakitkan," ujar Heru.
Agar tak kembali dihubungi T, MA sengaja mengganti nomor ponselnya. Di sekolah, ia juga tak mau sendirian. Meski begitu, MA masih juga merasa tak nyaman. Sampai akhirnya, November lalu, ia mulai berani mengadukan masalahnya ke guru Bimbingan Konsuling. Oleh karena agenda sekolah padat, guru Bimbingan Konsuling baru mengadukan masalah ini ke kepala sekolah Januari lalu.
"MA mengaku diperiksa pihak sekolah. Kepala sekolah memintanya agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan, apalagi sudah menjelang ujian nasional. Nah, MA tak terima keputusan sekolah. Apalagi, belakangan ada isu yang berkembang di sekolah, MA berpacaran dengan Y, guru Geografi di sekolahnya. MA memang mengaku dekat dengan Y, tapi hanya sebatas hubungan murid dan guru. MA juga tak pernah jalan bersama Y di luar sekolah."
Akhirnya, MA memberanikan diri mengungkapkan masalahnya kepada sang ibu. Selanjutnya, Ns, ibunda MA, menghubungi Ibu Rama. "Bermula dari situlah, saya, Bu Rama, dan beberapa teman mendampingi MA. Kepada kami, MA mengungkapkan keluh-kesahnya."
Setelah yakin MA dan ibunya akan melanjutkan kasus yang menyangkut masalah hukum ini, Heru pun mendampingi ibu dan anak itu melapor ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Hari berikutnya, kasus ini dilaporkan ke Polda Metro Jaya.
Tak lama setelah itu, kasus MA tersiar luas di media massa Bahkan, menurut Heru, ada semacam jumpa pers di sekolah yang menghadirkan T didampingi kuasa hukumnya. Dalam kesempatan itu, T tidak mengakui perbuatannya. "Dia malah melempar isu adanya hubungan MA dengan guru Y."
Mendengar T berdalih, MA yang kala itu ada di lingkungan sekolah jadi menangis histeris. Rupanya, MA tahu soal pengingkaran T yang membuatnya menangis histeris. Sambil menangis, ia menuding T telah berbohong di hadapan banyak wartawan.
Cibiran di Twitter
Merebaknya kasus ini, papar Heru, membuat MA makin tertekan. "Tadi malam saya telpon dia. Seharian dia nangis terus. Yang membuat saya sesak, dia mengatakan, 'Om, saya sudah enggak ada harganya. Saya sudah mengecewakan Mama.' Saya coba tenangkan dia," ujar Heru.
Dikatakan Heru, MA juga sudah beberapa hari ini tak masuk sekolah. MA makin murung. Heru menduga, semua ini ada hubungannya dengan cibiran dari beberapa temannya lewat Twitter. Bunyinya antara lain, "Pusing gua Na, gila M bikin malu bgt nyampe di tv ada beritanya", "4 kali bisa dapat Rp 200 ribu, ya lumayanlah buat beli kerudung", atau "Kalau empat kali sih doyan, bukan pelecehan."
Heru, seperti halnya MA dan sang bunda, berharap, polisi akan menuntaskan kasus ini.
Henry Ismono
Berita yang lebih lengkap dan dalam ada di Tabloid NOVA. Belinya enggak repot, kok.
Sahabat NOVA bisa pilih langganan di Grid Store, atau baca versi elektroniknya (e-magz) di Gramedia.com, MyEdisi, atau Majalah.id.
KOMENTAR