Di Indonesia, kasus mutilasi sudah cukup lama ada. Sekadar mengingatkan, mutilasi yang dilakukan Agus Naser pada 1989 sempat membuat gempar. Apalagi, kala itu kasus mutilasi masih jarang terjadi. Setelah membunuh Diah Hodiah, istrinya, dengan cara menghantamkan kayu ke kepala sang istri, Agus yang saat itu menjabat pimpinan di sebuah sekolah swasta di Jakarta, juga memutilasi tubuh Diah jadi tujuh bagian. Wajah Diah tak lagi utuh karena disayat-sayat Agus. Hidung dan jemari tangannya pun hilang.
Usai memutilasi Diah, Agus yang dikenal pendiam dan jadi panutan banyak orang di sekelilingnya ini memasukkan potongan-potongan tubuh Diah ke dalam kantong plastik. Ia membuangnya di depan kampus Universitas Negeri Jakarta yang dulu bernama IKIP Jakarta. Polisi bekerja keras memecahkan misteri itu. Semula, hanya mendapatkan data, korban adalah perempuan, rambut berombak, berkulit kuning.
Setelah ditangkap polisi di rumah istri mudanya, Agus mengaku membunuh istrinya yang juga berprofesi guru karena kesal dan sakit hati kerap dimarahi dan dicemburui. Ia juga panik lantaran Diah mulai mencium keberadaan istri muda Agus. Alhasil, ia memutilasi Diah untuk menghilangkan jejaknya.
Ide memutilasi ini, menurutnya, didapat dari berita kasus mayat dipotong 13 yang dibuang di Jl Jend. Sudirman Jakarta, yang terjadi sebelumnya. Ia mengaku mendadak teringat berita itu dan yakin polisi sulit melacaknya bila ia melakukan hal serupa. Atas perbuatannya, hakim mengganjar pria berusia 54 tahun kala itu hukuman penjara seumur hidup.
Dalam kasus mutilasi yang dilakukan Imp kepada istrinya, krimilonog dari Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, menilai, hal ini tak semata akibat kondisi kejiwaan, tapi lebih kepada pilihan rasional yang dianggap cara termudah dan cepat untuk dilakukan. "Dia memutilasi korban karena sifat instrumental tadi," ujar dosen di Departemen Kriminologi UI ini. Lebih lanjut, mutilasi dilakukan berdasarkan logika sederhana pelaku untuk membuang tubuh yang dianggap besar.
"Kalau dikubur, mau dilakukan di mana? Karena lingkungan tempat tinggalnya tidak kondusif. Cara paling praktis, ya, dipotong-potong dan dibuang terpisah untuk menghilangkan jejak kejahatan." Jalan tol jadi pilihan karena dianggap kurang terawasi sehingga identitas korban dan pelaku akan sulit diketahui.
Imp juga diduga sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada korban, istrinya. Namun apa sebab ia sampai hati tega memutilasi istrinya, "Ini soal cara pandang suami terhadap istri. Pelaku menganggap rendah korban sebagai perempuan dan bisa diperlakukan sesukanya." Maka, lanjutnya, ketika mereka cekcok akibat tuduhan perselingkuhan, "Suami berpikir defensif. Dia melakukan kekerasan untuk menghentikan pertengkaran hingga mutilasi jadi ujung serial KDRT yang dilakukan."
Hal ini tak bisa lepas dari kultur masyarakat dimana sejumlah pasangan kerap menganggap posisi perempuan berada di bawahnya. KDRT yang kerap dilakukan Imp berakar dari pandangan terhadap sang istri semasa hidup hingga tewas, termasuk ketika Imp tetap beraktivitas normal setelah memutilasi istrinya. Peran Tn, perempuan simpanan yang membantu Imp membuang potongan tubuh, lanjutnya, meski termasuk perempuan yang melakukan kejahatan, tentu tak bisa dilepaskan dari dominasi Imp dalam relasi mereka berdua.
Dari berbagai kasus mutilasi yang ada, jika sifatnya spontan atau instrumental, tak perlu kepintaran khusus untuk meniru aksi kejahatan ini. Namun makin tinggi tingkat edukasi dan luasnya cara pandang seseorang terhadap kepentingan keluarga dan relasi gender, ia akan lebih arif menyikapi tiap masalah termasuk soal rumah tangga.
Iqrak menyayangkan, masyarakat terutama kelas bawah, masih pasif terhadap keinginan mereka untuk melaporkan KDRT yang bisa berakhir tragis seperti mutilasi ini. "Persoalan domestik apalagi KDRT bikin masyarakat enggan ikut campur. Harusnya publik jangan membiarkan, tapi diubah pandangannya bahwa aksi ini bagian dari kejahatan yang harus dilaporkan, baik ke ketua RT atau kepolisian agar bisa ditindaklanjuti."
Hasuna Daylailatu, Ade Ryani
KOMENTAR