"Abi tenang bersama Allah, ya. Main-main saja di sini. Abi pasti bakal senang," begitu yang kuungkapkan di hadapan jasad anak sulungku, Israq Abimanyu (11), menjelang pemakamannya dua pekan lalu. Ketika rombongan kami sampai di kampung halaman, aku juga mengungkapkan, "Abi, kita sudah sampai di kampung tempat tinggal Kakek."
Aku seolah mengajak mengobrol, seperti hari-hari biasa aku menemaninya, seperti juga obrolan yang kulakukan semasa ia sehat. Ketika aku membedaki wajahnya sebelum jasadnya ditutup kain kafan, aku juga kembali mengajaknya mengobrol, "Abi, pakai bedak dulu, ya. Ini bedaknya Dik Parikesit. Wangi sekali."
Melihatku mengobrol dengan jasad Abi, para pelayat malah mendugaku stres, "Bu, istigfar Bu." Padahal, aku enggak apa-apa. Kehilangan sudah pasti iya, tapi aku sudah sepenuhnya ikhlas. Bahkan, aku sudah lebih dari ikhlas. Begitu banyak hikmah kupetik dari setiap peristiwa ketika menemani Abi di hari-hari tidur panjangnya. Abi sudah memberikan kuota untuk nanti aku bersamanya, di tempat yang sudah disediakan bersama Allah.
Aku tidak akan mengurangi jatah kuota itu. Dalam tidurnya, Abi telah mengajariku untuk banyak bersyukur, banyak belajar tentang segala hikmah di balik suatu peristiwa. Abi juga sudah membuat ribuan orang tersentuh hatinya. Tak heran, ada teman di Twitter yang mengatakan, "Abi adalah motivator tanpa kata-kata." Ya, Abi adalah malaikat kecilku. Aku bersyukur sudah dititipi Allah seorang malaikat.
Dialog Lewat Mata
Sekilas mengenang Abi seperti yang sudah kuceritakan, Juli tahun lalu, Abi harus menjalani operasi pengangkatan tumor otak. Tumor yang posisinya dekat batang otak itu sudah membesar sekitar 3,2 cm. Dokter RS UKI tempat Abi menjalani operasi, memang sudah menjelaskan, risiko operasi adalah fifty-fifty.
Masih kuingat ucapan Abi yang kala itu masih bisa berdialog, "Mama, nanti habis operasi Abi dirawat di ICU, ya. Nanti Mama menemani Abi, kan? Itulah ucapan terakhirnya. Setelah itu, ia koma. Tak terasa sudah hampir tujuh bulan ia koma. Aku menepati janji untuk selalu menemaninya. Tak terasa capek. Semua berjalan seperti biasa.
Aku dan papanya selalu menemaninya, membacakan buku cerita, mengajaknya dialog. Selama itu pula, banyak keajaiban yang kurasakan. Meski koma, ia selalu merespons sapaan kami. Suatu saat aku pernah mengatakan, "Abi ingin Mama pangku, ya? " Abi, anakku penggemar wayang itu, memang masih suka manja. Nah, mendengar ungkapanku, ia menyorong-nyorongkan kepalanya, seolah minta dipangku.
Keajaiban lain, suatu saat aku merasa, Abi berdialog lewat matanya. Dari binar matanya yang terbuka lebar ia mengatakan, "Mama, Abi ingin bangun tapi enggak bisa." Aku pun menjawab, "Coba terus, Nak. Minta izin Allah." Tak lama kemudian, ia tidur lagi.
Selama masa perawatan di ICU, kondisinya memang naik-turun. Namun dua bulan belakangan, kondisinya makin baik. Gerak motoriknya sudah sangat bagus. Bahkan, ia sudah tak perlu diberi obat lagi. Rasanya jarang sekali ada pasien ICU yang tak perlu obat. Kalaupun Abi masih di ICU, itu karena ia harus menggunakan alat ventilator yang tidak bisa dibawa keluar dari ruang ICU.
Aku dan suami sudah ancang-acang pindah ke ruang biasa. Toh, ia sebenarnya sudah tak perlu lagi di ICU. Rabu (6/2) sore suami pun sudah memilih kamar perawatan, semuanya sudah kami siapkan. Aku juga sudah belajar cara merawat Abi. Tentang rencana pindah kamar esok hari juga sudah kujelaskan kepada Abi, "Nanti Abi pindah ke ruang yang lebih bagus. Beda dengan ICU, di sini Mama bisa selalu nungguin. Nanti semuanya sama Mama, mulai mandi, makan, dan tidur."
Rabu malam (6/2), seperti biasa, aku dan suami menunggu di depan ruang ICU. (Sudiro mengatakan, sekitar pukul 20.30 ia sempat masuk ruang ICU. Ia sempat mengobrol dengan dokter dan perawat. Kondisi Abi masih baik-baik saja. Lalu, Sudiro ke luar ruang ICU. Namun, tengah malam Sudiro diminta kembali ke ICU.)
Ternyata, Abi anfal. Tak lama kemudian, aku ikut masuk. Kulihat, tubuh Abi membiru. Dulu, ia memang seperti itu usai buang air besar. Seperti orang sehat, ketika mau BAB, kan, mengejan. Saat BAB Abi suka menahan napas yang mengakibatkan tubuhnya membiru. Dokter akan langsung melakukan penanganan sampai ia pulih lagi. Namun kala itu, kondisi Abi terus merosot.
Keadaan Abi sudah semakin kritis. Aku dan suami sudah pasrah. Kami rela seandainya ia akan pergi. Sambil dokter terus mencoba memberi pertolongan, kami terus berdoa. Sambil berurai airmata, aku berbisik kepadanya, "Abi, Mama dan Papa di sini. Abi sama Allah ya, Nak. Tunggu Mama di sana. Nanti Papa dan Mama pasti juga menyusul. Tenang, ya, Nak. Yuk, kita zikir." Aku yakin, Abi pasti mendengar ucapanku.
Suasana ruang ICU begitu hening. Sampai akhirnya dokter minta izin untuk rekam jantung Abi. Aku paham, Abi sudah pergi. Dokter hanya ingin memastikan bahwa Abi sudah tidak ada. Memang benar. Jam 01.20, Abi dinyatakan meninggal. "Selamat jalan, Nak. Tunggu Mama di sana. Siapkan Mama rumah yang bagus, ya," ujarku.
Ah, rupanya Abi tak mau merepotkan kami. Ia tak ingin kami khawatir karena kondisinya terus merosot. Makanya, ia pergi saat kondisinya sudah jauh lebih bagus ketimbang hari-hari sebelumnya.
Kulihat wajahnya, ia tampak begitu tenang. Anehnya, aku melihat parasnya seperti kanak-kanak. Polos. Padahal, ia kan sebenarnya sudah menjelang remaja. Namun ketika sampai di kampung halaman menjelang dimakamkan, aku melihatnya tampak sudah remaja. Ada kumis tipis, tubuhnya juga lebih kekar. Allah menunjukkan kepadaku keadaan Abi saat remaja.
Jasad Abi sempat kami bawa ke rumah kontrakan, tak jauh dari RS UKI. Ia juga disembahyangkan di mushala dekat rumah. Hari itu juga, kami terbang ke kampung halaman. Pertimbangannya, kami tidak punya saudara di Jakarta. Lebih baik dimakamkan di kampung halaman. Kebetulan, makamnya tak begitu jauh dari rumah kakeknya.
Abi memang sudah tiada. Namun, kesempatan menemani Abi selama ini memberikan kepada kami pengalaman luar biasa. Begitu banyak keajaiban. Salah satunya tentang biaya perawatan. Total kami keluar biaya Rp 1,2 M, itu pun masih dibantu dana pemerintah ratusan juta. (Sudiro menambahkan, gajinya dikumpulkan seumur hidup pun, mungkin tak akan mencapai jumlah itu. Meski begitu, Allah selalu memberi kami jalan.)
Namun, yang jauh lebih penting adalah pelajaran tentang hidup. Kami memetik banyak hikmah. Kehilangan sudah pasti, sedih iya. Tapi bukan sedih karena ia menderita. Aku yakin ia tidak pernah menderita. Itu sebabnya, tak ada perasaan nelangsa di hatiku. Sebaliknya, aku justru bangga punya anak seperti Abi.
Dari Abi, aku juga belajar tentang ketabahan dan kepasrahan. Namanya saja menunggu di ruang ICU, aku kerap melihat pasien meninggal. Bahkan, dalam sehari bisa 2-3 kali. Kalau dihitung-hitung, sudah ratusan yang meninggal. Meski begitu, aku tak pernah berpikir, "Abi akan menyusul." Hanya saja, tiap ada pasien yang mendekati sekaratul maut, Abi akan terlihat berbeda. Misalnya, tiba-tiba ia demam atau denyut nadinya kencang. Ternyata, pasien di sebelahnya meninggal. Aku sampai hafal soal itu. Ketika pagi hari Abi gelisah, siang atau sorenya pasti ada yang meninggal.
Jika sudah begitu, aku dan suami berusaha menenangkan. Aku zikir membacakan Al Quran atau setidaknya mengajaknya mengobrol. Selanjutnya, Abi akan tenang kembali. Ya, setiap mengenang Abi, selalu terasa hangat dan semangat. Semangat mengejar kuota. Jangan sampai kesempatan saya hilang. Saya ingin memenuhi kuota Tuhan, dengan banyak beramal, ibadah ditingkatkan, berbuat baik kepada setiap orang,
Ya, aku sudah siap melanjutkan hidup tanpa Abi. Lewat anak ksatriaku, Allah sudah membukakan mata hati kami. Kejadian apa pun selalu ada berkahnya. (Hari itu, Tri dan Sudiro mempersiapkan 7 hari meninggalnya Abi. Mereka juga ziarah ke makam pahlawannya. Sebelum meninggalkan makam, ibunda tercinta mengungkapkan pesan, "Abi, tenang di sini ya, Nak. Tunggu Mama dan Papa.")
Henry Ismono
KOMENTAR