Sampai kini, sang supir angkot, Jamal (37), masih belum bisa memahami apa yang terjadi. "Sering saya memikirkannya belakangan ini, makanya saya jadi lebih pendiam. Sebelumnya saya senang bercanda, tertawa terus," ungkapnya kala ditemui di Satlantas Polres Jakarta Barat, Rabu (13/2). Dengan tenang, pria bertubuh sedang ini menceritakan kembali peristiwa nahas di hari Senin (11/2) itu.
Sore itu, seperti biasa ia mengangkut penumpang angkutan U10 jurusan Sunter-Pluit yang ia kemudikan. Ada 14 penumpang yang ia berangkatkan dari Stasiun Kota. Sampai di Tanah Pasir, semua penumpang turun kecuali seorang gadis yang tak lain Annisa. Saat ditanya tujuannya, Annisa menjawab hendak ke Pademangan. Rupanya, menurut Jamal, Annisa salah arah. Seharusnya ia naik angkot U10 dari arah seberang.
Merasa kasihan, Jamal berinisiatif mengantarkan Annisa kembali ke Stasiun Kota. Namun karena saat itu jam pulang kantor, jalanan macet. Jamal berinisiatif mengambil jalan alternatif yang menurutnya biasa dilaluinya. "Semua teman saya sopir angkot U10 pasti lewat jalan itu kalau macet. Jadi, saya tidak bermaksud melarikan dia atau berniat jahat," tandasnya.
Pria yang sudah delapan tahun menduda tanpa anak ini juga mengaku tidak mendengar permintaan Annisa untuk turun. Apakah ia menyetel musik dengan keras sehingga dak mendengar? Jamal menggeleng. "Mobil saya ini kayak odong-odong, sudah tua banget, enggak bisa setel musik," terangnya. Ia menambahkan, Annisa pertama kali dilihatnya duduk di deretan bangku untuk empat orang, lalu pindah ke bangku kecil dekat pintu masuk.
Namun ia mengaku tak tahu saat Annisa melompat dari angkutan saat melintas di atas jembatan layang Asemka, lantaran konsentrasinya hanya ke jalanan yang sedang ramai. Jamal juga mengaku tidak mengebut, karena kecepatan mobilnya hanya 30 km/jam. Katanya, ia baru tahu saat seorang pengemudi motor memberitahunya, penumpangnya jatuh. "Padahal tujuannya sudah sangat dekat, tinggal beberapa puluh meter lagi. Mungkin dia jarang naik angkot ke jurusan ini, jadi tak tahu jalan alternatif itu."
Ketika itu Jamal langsung menghentikan mobilnya dan menghampiri Annisa yang ternyata pingsan dalam posisi miring ke kiri. Polisi yang tak jauh dari tempat kejadian juga langsung menangani. Jamal lalu membawa Annisa ke RS Atmajaya Koja menggunakan bajaj. Sampai di sana, keluarga korban sudah menunggu. "Dia dibawa ke ICU, sementara saya langsung dibawa polisi ke sini. Sejak itu saya ditahan," tuturnya pilu.
Meski sudah dijenguk orangtua, saudara, dan teman-temannya, tak urung Jamal merasa galau. Sebagai sopir angkot, ia hanya mendapat penghasilan Rp 50 ribu per hari. Bahkan kadang hanya cukup untuk uang makan sehari. "Waktu banjir di Pluit, dua minggu saya enggak bisa narik. Dapat uangnya hanya dari jaga rental PS, itu juga cuma cukup buat makan."
Ia sepenuhnya sadar, peristiwa yang menimpanya ini pasti menyimpan hikmah baginya dan orang-orang sekitarnya. "Ini apesnya saya saja. Sudah jalan Tuhan. Saya tak boleh putus asa atau menyalahkan Tuhan. Ini kelalaian saya, saya minta maaf ke keluarga korban," tuturnya. Ia berharap kasusnya cepat selesai sehingga bisa beraktivitas lagi. "Saya pengin narik angkot lagi," ujar Jamal yang terancam hukuman 12 tahun penjara.
Jika ada yang merasa tak rela Jamal ditahan, dialah Devi (22). "Saya kenal baik Jamal, tahu persis dia seperti apa. Jamal sangat baik," kata mahasiswi semester delapan jurusan broadcasting Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof Dr Hamka Jakarta.
Sejak SMP hingga kuliah, Jamal jadi sopir pribadi Devi, mengantarnya ke mana pun ia pergi. Pergi-pulang sekolah, kuliah, ke pesta ulangtahun teman, bahkan bekerja, selalu Jamal yang mengantarnya. "Orangtua saya hanya percaya dia."
Setiap hari, sebelum narik angkot, Jamal mengantarnya kuliah. "Malam dia jemput lagi. Kalau dia mau, mobil orangtua saya bisa saja dibawa lari. Kan, kunci dan STNK selalu diserahkan ke dia tiap mengantar saya," tutur Devi yang sehari-hari mengenal Jamal sebagai tetangga yang baik, mudah akrab, dan pekerja keras. "Setelah menjemput saya, dia masih jaga rental Play Station (PS) miliknya dan temannya, meskipun jumlah PS-nya hanya tiga unit."
Masih kata Devi, Jamal amat pemurah dan siap membantu jika diperlukan. "Pokoknya, 100 persen saya yakin dia orang baik!" tandas Devi. Lalu kenapa Annisa nekat melompat? Dari kacamata psikolog Tara Adhisti de Thouars, faktor pemicu kenekatan Annisa dilatarbelakangi rasa cemas, takut, dan panik.
Tiga hal ini, kata Tara, muncul berdasarkan pola pikir seseorang. "Misalnya, seseorang berpikir negatif mengenai suatu hal, maka emosi yang muncul juga negatif."
Apalagi, lanjutnya, maraknya berita tentang kriminalitas dalam angkot berperan sangat besar dalam membentuk pola berpikir seseorang. "Akhirnya timbul persepsi tertentu tentang angkot yang bisa jadi kepercayaan. Seperti "angkot berbahaya" atau "harus waspada terhadap angkot". Perilaku penumpang pun jadi lebih hati-hati dan waspada saat naik angkot."
Ada pun tahapan seseorang yang cemas dan panik hingga nekat melakukan hal tertentu didasarkan persepsi akan sinyal bahaya. "Sinyal ini dipelajari seseorang berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan instinknya." Dalam hal ini, informasi kejahatan di angkot dipelajari Annisa sebagai salah satu sinyal bahaya yang harus diwaspadai.
Alhasil, ketika ia mengalami keanehan, keganjilan, dan kecurigaan (angkot tak mau berhenti atau sopir mau mengantar tapi tak mau menurunkan), sinyal bahaya seketika jadi aktif dan menimbulkan emosi tertentu yang sangat tak nyaman. "Sebagai reaksi wajar manusia, emosi takut tadi diperkuat pola pikir negatif, seperti "Bagaimana jika diculik?" atau "Bagaimana jika sopir berniat jahat?" yang meningkatkan intensitas rasa panik."
Dalam kondisi demikian, insting melindungi diri otomastis akan muncul, "Ini manusiawi dan sangat normal. Seperti bila akan dipukul, reaksi yang keluar adalah menangkis."
Dalam kasus Annisa, kata Tara, situasi di angkot membuatnya hanya punya sedikit pilihan untuk melindungi diri. "Melompat atau menghindari situasi ancaman adalah cara paling cepat dan memungkinkan untuk dilakukan demi mengatasi rasa takut dan paniknya," urai Tara.
Untuk menghindari rasa cemas dan panik berlebihan tadi, kata Tara, bisa dimulai dengan mencoba berpikir positif dalam situasi apapun, "Emosi negatif hanya bisa dikendalikan dengan pola pikir yang lebih positif. Pastikan, pikiran negatif memang sesuai kenyataan dan bukti yang ada, sehingga emosi negatif bukan muncul tanpa alasan yang tak jelas."
Mengenai sopir angkot yang menyangkal dirinya tak ada niat jahat, menurut Tara, seharusnya bila ia berniat baik, tunjukkan dengan cara yang lebih bisa membuat nyaman. "Tentu tak ada gunanya menolong orang dengan cara membuat kepanikan yang lebih besar, dengan melakukan hal-hal yang bertolak belakang dari permintaan penumpang."
Hasuna, Ade Ryani
KOMENTAR