Perempuan mana yang mau dimadu? Apalagi istri baru sang suami berusia jauh lebih muda darinya, bahkan seusia dengan anak sulungnya. Perasaan itulah yang ada di benak I Nengah Mujiani saat ini.
Saat ditemui di rumahnya, ibu dua anak ini pun mengungkapakan perasaannya. "Dulu saya gemuk, tapi begitu suami nikah lagi, sekarang berat badan saya turun banyak," kata Mujiani sambil tertunduk.
Perempuan yang sehari-harinya jadi buruh kasar itu berkata, cobaan hidup yang tengah menderanya cukup berat. Ia tak menduga, keharmonisan rumah tangga yang sudah dibina belasan tahun akhirnya terkoyak oleh hadirnya perempuan lain di rumahnya.
Sebagai istri, ia tentu merasa sakit hati ketika suaminya berpaling ke perempuan lain, apalagi ia mendapati kenyataan si perempuan itu berusia sama dengan anak sulungnya. Mujiani mengaku terpaksa memberi izin Cidre menikah lagi, lantaran ia merasa kasihan kepada suaminya itu. "Saya tak tega lihat suami murung terus setelah keluarga Jun minta pertanggungjawaban. Karena itu saya izinkan," katanya dengan mata menerawang. Ia kini mengaku pasrah mendapati suaminya ditangkap polisi. "Mau apalagi, saya akan berusaha membesarkan anak-anak saja," pungkasnya.
Perasaan gundah juga dirasakan keluarga besar Jun. Sejatinya, seluruh keluarga merasa berat menyaksikan perkawinan itu, mengingat Jun masih duduk di bangku SD. "Tapi bagaiamana lagi, ini terpaksa karena anak saya sudah hamil," kata I Wayan Kecik (50) ayah Jun.
Bagi Kecik, sang istri Nengah Nodre yang pertama kali melihat perubahan pada tubuh anaknya. Kendati demikian, Jun tak mau mengaku saat ditanya. Ketika Jun menolak berangkat ke sekolah, barulah ia mengaku sudah hamil sekitar 5-6 bulan.
Sontak, pengakuan itu membuat keluarga Jun terkejut. Terlebih lagi yang menghamili adalah Cidre, tukang bangunan yang sedang mengerjakan rumah mereka. Tak ada jalan lain bagi Kecik dan Nengah selain minta pertanggungjawaban Cidre.
"Saya tidak mau anak saya dianggap kotor dan tidak suci oleh adat. Soalnya, kalau Jun melahirkan tanpa punya suami, dia tidak boleh sembahyang masuk pura," papar Kecik.
Beruntung, tetua adat mau menikahi Jun dan Cidre. "Pernikahan mereka dibarengi upacara dan pesta, agar kelak selalu dilindungi Tuhan," kata Kecik, yang belakangan ini mengaku stres pernikahan anaknya diperkarakan penegak hukum.
Mencuatnya kasus perkawinan antara Cidre dan Jun, menurut Kasatreskrim Polres Bangli, AKP Gusti S. Putra, bermula dari surat pembaca yang dimuat salah satu media lokal Bali. Selanjutnya, petugas langsung mengadakan penyelidikan lapangan.
Dari hasil pemeriksaan, lanjut Gusti, timnya menetapkan status Cidre menjadi tersangka karena melanggar UU Perlindungan Anak. "Menikahi anak dibawah umur, kan, tidak boleh. Ini kasus yang sama persis seperti yang dilakukan Syeh Puji beberapa tahun lalu," kata Gusti.
Menaggapi soal pernikahan di bawah umur ini, Siti Sapura, aktivis Lentera Anak Bali (LAB) menegaskan, dalam kasus ini sama sekali tidak boleh ada toleransi. Tersangka harus dituntut berdasarkan hukum dan sesuai undang-undang.
Menurutnya, Jun harus dikembalikan ke orangtuannya dan diberi kesempatan untuk melanjutkan sekolah. Sementara bila anaknya sudah lahir, bisa diasuh oleh keluarga. "Jun masih di bawah umur, sehingga tak boleh melakukan perkawinan," tegas Siti.
Siti mengaku, pernah memberi advokasi dalam kasus serupa di Kabupaten Klungkung, Bali. Dalam kasus itu si anak akhirnya diserahkan ke orangtuannya untuk disekolahkan, sementara bayinya diasuh oleh keluarga ibunya.
"Hukum tak boleh kalah oleh adat. Sekalipun sudah dinikahkan secara adat, tapi itu semua tidak berlaku," tegasnya. Sementara Wayan Wira dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak Bangli mengatakan, dalam kasus ini harus dilakukan pemecahan secara proporsional. Artinya, silakan pelaku dihukum sesuai aturan yang ada, namun jangan ada usaha untuk memisahkan. "Jika sampai dipisahkan, bagaimana aspek sosial termasuk ekonomi korban?" kata Wira.
Selanjutnya, Kapolres Bangli AKBP Sakeus Ginting menegaskan, polisi tetap akan menjerat Cidre dengan pasal 81 (2) UU Perlindungan Anak, yang intinya melakukan bujuk rayu berbuat cabul dengan anak di bawah umur, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun. "Tapi tersangka proaktif sehingga tidak kami tahan," kata Sakeus.
Gandhi Wasono M
KOMENTAR