Selain menulis buku, Anda juga motivator dan pengusaha. Sebenarnya lebih suka dikenal sebagai apa?
Itu sih, terserah publik saja. Orang memang kenal saya sebagai penulis buku. Sejak 2010, buku saya katanya menempati posisi nomor satu untuk kategori non-fiksi, yaitu buku 7 Keajaiban Rezeki yang sudah terjual ratusan ribu eksemplar. Bahkan, pada bulan-bulan tertentu mengalahkan buku komik Jepang. Tidak termasuk yang bajakan, ya, yang notabene lebih murah.
Ketika saya ke Hong Kong pun, yang saya temukan adalah buku bajakannya. Sekarang, buku terbaru saya yang baru akan diluncurkan pada tanggal 26 Januari ini, sudah terjual sekitar 10.600 buah dan merupakan rekor tertinggi untuk penjualan sebelum lauching. Promosinya memang sudah dilakukan sejak Desember 2012.
Jadi, apa profesi sebenarnya?
Apa, ya? Sehari-hari, sih, saya menjalankan usaha. Saya nyaris tidak keluar rumah dan kantor saya jaraknya hanya dua menit berjalan kaki dari rumah. Saya menangani banyak bisnis, sehingga sayang rasanya kalau harus menghabiskan waktu di jalan. Menghadiri seminar publik juga tidak sering. Sebulan paling hanya dua kali. Selain itu, saya rajin menulis buku saja.
Bagaimana kisahnya memulai karier sebagai pengusaha?
Setelah lulus kuliah dari jurusan marketing di Universiti Utara Malaysia (UUM), saya kerja di bidang marketing di perusahaan properti di Batam. Pernah juga kerja di luar negeri. Sambil kerja, saya nyambi jadi dosen dan menulis artikel di koran. Beberapa kali saya ditawari beasiswa S2, termasuk dari Belgia, tapi saya tolak. Daripada menghabiskan waktu selama dua tahun di sana, saya pikir lebih baik waktunya digunakan untuk berbisnis.
Selain lebih banyak yang dihasilkan dari segi finansial, dari sisi manfaat juga jelas lebih terasa. Kalau ingin mapan secara finansial, caranya, ya, dengan berbisnis. Kalau masih jadi karyawan, bisa saja kaya, tapi caranya rumit. Kecuali menikah dengan anak orang kaya, dapat harta warisan, atau harta karun. Ha ha ha. Karena niat saya ingin punya usaha, pelan-pelan saya menabung. Sampai akhirnya, saya benar-benar pindah kuadran.
Setelah beberapa tahun bekerja, saya benar-benar berhenti kerja dan mulai berbisnis. Saya coba berjualan soto, tapi akhirnya tutup. Jualan bakso, juga sama. Jualan gado-gado, tutup juga. Menjual jasa sebagai penerjemah yang sudah saya jalani sejak lama memang masih dan sebetulnya hasilnya lumayan, tapi capek karena beban tugasnya banyak dan harus dikerjakan sendiri. Saya lalu mencoba jualan donat, eh, tutup juga, meski sudah sempat punya tiga cabang.
Sempat merasa putus asa dan syok?
Tidak pernah. Putus asa itu temannya iblis. Itu sama saja dengan tidak percaya terhadap Tuhan. Syok juga enggak, karena sejak awal niat saya adalah berbisnis. Usahanya kecil juga enggak apa-apa, yang penting bisa banyak jumlahnya. Rugi, ya, biasa saja.
Apa penyebab tutupnya semua bisnis itu?
Kalau bakso, memang saya tidak ahli di situ. Saat jualan soto, ada konflik internal. Pemilik lokasi warung saya ternyata bermasalah dan menghilang. Saya jadi enggak bisa jualan soto lagi. Kalau donat sebetulnya hasilnya bagus, tapi saya enggak fokus. Saat itu, saya nyambi rekaman album. Saya yang memproduseri, sampai-sampai mobil saya jadikan agunan untuk biaya rekaman. Ketika itu ruginya banyak juga. Dari situ saya belajar, uang dan waktu bisa dibagi, tapi hati dan pikiran ternyata tidak.
Alhamdulillah tidak. Sebab saya biasanya cari pemodal. Saat jualan donat, saya pakai sistem bagi hasil. Ketika berjualan soto dan gado-gado, saya cuma bermodalkan Rp 500 ribu. Saya kerja sama dengan pemilik rumah tempat saya jualan.
Kapan akhirnya bisa bangkit?
Sejak saya punya Taman Kanak-Kanak Khalifa pada tahun 2007, di Batam. Sistemnya juga sama, bagi hasil dengan pemilik rumah yang saya jadikan TK. Alhamdulillah, usaha ini berkembang dan makin dikenal orang. Sampai sekarang, cabangnya sudah hampir 100 TK di seluruh Indonesia.
Apa keistimewaan TK ini sampai berkembang sedemikian banyak?
Sampai sekarang di Indonesia, TK Khalifa merupakan satu-satunya TK yang pendidikannya berbasis tauhid dan entrepreneurship. Biasanya yang berbasis entrepreneurship, kan, perguruan tinggi atau SMA. Nah, kami ingin menanamkan jiwa usaha sejak usia dini. Caranya, dengan memberinya cita-cita terlebih dulu, untuk membentuk pola pikir. Anak TK umumnya bercita-cita jadi pilot, tapi di TK kami mereka diarahkan untuk bercita-cita jadi pemilik maskapainya. Ketika anak lain ingin jadi dokter, siswa kami diarahkan untuk bercita-cita sebagai pemilik rumah sakitnya.
Selain itu, cerita-cerita Islami yang kami berikan juga isinya yang bernuansa bisnisnya, misalnya tokoh Umar, Usman, dan lainnya. Sebetulnya, pola pikir ini hanya soal environment saja. Bila diarahkan ke bisnis, pasti pikirannya akan ke sana. Kita selama ini berpikir untuk menjadi karyawan karena orangtua dan pendidikan kita bisa jadi memang mengarahkannya ke sana. Nah, di Khalifa kami berusaha untuk memutus pola pikir seperti itu sejak awal didirikan.
Dua hal itu yang membuat orang tertarik menjadi mitra?
Awalnya di 2007, orang tidak setuju dengan pemikiran itu. Seingat saya, ketika itu muridnya hanya 32 orang. Pelan-pelan, banyak orangtua yang tertarik menyekolahkan anaknya ke TK kami. Sekarang, TK-TK lain malah melakukan studi banding ke sekolah kami. Kalimat marketing-nya begini: Andai Anda pengusaha, apakah ingin anak Anda juga jadi pengusaha? Andai Anda karyawan, apakah ingin anak Anda jadi karyawan juga? Tentu tidak, kan?
Meski jadi karyawan, tentu orang ingin anaknya jadi pengusaha. Nah, itulah yang saya tekankan. Relasi saya yang ada di Jambi tertarik membuka cabang. Setelah itu, banyak yang tertarik pada Khalifa, bahkan bermitra dengan membuka cabang. Sekarang, Khalifa berkembang dengan adanya SD, playgroup, dan penitipan anak.
Hasuna Daylailatu/ bersambung
KOMENTAR