Kabar terakhir mengenai keluarga A, pasca pengakuan S, dapat diketahui dari Cicih Kurnia, yang tinggal tak jauh dari rumah kontrakan A. Cicih dikenal sebagai tempat meminta bantuan warga sekitar saat ada masalah. "Kalau ada yang sedang terkena masalah, saya bantu. Paling tidak saya ajak bicaralah. Biasanya mereka jadi lebih tenang. Nah, keluarga Ri termasuk salah satunya," kata perempuan berkerudung ini.
Dua hari setelah S ditetapkan jadi tersangka, istri (A) beserta anak-anaknya memilih pindah dari rumah itu. "Pindahnya malam hari, saya yang mengantar mereka. Tapi terus terang tempatnya rahasia. Tak jauh dari kontrakan lama, masih satu kelurahan," papar Cicih yang juga banyak mengetahui masalah yang menimpa keluarga A.
Beredar kabar, kepindahan A karena diusir warga. Maklum, mereka dianggap memalukan warga sekitar. Lebih jauh dikabarkan, A pulang ke Pemalang, kampung halamnnya. Cicih sempat bertanya ke pemilik kontrakan. "Apa benar mereka diusir? Ternyata tidak, kok. Pemiliknya memang sempat tanya ke A, dan mereka yang memutuskan untuk pindah rumah. Ya, sudah, itu keinginan mereka."
Diakui Cicih, ada sebagian warga yang prihatin dengan peristiwa yang dialami A, tapi ada juga yang kesal. "Namanya juga orang, pasti beda-beda menyikapi masalah ini. Saya berusaha memberi saran terbaik buat A dan keluarganya."
Kakak perempuan Ri, yang masih bersekolah di kelas 2 SMP sempat memberitahu rencananya pindah rumah. "Tapi kami enggak akan pulang kampung, kok. Ibu memang beres-beres baju, siapa tahu suatu hati harus pulang kampung. Tidak mungkin dalam waktu dekat, karena saya masih sekolah," ujar gadis berambut panjang ini.
"Dua Kali Dilakukan"
Di hadapan Djarot Widodo, SH, pengacara yang mendampinginya, S mengaku khilaf dan menyesal telah memerkosa putri bungsunya sendiri. "Perbuatan itu dilakukan sebanyak dua kali. Alasannya, karena istrinya selama seminggu berada di rumah sakit pasca dioperasi tumor di ketiaknya. Perbuatan pertama dilakukan Selasa (16/10) malam tahun lalu, pada saat semua keluarga sedang tidur nyenyak."
Menurut Djarot, kondisi rumah S tak memiliki kamar sama sekali. Jadi mereka tidur di satu ruangan bersama-sama, yang menurut S tidur berjejer seperti ikan pindang. "Ri dibangunkan S dan disuruh membuka celana panjang dan celana dalamnya. Perkosaan itu pun terjadi malam itu. Ri hanya bisa terdiam tak bisa berbuat apa-apa. Diakui S, saat itu Ri tidak menangis tapi sempat mengeluarkan darah. Selama 5 menit S berbuat itu. Satu pun keluarga tak ada yang mengetahui karena semua tertidur pulas," papar Djarot menirukan pengakuan S.
Keesokan harinya, Ri seperti biasa sekolah dan main bersama teman-temannya. Namun tiga hari kemudian, Jumat (19/10), perbuatan itu kembali dilakukan S. "Kali ini dilakukan jam 11.30 saat di rumah sepi tak ada orang sama sekali. Ri kebetulan belum berangkat sekolah karena masuk siang, kakaknya ada yang sekolah dan kerja. Saat itu Ri sedang main masak-masakan di dapur lalu dipanggil S ke dalam. Ri ditidurkan di ruangan yang sama dan digagahi selama 5 menit. Hanya saja kali ini Ri tak mengeluarkan darah." Setelah itu, Ri berangkat ke sekolah seperti biasa. Diakui S, ia melakukan perbuatan itu tanpa menjanjikan apa pun ke anaknya. "S juga tidak mengancam agar Ri mau. Ri menurut saja apa yang dilakukan S."
Menurut Djarot, S dikenai ancaman hukuman maksimal 15 tahun, minimal 3 tahun lewat Pasal 81 UU No. 22 tahun 2003. "Di UU ini belum diatur hukuman mati. Penyidik menggunakan UU Perlindungan Anak."
Kepala Polres Jaktim Komisaris Besar Mulyadi Kaharni mengatakan, terungkapnya S sebagai pelaku melalui serangkaian penyelidikan ilmiah, keterangan saksi, alibi, serta barang bukti. Tim memulai penyelidikan terhadap lima saksi, S, kakak korban, tetangga korban, dan dua orang lainnya. "Mereka diperiksa secara medis, psikologi, juga dari keterangan saksi," tutur Mulyadi, Jumat lalu.
Kakak korban dan tetangganya, dari hasil pemeriksaan medis, tak menunjukkan memiliki kesamaan penyakit dengan korban. "Hasil DNA kedua saksi menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan pun difokuskan kepada S, ternyata ada kesamaan bakteri penyakit pada S dan Ri. "Bakteri itu diketahui ditularkan lewat hubungan seksual. Dari hasil pemeriksaan medis itu unsurnya dipenuhi oleh tersangka," jelas Mulyadi lagi.
Sementara itu, Irwanto, Direktur Lembaga Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia, mengatakan, "Yang perlu diubah dari sistem hukum di Indonesia, yakni tidak mengenal hukum yang menumpuk. Jadi seseorang tidak bisa diberikan 3-4 hukuman atas kesalahan yang dilakukan."
Seperti kasus S, bisa dikenai 4 pasal, yakni pencabulan, kekerasan, tidak memerhatikan kondisi sang anak karena sakit, dan pembunuhan. "Bila semua pasal itu dikenai, S bisa dikenai hukuman 40-50 tahun penjara. Jadi tidak perlu hukuman mati."
Kendati pelaku perkosaan dapat disebut "monster", kata Irwanto, namun monster tidak menciptakan dirinya sendiri. "Kondisi kehidupan, kemiskinan, rumah yang kecil, itulah yang memaksa dia menjadi monster. Semua itu harus disikapi secara baik. Jika tidak, monster lain akan muncul terus. Hukuman mati ibarat permainan "cilukba", ketika menutup mata orang yang dicari sudah tidak ada. Tapi saat dibuka matanya, orangnya ternyata masih ada."
Selanjutnya, Irwan sangat setuju jika pelaku dihukum seberat-beratnya. "Tapi tidak seluruh waktunya dihabiskan di penjara, pelaku juga harus melakukan rehabilitasi."
Pasalnya, "Dia, kan, orangtua dari anak-anaknya yang masih tumbuh dan berkembang. Siapa tahu suatu saat, anak-anaknya bisa memaafkan perbuatan orangtuanya dan hidup menjadi lebih baik dari sebelumnya. Tidak akan selamanya dia menjadi monster yang jahat."
Akan tetapi, lanjutnya, disisi lain efek yang diterima korban perkosaan tentu saja sangat serius. "Tentu akan menghancurkan segala-galanya, tak hanya menimpa si anak tapi juga pelakunya, apalagi orangtuanya sendiri. Makanya dibutuhkan terapi yang lama dan pendampingan. Jangan sampai setelah pelaku menjalani hukuman, lalu didiamkan atau dijauhi keluarganya. "
Untuk mengantisipasinya, perlu dibentuk sistem perlindungan anak sampai ke tingkat RT dan RW. "Contohnya di Malaysia, melibatkan tokoh masyarakat dan para dokter yang didukung pemerintah. Sebaiknya memang pemerintah harus segera melakukan berbagai perbaikan, mulai dari pendidikan, tempat rehabilitasi, juga penjara," tuntas Irwan.
Noverita K Waldan
KOMENTAR