Gia
Tas batik juga kini semakin banyak dijual lewat dunia maya. Salah satunya adalah Novi Riandini (38) yang berjualan tas batik dan tenun lewat Facebook (FB) sejak 2010 lalu. Bermula karena terpepet, bisnis ini kini justru telah menghasilkan pemasukan yang lumayan. Tiga tahun lalu, berawal dari niat ingin memberi oleh-oleh untuk sahabatnya, ia memesan tas batik. Sayang, pesanannya tak kunjung dibuatkan si penjual. "Akhirnya, saya cari penjahit tas sendiri. Lalu tas itu saya pajang di FB, eh, malah banyak yang suka dan minta dibuatkan."
Sejak itulah, perempuan yang juga volunteer hemophilia ini fokus ke bisnis tas, dompet, dan clutch batik. Harga yang dipatok berkisar antara Rp 650 ribu hingga Rp 3 juta, tergantung model dan kainnya. Novi juga memajang kain dan pilihan kulit yang diinginkan pembeli pada laman FB-nya yang dinamai Gia. Konsumen tinggal memilih sesuai selera. "Kadang ada yang ingin pakai kulit warna lain. Saya suka kasih saran ke konsumen, bagusnya warna apa."
Kain yang tersedia pun beragam, mulai dari batik dan tenun dari berbagai daerah. "Kulitnya mulai dari sapi, biawak, dan domba. Menurut konsumen, sih, jahitannya rapi." Untuk desainnya, Novi pun menyediakan sejumlah model sehingga calon pembeli bisa mudah memilihnya. Ada model yang dinamai Bayan, Lepa, Dora, Jolie, Etnisk, dan masih banyak lagi. Sedangkan kainnya ada tenun Bima, Ende, Buna, batik Encim, dan batik lain. "Saya juga bisa membuatkan tas kalau konsumen punya kainnya sendiri. Paling saya lakukan eksperimen dengan kombinasi kulitnya," tutur Novi.
Semula, Novi lebih suka memproduksi tas warna biru. Padahal, tak semua konsumen penyuka biru. "Lama-lama konsumen banyak yang menanyakan tas warna lain. Sekarang tas Gia ada yang pink dan warna lain."
Tadinya tas Gia juga berbobot cukup berat, namun kini Novi sudah bisa membuat tas yang lebih ringan. Agar konsumen tak kecewa, Novi selalu berusaha tepat janji dalam menyelesaikan pesanan yang makin bertuibi-tubi datangnya. "Saya tak ingin konsumen menunggu tas yang diinginkan terlalu lama. Kecuali kalau memang terjadi sesuatu pada penjahitnya sehingga pesanan jadi telat," tutur Novi buka rahasia.
Dalam seminggu, lanjut Novi, pesanan bisa mencapai 40-an. Sehingga tak heran jika calon pembeli harus rela antre dan menunggu dengan sabar hingga tas idamannya bisa sampai ke tangannya. Kendati sudah meraih sukses, diakui Novi, ia sebetulnya tak memiliki jiwa bisnis. "Soalnya saya tidak berani pinjam modal dari bank. Promosi juga hanya lewat FB. Semua saya lakukan secara otodidak, belajar dari tukang. Mulai dari bikin pola, menjahit, mengelem, dan lainnya."
Bisa dibilang, pada 2007 pembuat tas natural masih tergolong jarang. Kalaupun ada, kebanyakan desainnya masih menjiplak dari tas merek terkenal kemudian diganti bahannya saja. "Awalnya saya bikin aksesori kalung. Karena banyak pesanan, saya harus cari tukang di Jogja, dekat rumah orangtua. Eh, ternyata malah dapat tukang tas," kata Emma Tertiana, pemilik label tas batik Tertya.
Sebagai penyuka tas natural, Emma tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia pun pesan tas kepada si tukang tadi. "Ternyata banyak kendalanya. Kebetulan saya dapat tukang yang tidak bisa berkomitmen pada janji. Soalnya, dia diam-diam menjual tas saya ke orang lain."
Sampai harus tiga kali pindah tukang, Emma akhirnya memutuskan mencari tukang sendiri agar lebih bebas bekerja. "Saat ini saya sudah punya delapan tukang di workshop saya, di rumah orangtua di Jogja. Sementara showroom-nya ada di rumah saya di Jakarta, dan di salah satu mal di Jakarta."
Tas natural buatan Emma memang terbuat dari bahan alami seperti eceng gondok, rotan, kanvas, kain batik, goni, dan kain tenun. Modelnya pun beragam, namun dengan ciri khas sentuhan gaya Harajuku. Dulu, kata Emma, tas natural hanya dijual sebagai suvenir atau buah tangan saja. "Tapi saya menjadikan tas natural lebih stylish, bisa dipakai ke mana-mana, bahkan ke pesta sekalipun. Memang harganya agak mahal karena materialnya juga mahal," jelas Emma. Apalagi ia juga harus menggaji para karyawannya setiap bulan.
Oleh karena itu, Emma membuat tas-tasnya dengan desain seunik mungkin dan eksklusif. Harga tas yang dibandrol Ema berkisar antara Rp 75 ribu sampai sekitar Rp 2 jutaan. Penentuan harga ini, imbuh Emma, sangat tergantung pada berbagai hal. "Mulai dari bahan dasar dan tingkat kesulitan desainnya. Makin rumit modelnya, makin mahal ongkos tukangnya." Yang jelas, pada tas Tertya selalu dibuat kantung-kantung kecil di dalamnya untuk menyimpan berbagai barang.
Apresiasi terbesar, kata Emma, datang lebih banyak dari orang asing. "Baru-baru ini banyak yang melirik kain batik karena sedang booming. Sayangnya, komentar orang selalu senada, 'Kok, harganya mahal?' Soalnya pembeli selalu membandingkan produk saya dengan tas produksi massal yang murah dengan kualitas jahitan, model, dan kulitnya tidak bagus."
Sebaliknya, orang asing selalu memuji karena mereka beranggapan, bahan alami ternyata bisa dibuat tas yang fashionable. "Mereka sangat menghargai ide, kerja keras pembuatnya, dan tak pernah membandingkannya dengan tas murah," kata Emma yang produknya digemari para sosialita Ibu Kota.
Salah satu langkah agar produknya makin dikenal orang-orang kelas atas Indonesia, Emma menaruh tasnya di butik milik mantan peragawati Arzeti. "Tas saya pernah dipakai Ibu Ani SBY, sempat juga dibawa Ibu Agum Gumelar pameran di Swiss," kata Emma yang memiliki omzet Rp 25 juta per bulan ini bangga. Padahal, secara pribadi ia sendiri belum pernah ikut pameran ke luar negeri.
Kendati begitu, Emma yakin usahanya akan tetap berjalan selama permintaan terus ada. Akan tetapi, terkadang ia juga kesulitan mengelola bahan baku naturalnya. "Bahannya dari tumbuhan yang sangat tergantung alam. Pengeringan dengan matahari untuk eceng gondok juga hasilnya lebih bagus. Untuk rotan Kalimantan yang saya pakai, sekarang agak sulit didapat karena sudah punah akibat banyaknya penebangan pohon liar."
Solusinya, "Cari bahan lain, dengan model yang sama. Atau menguji coba bahan yang tersedia. Saya juga bikin tas berbahan kanvas, lho," tutur Emma yang enggan menerima pesanan. Kecuali, "Si pemesan minta modelnya sama dengan yang sudah ada. Soalnya kalau membuka jasa pesanan, terkendala tukang yang tinggal di Jogja, sehingga biaya kirimnya lebih mahal. Sementara konsumen tak mau menanggung biaya tambahan itu."
Noverita K Waldan / bersambung
KOMENTAR