Saya adalah orang yang mudah penasaran. Begitulah yang saya rasakan saat mempelajari suatu ilmu. Misalnya, ketika berhasil menjadi grafolog saja, saya masih merasa penasaran. Untuk apa ilmu itu dipelajari jika hanya tahu masalah orang saja lewat tulisan tangan. What nex? Itu sebabnya saya belajar hipnoterapi untuk penyembuhan. Ternyata itu pun belum cukup. Lalu saya belajar akupunktur.
Bagi saya, tiga ilmu tadi sangat eksotik dan bikin penasaran meski sebenarnya membuat saya makin terseret jauh dari profesi utama sebagai dosen dan peneliti. Tapi mempelari tiga ilmu tadi memang mengasyikkan. Kadang timbul pertanyaan dalam hati, lalu saya ini sebenarnya profesinya apa? Dosen, peneliti, konsultan, grafolog, terapis atau akupunkturis? Semuanya bukan! Nah, Anda akan tahu jawabannya setelah membaca tuntas cerita saya.
Pekerjaan utama saya sebenarnya dosen. Profesi ini sudah saya tekuni selama 25 tahun. Saya mengajar di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Jurusan Hubungan Internasional (HI), Ekonomi, Studi Pembangunan, dan Manajemen. Selain di strata 1 saya juga mengajar program magister (strata 2). Tiap semester saya mengajar 7 sampai 9 jam. Biasanya, sih, bisa saya padatkan 2 atau 3 hari. Saya bisa minta begitu karena bos-bos fakultas, kan, dulu mahasiswa saya. Ha...ha...ha...
Selain dosen, saya juga seorang peneliti sekaligus konsultan di bidang Sumber Daya Manusia (SDM) dan bidang-bidang yang berkaitan dengan SDM. Saya "tercebur" sebagai konsultan karena dana penelitian dari fakultas, kan, terbatas, sementara masalah-masalah yang ingin saya teliti banyak. Maka banyak penelitian saya yang disponsori pihak luar. Akhirnya, selain meneliti sendiri saya juga menerima penelitian pesanan dari pihak luar. Dari situlah saya menjadi konsultan sejumlah perusahaan. Pekerjaan ini sudah saya lakoni selama 20 tahun.
Banyak yang tanya, kenapa saya bisa mengajar di beberapa fakultas. Apa hubungannya Hubungan Internasional dengan SDM? Jawabannya, setelah lulus S1 HI di Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung, saya melanjutkan S2 Jurusan Kebijakan Publik. Setelah lulus, saya juga mengambil S2 Jurusan Administrasi. Sementara S3 saya Jurusan Sosiologi Organisasi dan Sumber Daya Manusia.
Tahun 2000, setelah lulus S3, saya juga diminta menjadi national advisor oleh United Nations Develoment Programme (UNDP) yang saat ini punya program Partnership for Governance Reform. Program ini sebagai percepatan proses reformasi di Indonesia. Ketika itu beberapa tokoh nasional seperti Pak Susilo Bambang Yudhoyono, Pak Budiono, Pak Todung Mulya Lubis, (Alm.) Cak Nur (Nurcholish Madjid, Red.), dan lainnya duduk sebagai government board. Di bawah mereka ada executive officer yang terdiri dari para advisor, termasuk saya.
Saya membidangi Desentraslisasi dan Reformasi Pelayanan publik. Tugasnya membantu pemerintah daerah, LSM, dan pihak universitas dalam rangka percepatan proses reformasi. Mereka bikin program, sementara dananya dibantu UNDP. Tokoh-tokoh lain yang jadi advisor adalah Bambang Widjojanto (advisor untuk parleman dan pemilu), Ahmad Santoso (Reformasi Hukum), Adrianus Meliala (Reformasi Kepolisian dan Pertahanan), dan Andi Mallarangeng sebagai senior programme advisor. Tapi ketika itu Pak Andi tak lama karena pindah ke partai.
Kendati pekerjaan di UNDP itu menuntuk saya harus ke berbagai daerah, tapi kewajiban mengajar tetap harus diprioritaskan. Bahkan saya juga masih punya waktu membantu World Bank, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Koperasi, dan beberapa perusahaan swasta.
Oh ya, saya juga punya kebiasaan suka memperhatikan orang, lho. Ketika bekerja untuk UNDP, saya layaknya Sinterklas. Bagi-bagi uang banyak kepada pemerintah daerah, LSM, maupun pihak universitas. Namun efeknya seperti apa, saya enggak tahu, walau saya tetap memonitor. Saya bisa, lho, membayangkan dan tahu, saat akan membagikan dana itu kira-kira orang ini akan suskses atau tidak jika saya beri dana. Tentu saja ini akan membantu keberhasilan program ini.
Tapi untuk "membaca" itu perlu ngelmu. Kebetulan sejak muda saya tertarik belajar ngelmu, ilmu-ilmu yang non alamiah atau orang menyebutnya tak masuk akal. Ilmu itu tak bisa dipelajari di kampus. Nah, akhirnya saya belajar ke beberapa orang untuk mendalami ngelmu itu.
KOMENTAR