Melihat berbagai kelemahan sistem RSBI/SBI, Februari tahun silam Koalisi Anti-Komersialisasi Pendidikan (KAKP) mengajukan uji materi pada pasal yang dijadikan dasar pelaksanaan sekolah berbasis RSBI. Kelemahan-kelemahan itu antara lain RSBI dinilai tak ramah bagi kantong si miskin yang berprestasi.
Padahal, sejatinya kemungkinan adanya "diskriminasi" bagi siswa kurang mampu tapi ingin belajar di sekolah RSBI sudah diantisipasi Pemerintah. Peraturan menegaskan, setidaknya 20 persen kursi diperuntukkan bagi mereka yang tak mampu. Namun dalam pelaksanaanya, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan, banyak RSBI kesulitan mengisi kuota tersebut dengan berbagai alasan.
Kelemahan lain, menurut KAKP, adalah penggunaan Bahasa Inggris yang dinilai dapat melunturkan nilai-nilai kebanggaan kepada bahasa nasional. Soal penggunaan Bahasa Inggris sebagai pengantar di dalam kelas ternyata juga dirasa kurang maksimal oleh para siswa. "Guru kami sering tak tahu istilah-istilah yang tepat di pelajaran Matematika. Makanya dibantu oleh shadow teacher," ungkap Nadia. Shadow teacher atau guru bayangan di SMPN 19 adalah penutur asli Bahasa Inggris yang berasal dari luar negeri.
Oleh karena banyak siswa yang justru semakin bingung saat menerima pelajaran dari guru, "Menerangkannya lebih seringnya pakai Bahasa Indonesia. Sementara saat ujian atau mencatat, tetap dalam Bahasa Inggris," tutur Krisna.
Toh, keputusan dihapusnya RSBI sudah final. Imbas dari keputusan ini, sebut Morgan lagi, "Sekolah kami jadi tak punya status, setidaknya sampai bulan Juni nanti." Juni adalah masa transisi yang ditetapkan Pemerintah untuk kemudian menetapkan status sekolah eks-RSBI.
Hingga ketetapan itu tiba, lanjutnya, kegiatan belajar-mengajar akan dilakukan seperti biasa dengan fasilitas yang sudah tersedia. Mengingat kucuran dana dari Pemerintah bakal berkurang, Morgan mengaku akan tetap mengandalkan bantuan dana dari para orangtua siswa. "Karena itulah kami mengundang mereka ke sekolah untuk menanyakan apakah mereka akan tetap mendukung kegiatan sekolah dari segi finansial." Ternyata para orangtua tetap bersedia.
Dihapusnya status RSBI yang merupakan cikal bakal SBI, rupanya sudah lama diprediksi oleh kalangan pakar dan pemerhati pendidikan. Weilin Han (47), pendiri lembaga pelatihan guru dan konsultasi sekolah I-Teach Education Training Center, adalah salah satunya. Sejak didirikan tahun 2006, menurut Weilin, "Desainnya saja sudah keliru."
Dalam dokumen Kemendiknas mengenai Penjaminan Mutu SBI, misalnya, Weilin mengungkapkan standar SBI harus mengacu pada standar negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan atau negara maju lain. Sementara, anggota OECD saja hingga kini tercatat ada 30 negara. "Nah, standar yang mana dan seperti apa? Tidak jelas!" ujar Weilin.
Selain soal desain, Weilin juga menyebutkan masalah konstruksi RSBI. Tuntutan agar sekolah setingkat SD memiliki guru lulusan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya terakreditasi A, "Betul-betul lelucon yang sayangnya tidak lucu. Anggap saja di satu SD ada 30 guru, maka harus ada tiga guru lulusan S2 dari jurusan PGSD (Pendidikan Guru SD) yang akreditasinya A. Itu baru tingkat SD, lho. Di tingkat SMP proporsinya lebih besar."
Penggunaan Bahasa Inggris sebagai pengantar pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, lanjutnya, juga jadi batu sandungan. Guru yang bisa berbahasa Inggris belum tentu bisa menggunakan istilah-istilah khusus, terminologi, dan jargon dengan tepat. "Misalnya, dalam Matematika ada istilah 'bilangan loncat'. Guru bisa saja menerjemahkan jadi 'jumping numbers', padahal istilah yang tepat adalah 'skipping'," terangnya.
KOMENTAR