Pedih rasanya melihat si sulung Raihan Alyusti Pariwesi (10,5). Secara fisik anak lelakiku ini memang tampak sehat. Namun sebetulnya sarafnya sudah rusak. Ia tak mampu lagi menangkap respons apa pun. Benar matanya sudah bisa membuka, tapi tak bisa melihat. Tak ada respons saat cahaya melintas di matanya. Ia juga sudah tak mampu mengucap sepatah kata pun. Jika dipanggil, ia hanya terdiam.
Sampai sekarang pun masih ada alat bantu selang di hidungnya. Akan tetapi Raihan sudah diajari makan secara normal. Belum banyak, paling hanya satu-dua sendok. Selain itu, Raihan masih perlu perawatan lebih lanjut.
Kini ia dirawat inap di sebuah rumah sakit di Jakarta. Tentu saja aku miris memikirkan nasibnya. Sebenarnya, masa depannya masih begitu panjang. Sayang, semuanya harus patah gara-gara operasi usus buntu.
Harus Segera
Kejadian ini bermula ketika 21 September sekitar jam 23.00 Raihan muntah-muntah. Melihat kondisinya, aku segera memberinya teh manis hangat agar kondisinya lebih segar.
Namun ia tak kunjung membaik. Waduh, aku jadi bingung. Soalnya, di rumah kontrakan di kawasan Srengseng, Jakarta Barat, aku hanya tinggal bersama tiga anakku. Suamiku, M. Yunus, sedang tugas di Kalimantan. Kerabat terdekatku tinggal nun jauh di Bekasi.
Bingung, kutelepon ibuku yang tinggal di Jambi. "Cepat bawa ke rumah sakit. Jangan tunggu hingga pagi!" kata ibuku. Aku makin cemas ketika Raihan mengeluh, "Bunda, aku enggak kuat lagi." Ketika itu jam menunjuk ke pukul sekitar 03.00 pagi.
Tak mau lebih lama menunggu, kutelepon taksi. Aku yang baru setahun ini tinggal di Jakarta dari Riau, sempat resah menunggu datangnya taksi. Saat taksi datang, kami segera menuju RS MPH, rumah sakit terdekat dari rumah. Aku mengajak serta dua adik Raihan. Repot, memang tapi mau bagaimana lagi. Tak ada yang menjaga anak-anak.
Mula-mula Raihan diperiksa di UGD. Untuk penanganan awal, ia mendapat infus. Kata dokter, mungkin Raihan salah makan dan berimbas ke lambungnya. Sekitar jam 05.00, Raihan masuk ruang perawatan sambil menunggu pemeriksaan lanjutan. Jam 13.00, dokter memeriksa lagi. Katanya, Raihan sakit usus buntut akut. "Harus segera dioperasi dan tak bisa ditunda lagi," begitu ujar dokter. Jelas saja aku bingung campur cemas.
Bingung, karena selama ini Raihan tak pernah mengeluh sakit. Paling-paling hanya batuk atau pilek. Dokter juga bilang, bahaya jika tidak dioperasi. Karena tak berani memutuskan sendirian, aku minta dokter menghubungi suami di Kalimantan. Meski semula keberatan, akhirnya suami mengizinkan Raihan dioperasi setelah mendengarkan penjelasan dokter. "Toh, operasi kecil," kata suamiku saat itu.
Sepengetahuanku, operasi usus buntu memang tidak membahayakan pasien. Begitulah, aku lalu menandatangani persetujuan operasi. Hari itu juga, sekitar pukul 16.00, Raihan masuk ruang operasi.
KOMENTAR