Hidup seorang penjaga air tak ubahnya tentara yang harus terus waspada, terlebih ketika musim hujan tiba seperti saat ini. Setiap musim hujan, Pardjono, penjaga Pintu Air Manggarai selalu dipastikan ada di posnya. "Kadang menginap berhari-hari saat kondisi sudah Siaga 1. Tapi belum sampai puncak musim hujan saja sudah tiga hari saya tak pulang, nih," tukasnya.
Pardjono berkisah, sudah sejak 1987 ia ditugaskan menjaga pintu air di kawasan DKI Jakarta. "Awalnya saya bertugas di sodetan Kali Pesanggrahan ke Kali Grogol, yang tempatnya di daerah Pondok Indah. Di situ saya belajar banyak mengoperasikan pintu air, kapan dibuka dan ditutup. Kali Pesanggrahan bercabang dari Lebak Bulus, Radio Dalam, dan Ulujami. Sebagian disodet ke Kali Grogol, karena kalinya kecil dan ada sodetan yang masuk ke Kali Pesanggrahan."
Setelah 10 tahun di sana, "Saya pindah ke Setia Budi Barat, jaga pompa waduk agar air kembali bersih dan dibuang ke Banjir Kanal Barat. Tiga tahun saya di sana lalu dipindah ke Pintu Air Manggarai."
Pardjono mengaku, sempat syok ketika menjaga Pintu Air Manggarai. "Tak seperti tempat tugas saya yang lain, pintu air ini paling banyak disorot masyarakat dan wartawan. Saya yang tak biasa berhadapan dengan wartawan sempat kaget. Terlebih ketika saya pindah kemari pada 2006," tuturnya seraya tertawa.
"Saya terpaksa belajar ngomong dan menjawab pertanyaan wartawan. Saya juga belajar menghadapi beragam problem. Misalnya, soal sampah sampai komplain warga. Yang di hilir minta pintu ditutup, sementara warga di hulu minta dibuka. Padahal, buka-tutup pintu bukan kewenangan saya, tapi pemerintah. Saya hanya menjalankan perintah saja," paparnya.
Bila sedang musim hujan, "Telepon di sini tak pernah stop berdering, kadang memaki-maki sampai telinga panas. Tapi saya harus tetap sabar dan menjelaskan agar warga mengerti apa yang terjadi."
Beberapa warga ada yang bisa mengerti, tapi ada juga yang enggan menerima penjelasannya. Kata Pardjono, Pintu Air Manggarai ada empat. "Salah satunya mengarah ke Istana Negara. Pintu itu ada arahan khusus, tak berani diotak-atik. Biasanya saat Siaga 1, ada petugas keamanan yang datang ke sini. Di Pintu Air Manggarai batas ketinggian normalnya 750 cm. Kalau sudah 750 cm sampai 850 cm, sudah Siaga 3, dan 850 cm sampai 950 cm Siaga 2. Lebih dari 950 cm Siaga 1."
Setiap siaga, kata Pardjono ada penanggung jawabnya. Siaga 3 penanggung jawabnya Kepala Bidang, Siaga 2 penanggungjawabnya Kepala Dinas, dan Siaga 1 adalah gubernur. Merekalah yang memutuskan apa yang harus ia lakukan. "Saya tak berani mengambil inisiatif, di setiap sudut pintu air ada CCTV, jadi bisa dikontrol setiap saat," paparnya.
Pardjono bersyukur keluarga menerima risiko pekerjaannya dan memberi dukungan. "Saya berharap pimpinan juga memperhatikan saya dan teman-teman. Bila terrpaksa menginap, kondisi keuangan jadi menipis. Sementara di rumah juga butuh uang agar dapur tetap ngebul," ucap ayah empat anak.
Sebagai penanggung jawab Pintu Air Manggarai, Pardjono tentu sulit meninggalkan tugasnya. "Apalagi saat di Bogor hujan, sebagaian besar airnya mengalir lewat sini. Setiap jam saya harus bikin laporan ke Departemen dan Dinas Pekerjaan Umum (PU), terutama saat Pintu Air Katulampa di Bogor mengabarkan ketinggian air di atas batas normal," kata Pardjono yang selama bertugas pernah menemukan buaya, ular, atau jenazah manusia.
KOMENTAR