Tak pernah terpikir sebelumnya akan punya beragam bisnis, sebab jika melihat latar belakang keluargaku tak ada yang memilih berbisnis. Saat lulus kuliah tahun 2001 aku sempat kerja di radio, jadi produser. Lalu banting setir kerja kantoran di sebuah perusahaan besar. Saat bekerja itulah aku melihat atasanku, kok, pintar-pintar ya. Ternyata mereka hampir semua lulusan S2.
Aku jadi tertarik ingin mengambil S2. susah payah aku melakukan serangkaian tes untuk bisa masuk ke Univeristas Prasetiya Mulya Jakarta. Aku pun berhasil. Mahasiswa lain, begitu lulus S1 langsung melanjutkan S2, sementara aku baru ambil S2 setelah bekerja dulu 3 tahun. Sampai-sampai ada dosen yang memintaku membuktikan diri dengan meraih IPK tinggi. Jika IPK-ku rendah, aku hanya bisa ikut kelas malam. Untunglah, aku bisa membuktikannya.
Nah, karena kuliah pakai biaya sendiri, aku tentu harus bekerja. Aku bekerja di sebuah event organizer (EO), yang pulang kerjanya selalu malam. Untung saja pemiliknya baik, tak soal ketika aku harus kerja sambil kuliah. Kadang di saat sedang sibuk kerja sementara ada kuliah pagi, aku sering minta izin ke toilet. Di sana aku mengirim email untuk urusan kantor. Ha ha ha.
Oleh karena keluargaku di Bandung, selama kuliah aku indekos di Jakarta. Setelah lulus aku masih melanjutkan kerja di EO itu. Aku senang kerja di sana karena pemiliknya sangat banyak memberi toleransi. Aku dedikasikan diri selama 2 tahun selanjutnya. Sayang, di tengah perjalanan ada ketakcocokan dengan perusahaan dan aku memilih mundur.
Aku lalu memutuskan membuat EO sendiri pada 2007 berdasarkan pengalaman, termasuk mulai menerapkan ilmu yang kuperoleh selama kuliah. Meski sempat tak pede, EO yang aku dirikan bersama dua teman harus tetap jalan. EO ini kami namai Sinkronize, yang berada di bawah PT Muda Mudi Jiwa Selaras. EO kami mengerjakan seputar promo marketing, music roadshow, atau membuat acara sesuai kebutuhan klien. Kliennya pun beragam, dari produsen merek internasional, perusahaan multicompany, telekomunikasi, dan perusahaan food and beverages.
Di setiap pekerjaan aku selalu mendidik anak buah. Yang kuutamakan adalah attitude dan kekeluargaan. Jujur, rendah hati, sopan, baik ke sesama karyawan maupun pihak vendor atau klien. Yang penting, harus bertanggung jawab agar menimbulkan kepercayaan, serta mampu mengatasi segala macam kemungkinan yang bakal terjadi di lapangan.
Secara umum, tak ada duka dalam menangani klien. Namun saat ini aku sedang me-nonaktif-kan diri dari EO, dan hanya sebagai consultant creative karena aku sedang ingin konsentrasi di bisnis suvenir yang kini kutekuni. Lantas, bagaimana aku memulai bisnis suvenir?
Tertarik Suvenir
Ketika kuliah S2 aku berteman dengan Feta Prafidya Soewondo. Sebelumnya kami pernah bertemu beberapa kali, namun tak sering karena Feta mengambil jurusan finance sementara aku marketing. Setelah lulus kami lalu bertemu di sebuah acara pada 2009. Kami mengobrol ngalor ngidul sampai akhirnya membahas soal suvenir.
Kami lalu saling cerita tentang koleksi suvenir yang dimiliki orangtua kami. Ibuku koleksi piring yang diperolehnya saat bertugas ke luar negeri atau mendapat oleh-oleh. Ibu memang hobi mengumpulkan suvenir dan disimpan dalam lemari khusus. Ada piring, sendok, gantungan kunci, pokoknya yang beridentitas suatu negara. Sementara ayahnya Feta hobi mengumpulkan asbak dari berbagai negara.
Akhirnya terlontarlah pertanyaan dari kami, "Indonesia punya atau tidak, ya, suvenir khas yang bisa dibawa wisatawan ke negara mereka?" Setelah kami cari tahu, ternyata jawabannya tak ada. Andai ada dan disandingkan dengan suvenir dari negara luar, agak di bawah kualitasnya. Nah, sejak itulah kami mulai terpikir untuk membuat sendiri suvenir khas Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara memproduksinya? Kami tak punya toko apalagi pabrik. Bagaimana pula memasarkannya agar para wisatawan asing mau beli produk suvenir kami nantinya? Sebelum semua terajwab, kami survei ke sejumlah mal yang menjual beragam suvenir khas Indonesia. Kami lihat jarang sekali suvenir khas Indonesia yang oke. Kalaupun ada, tak ada deskripsi yang mewakili budaya dari daerah di Indonesia. Malah, ada pula yang buatan luar negeri.
Sehingga makin bulat tekad kami untuk membuat suvenir ini. Dengan semangat menggebu, kami buat formatnya. Kendati tak punya toko ataupun pabrik, minimal kami memiliki ide dan desain. Selanjutnya, kami bekerja sama dengan perajin yang bisa mewujudkan ide kami. Di awal bekerja kami tentu ingin punya kantor, lalu kami sewa gedung selama setahun. Ternyata biaya sewanya mahal.
Akhirnya kami coba bekerja dari rumah dengan mengandalkan komunikasi lewat email atau telepon. Apalagi kondisi Jakarta yang sangat macet, dengan bekerja di rumah kami bisa mengeliminir waktu dan ruang. Ketika mendadak harus meeting kami bisa melakukannya di suatu tempat atau kafe yang nyaman. Tak repot, tapi usaha tetap bisa jalan.
Sesuai kesepakatan, rumah Feta dijadikan alamat usaha dan semua produk disimpan di garasinya. Karyawan kami tak ada yang tetap, diutamakan orang-orang terdekat seperti sopir, tukang kebun, atau asisten rumah tangga kami. Mereka tak keberatan, karena bisa mendapatkan penghasilan lebih. Intinya, kami memberdayakan yang ada. Tiap kali ada pameran merekalah yang kami ajak untuk menunggui booth.
Nalini Intercraft menjadi merek suvenir kami, yang artinya cantik dari bahasa Sansekerta. Kami pilih nama ini karena desainnya harus cantik, mewakili nama kami berdua. Harapan kami pula, tiap kali orang melihat produk Nalini akan langsung tahu dari ciri khasnya. Sementara kata Intercraft, kami ambil dari harapan Nalini harus memiliki kualitas berstandar internasional. Lalu kami bagi tugas, aku bagian desain dan produksi, Feta di finance dan stok barang. Sementara pemasaran dan penjualan dilakukan bersama.
Ide desain bisa dari mana saja, meski kebanyakan menyesuaikan permintaan pasar. Dalam setahun minimal kami buat dua desain baru. Saat ini desain piring sudah ada 10 model, magnet dari clay, tempat surat, gantungan kunci. Kadang ide muncul karena kebutuhan. Misalnya, saat dibutuhkan para siswa yang ikut pertukaran pelajar. Kalau bawa suvenir piring, khawatir pecah. Sehingga mereka butuh suvenir kecil tapi banyak. Suvenir magnet lah yang paling pas.
Desainnya beragam, dari yang bercorak Sabang sampai Merauke. Dari pakaian adat, olahraga tradisional, fauna, alat musik tradisional, gedung bersejarah, bangunan, dan monumen terkenal. Kualitas suvenir kami juga dapat disandingkan dengan buatan luar negeri yang sejenis. Suvenir Nalini sudah pasti diproduksi di dalam negeri, dipasarkan di dalam negeri, agar wisatawan asing dapat menikmati dulu budaya asli Indonesia.
Namun karena kualitas suvenirnya juga bagus, kami tak bisa menjual dengan harga terlalu murah. Apalagi perajin Nalini tersebar di beberapa daerah, ada yang di Surabaya, Jogja, Solo, Bandung, Tangerang, juga Jakarta.
Untuk pemasaran, produk Nalini pernah tersebar di beberapa toko atau hotel. Sayang, masih banyak manajemen hotel yang tak bagus. Barangnya habis, tapi uangnya tak disetorkan ke kami karena manajemennya sering berganti. Akhirnya, kami putuskan fokus saja di beberapa toko yang punya ratusan outlet di seluruh Indonesia. Sementara ini produk Nalini ada di 15 outlet Batik Keris.
Nalini juga sudah bisa diperoleh di Pasaraya Blok M, UKM Galeri Smesco, Galeria Indonesia, souvenir shop di Bandara Husein Sastranegara Bandung dan Bandara Soekarno Hatta. Alhamdulillah, Nalini sudah mendapatkan keuntungan di tahun kedua usaha berjalan. Omzet yang kami perolah per tahun sekitar Rp 300-400 juta dengan modal awal Rp 75 juta. (BERSAMBUNG)
Noverita K. Waldan / bersambung
KOMENTAR