Rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah adalah komitmen saya ketika menikah dengan Joko Prasetyo, 18 Juni 1998 lalu. Ketika itu kami membangun rumah tangga dari nol alias tak punya apa-apa.
Saya hanyalah anak tukang becak. Namun orangtua mampu membiayai saya hingga ke bangku perguruan tinggi. Sayangnya, kuliah gagal gara-gara saya terlalu aktif di organisasi dan sering demonstrasi turun ke jalan. Gagal kuliah, saya terjun ke organisasi kepartaian. Di sinilah saya bertemu Joko, sesama aktivis di partai yang menjabat pimpinan anak cabang partai. Pekerjaan tetap Joko saat itu hanyalah pedagang pakaian keliling di Pasar Magelang.
Berangkat dari kesepakatan dan cinta, kami menikah. Berhubung suami ingin saya fokus mengurus anak-anak dan rumah tangga, saya tak diizikan kerja di luar rumah. Keputusannya saya hormati meski sebenarnya amat berat bagi saya yang terbiasa aktif. Saya lalu membantu suami semaksimal mungkin di kala ia mencalonkan diri jadi anggota legislatif. Pendek kata, saya ikut menyusun strategi kampanye suami.
Tahun 2004 derajat suami saya naik, dari penjaja baju keliling jadi anggota dewan. Secara pribadi, ia pun mulai meningkatkan potensi diri dengan kuliah di Universitas Tidar Magelang dan lulus tahun 2010. Di tahun itu pula ia mulai mengikuti pilkada hingga terpilih jadi Wakil Walikota Magelang. Saya ikut membantu dengan aktif berkampanye di media sosial, membuatkan blog dan akun Facebook agar suami bisa berkomunikasi dengan masyarakat.
Mulai Kasar
Ketika suami dilantik jadi wakil walikota, posisi saya turut meningkat. Jabatan publik saya, Wakil Ketua I Tim Penggerak PKK Kota Magelang. Saya dan dua buah hati kami tinggal di rumah dinas. Suami juga meminta ibu saya yang sudah sepuh tinggal bersama kami. Pintu rumah dinas kami buka seluas-luasnya bagi teman-teman organisasi dan partai agar kami bisa terus berkomunikasi dengan banyak orang.
Sayangnya, jabatan yang diemban suami, baik sebagai anggota dewan maupun wakil walikota, perlahan mengubah perilakunya. Misalnya, saat marah ia bisa jadi amat kasar. Membanting ponsel, menendang dan memukul kepala saya atau bagain tubuh lain. Padahal sebelumnya, saat marah ia paling hanya diam. Karakternya memang pendiam.
Saya pikir, mungkin ia stres akibat beban kerja yang begitu berat atau ada tekanan politik yang keras. Karena itu, ketika ia sedang marah, saya memilih masuk ke kamar. Namun saya biarkan ia melakukan KDRT. Pikir saya, jika itu semua bisa membebaskan dirinya dari stres, ya, sudahlah.
Penderitaan sebagai istri yang mengalami KDRT saya simpan rapat-rapat. Rasa tersiksa seolah hilang di saat saya bertemu teman di organisasi, PKK, atau di tengah mesyarakat. Saya bisa tersenyum. Tapi begitu kembali ke rumah, penderitaan kembali muncul. Agar tak selalu memikirkan persoalan rumah tangga, saya meneruskan kuliah. Namun setiap akan berangkat kuliah, suami selalu protes. Kerap ia menyindir, "Rajin benar kuliahnya."
Sindiran itu saya artikan sebagai ungkapan hati suami yang tak ikhlas melihat saya kuliah lagi. Karenanya, saya jadi jarang masuk kuliah. Tak cuma itu, ia juga melarang saya semakin sering ke luar rumah. Ia ingin semua kegiatan saya dilakukan di rumah dinas. Alasannya amat sepele. Ia ingin, setiap saat saya selalu siap menyajikan secangkir teh untuknya. Bila tahu saya tak ada di rumah, ia akan langsung menelepon dan marah-marah, meminta saya pulang hanya sekadar untuk membuatkan air teh.
KOMENTAR