Ya, perkawinanku dengan Nahnu hanya bertahan sekitar sembilan tahun. Penyebabnya, ada orang ketiga. Semula aku hanya diam. Tapi diamku justru membuat tingkahnya makin menjadi. Sebagai istri, tentu aku tak tahan. Buntutnya, terjadi pertengkaran di antara kami. Bahkan ia sempat memukulku, namun tak kulaporkan ke pihak berwajib. Selama berumah tangga, baru sekali itu ia main tangan.
Selanjutnya, kami memilih berpisah. Ia menjatuhkan talak. Kala itu Junis masih berusia 2,5 tahun dan Tiara 5 tahun. Anak-anak memang masih kecil. Sebenarnya aku ingin merawat kedua anakku, namun ketika itu kondisiku tak memungkinkan. Aku tak punya pekerjaan. Untuk mencukupi kebutuhan sendiri saja belum sanggup, apalagi untuk anak-anak.
Kukatakan kepada Nahnu, aku bersedia merawat anak-anak asalkan ia mau menafkahi kami. Tak perlu besar. Cukup Rp 500 ribu per bulan. Nahnu keberatan. Ia malah menuduh, aku justru ingin menikmati uangnya. Begitu pendek pikirannya. Akhirnya, ya, sudah, aku akan mengambil anak-anak bila sudah mampu.
Aku minta kepada Nahnu agar diizinkan bertemu anak-anak. Begitulah, secara berkala aku bertemu mereka. Kadang, anak-anak kuajak jalan-jalan atau mereka menginap di rumah neneknya. Setidaknya, aku masih bisa berkomunikasi dengan anak-anak lewat telepon. Itu masa-masa yang amat indah. Apalagi, mereka juga tampak rindu kepadaku, ibunya.
Sayangnya, sekitar dua tahun ini aku sudah tak lagi diperkenankan telepon dan bertemu mereka. Kata Nahnu, anak-anak jadi sulit diatur setelah bertemu dan bertelepon denganku. Setengah merengek, aku minta izin sekadar melihat anak-anak dari kejauhan.
Sekian waktu aku memendam rindu, hingga akhirnya aku kembali bisa bertemu Junis. Sayang, itu adalah pertemuan terakhir. Junis justru tiada dalam kondisi yang mengenaskan.
Sekolahkan Anak
Aku sempat bertemu LN di kantor polisi. Petugas menyuruh ia minta maaf kepadaku. "Mbak, maafin aku," katanya. Aku tak menjawab apa-apa. Melihat LN, aku selalu terpancing emosi.
Seandainya saja waktu bisa diputar balik, aku tak mau begitu saja menyerahkan anak-anak kepada Nahnu. Aku jelas ingin merawat kedua anakku sendiri. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Tak ada gunanya menyesali diri. Aku kini harus berkonsentrasi merawat Tiara.
Ya, aku ingin mengasuh dan mendidik Tiara. Ternyata, belakangan aku tahu, Tiara tak disekolahkan oleh Nahnu. Tiara hanya sempat bersekolah di kelas 1 SD. Aku tanyakan, "Kenapa Tiara enggak disekolahkan?" Jawabnya, Tiara bandel dan enggak mau sekolah.
Duh, apa jadinya bila anak tak sekolah? Bagaimana masa depannya kelak? Aku bertekad menyekolahnnya di dekat rumah ayahku, kawasan Jagakarsa. Aku tak ingin menyerahkan Tiara ke ayahnya lagi. Aku khawatir akan terjadi hal-hal yang buruk lagi, seperti yang Junis alami...
Rabu (5/12), Polres Metro Tangerang yang menangani kasus meninggalnya Aini Junistisia (4), melakukan tes kejiwaan atas LN (26), di Polda Metro Jaya. "Untuk memastikan apakah tersangka sehat dari faktor kejiwaannya," tutur Kasatreskrim Polres Tangerang Kompol Shinto Silitonga, SIK, Msi.
Menurut Shinto, LN terancam hukuman 15 tahun penjara sesuai dengan UU Perlindungan Anak. Kepada penyidik, LN mengaku sedang hamil 6 bulan dan karena itu sering mengalami perubahan emosi. "Ketika hamil satu bulan, saya sudah mengasuh kedua anak Nahnu. Saya tahu, saat menikah dengan Nahnu, dia punya dua putri yang masih kecil. Sebenarnya saya juga sayang kepada anak-anak," tutur LN.
Bulan berikutnya, kisah LN, Tiara dan Junis sempat diasuh kakak Nahnu. Selanjutnya, sekitar tiga bulan lalu, sang suami mengontrak rumah di kawasan Pondok Aren, tak jauh dari tempat kerjanya. "Anak-anak kembali tinggal bersama kami. Bulan pertama berjalan mulus, tak ada masalah apa-apa."
Namun bulan berikutnya, LN mengaku emosinya semakin labil. "Melihat anak-anak susah diatur, suka main, dan aktif bergerak, saya jadi gampang marah dan lepas kontrol. Mereka saya cubit dan pukul," ungkap LN seraya mengaku berulang kali memukul anak-anaknya, termasuk Tiara.
Puncaknya terjadi Sabtu (24/11) lalu. LN mengaku kembali tak bisa mengendalikan emosinya. Ia melakukan penganiayaan berat yang menyebabkan Junis tak sadarkan diri dan akhirnya tewas. Katanya, ia mengikat tangan dan kaki Junis, mencolok mata, membenturkan kepala ke dinding, dan memukul tubuh mungil anak malang itu dengan talenan.
Ia baru panik setelah melihat Junis tak sadarkan diri. Ia pun sempat menekan Tiara agar tak melapor kepada ayahnya soal kejadian yang sebenarnya. Tiara diminta mengatakan Junis jatuh dari tempat tidur.
Namun tentu saja pihak RS dan polisi tak bisa dikelabui. Ia pun harus melewati masa kehamilan dan bisa jadi sampai proses persalinan di balik jerusi besi. "Saya menyesal. Ini kebodohan dalan hidup saya," katanya sambil menangis.
Henry Ismono
Henry Ismono
KOMENTAR