Belakangan, muncul nama Reno Yanuar. Ia mengaku datang mewakili Pak Latief untuk mengambil sertifikat tanah yang sudah saya agunkan itu. Yang saya sayangkan, ia datang tengah malam dengan dalih sudah mencari-cari saya tapi tak pernah ketemu. Bisa jadi ketika ia datang ke rumah, saya sedang kerja di lapangan.
Saya sempat kaget saat ia datang mengatasnamakan Pak Latief. Setelah saya konfirmasi langsung ke Pak Latief, ternyata benar. Saya jadi bingung, kenapa Pak Latief menawarkan rumahnya ke Reno, yang selama ini tinggal persis di seberang rumah Pak Latief. Saya yang semula mengikhlaskan apa yang sudah saya berikan ke Pak Latief, akhirnya harus mengungkit-ungkit masa lalu. Kenapa saya diperlakukan begini ketika sedang terpuruk?
Selama ini saya sebenarnya menaruh iba pada Pak Latief. Bahkan sudah menganggapnya sebagai ayah sendiri. Jika ia perlu uang, saya berusaha memenuhinya walaupun sebenarnya uang itu untuk belanja sehari-hari. Saya sering memberi pinjaman ke Pak Latief tanpa sepengetahuan suami. Karena saya prihatin melihat kondisinya.
Tapi di satu sisi, saya memang masih punya utang kepadanya sebesar Rp 150 juta sebagai kekurangan pembayaran rumahnya. Saya tak akan lari, kok, karena setiap Pak Latief perlu sesuatu, pasti saya datang. Saya hanya minta waktu karena usaha kami sedang bangkrut. Andai saya sehat, pasti tak akan begini jadinya. Maka saya bilang ke Pak Latief, kenapa di saat saya sedang terpuruk justru ia bersikap begitu. Pak Latief pun tak bisa omong apa-apa.
Di sisi lain, setelah saya harus berhadapan dengan pihak Reno, mereka makin tak bisa ditawar. Hingga akhirnya mereka melaporkan masalah ini ke polisi dan saya ditahan di Polresta Cilegon. Padahal, sejak 12 tahun bekerja di lapangan, setiap ada masalah pasti bisa diselesaikan dengan baik.
Entah mengapa, persoalan ini seperti menemui jalan buntu. Ia (Reno Yanuar) hanya mau sertifikat, sementara sertifikat itu, kan, masih "disekolahkan" di bank. Untuk mengambilnya, jelas perlu dana. Nah, sekarang saya belum punya uang sehingga tak ada titik temu.
Sukrisna / bersambung
KOMENTAR