Tak hanya itu, ia juga mengancam akan menuntut suamiku bila bicara yang tidak-tidak ke media. Saat itu, kami diam saja. Sampai di rumah, kami makin kesal memikirkan ucapan itu. Tadinya, tak ada niat untuk memberitahu media dan meminta bantuan Pak Arist (Arist Merdeka Sirait, ketua Komisi Perlindungan Anak, Red.). Ucapan Bu Siti yang terkesan ganjil itulah yang membuat suamiku menelepon temannya yang bekerja sebagai wartawan. Kami kecewa karena seolah Bu Siti tahu keberadaan Cello.
Beruntung, Pak Arist sangat responsif membantu. Kehilangan Cello jelas amat menyakitkan. Sejak pulang dari Polresta, yang kulakukan hanya menangis dan bengong. Aku juga tak bisa tidur. Setiap hampir terlelap, seolah terdengar suara tangisan keras Cello di telingaku. Aku kerap terbangun kaget sambil bertanya kepada Umi di mana bayiku, lalu menangis.
Layaknya orang gila, aku tak bisa mengontrol perilakuku sendiri. Membenturkan kepala ke batu sering kulakukan tanpa sadar dan tak terasa sakitnya. Bila ada yang menjenguk, aku pun bisa tiba-tiba tertawa riang. Begitu tamu pulang, aku teringat Cello lagi dan kembali menangis. Tiap kali pandanganku tertumbuk pada mainan, kereta dorong, baju, dan perlengkapan bayi di rumah petak kami yang sudah kusiapkan sejak sebelum Cello lahir, aku menangis. Aku pun tak mau makan dan minum.
Aku selalu membayangkan siapa yang memberi susu Cello, apakah ia kedinginan atau tidak. Sambil tidur, aku pun selalu memegangi botol susu yang pernah digunakan Cello. Itu kulakukan sambil menggendong selimut Cello, seolah-olah ia dalam pelukanku. (Jaja menimpali, ia nyaris tak sanggup melihat kondisi Sifa kala itu.)
Selama 12 hari, hanya begitulah keseharianku. Suatu hari, guru spiritual kakakku menelepon untuk menguatkan mentalku. Dari hasil terawangannya, Cello sehat dan baik-baik saja, katanya. Yang membuat semangatku bangkit, ia berujar Cello akan kembali. Keyakinanku akan pulangnya Cello membuatku bisa menjalani hari-hariku seperti dulu lagi.
Selasa (25/9) malam, dua minggu setelah Cello hilang, aku bermimpi ia dikembalikan kepadaku lewat orang lain. Esoknya, saat Mas Jaja pergi menempelkan foto Cello dan berita kehilangannya di angkot-angkot, pukul 09.00 polisi mengabari ada bayi ditemukan. Aku dan Mas Jaja diminta melakukan tes DNA untuk dicocokkan dengan DNA bayi itu. Sejak Cello hilang, baru pada hari itulah pihak RS Siti Zahroh ada yang datang ke rumah, mengajak kami ke Polresta Bekasi. Sebelumnya, tak pernah ada yang datang, seolah tak ada apa-apa. Suster memang datang, tapi hanya untuk mengganti perbanku.
Akhirnya, bersama polisi kami ke RS Anisa, tempat bayi yang ditemukan itu dititipkan. Pertama melihatnya, Mas Jaja sempat mengatakan itu bukan bayi kami. Kondisi fisiknya jauh dibandingkan Cello sebelum hilang. Bayi itu kondisinya memprihatinkan, beratnya pun hanya 2,6 kg. Sebelum hilang, berat Cello 3,4 kg. Lucunya, saat kami datang ia memandang kami sambil tertawa. Tak lama, ia menangis.
Terempas Dua Kali
Selanjutnya, Mas Jaja mengenali bahwa bayi itu Cello karena suara tangisannya sama dengan tangisan Cello sewaktu ia azani dulu. Sementara aku ingat, bentuk kepala Cello tak terlalu bulat, mirip kepala almarhum ayah Mas Jaja. Bayi ini pun bentuk kepalanya sama dengan Cello.
Setelah diambil sampel untuk tes DNA, kami pun pulang. Selama tiga minggu kami menunggu hasilnya dengan tak sabar. Kami ingin segera membawa pulang Cello. Rupanya belum waktunya kami berbahagia. Hasil tes DNA dinyatakan negatif. Bayi itu bukan Cello. Polisi menawari kami untuk mengadopsinya. Kami bersedia mengasuhnya tanpa syarat karena kami yakin ini Cello. Polisi setuju, lalu Cello kami bawa pulang. Rumah mungil kami kembali hidup dengan keberadaan Cello.
Suara tangisnya, tatap matanya, minum susunya yang banyak, dan gayanya yang minta digendong seolah ia sudah berusia lebih besar, sungguh menggemaskan. Apalagi, kini ia sudah makin gemuk. Jika rewel, cukup kugendong saja dan tangisnya langsung berhenti. Kami benar-benar terhibur olehnya. Semua perlengkapan bayi di rumah pun akhirnya terpakai juga. Dinding rumah kami hias dengan huruf dan angka warna-warni.
KOMENTAR