Kini Satinah sedang menghadapi eksekusi hukum pancung, setelah beberapa kali eksekusinya ditunda karena perundingan pembatalan hukum pancung dengan pihak ahli waris.
Pada saat kejadian, Satinah telah memukul kayu ke tengkuk majikan sehingga korban ambruk dan tidak bergerak lagi. Tubuh korban lantas diseret ke kamar dan diletakkan di bawah tempat tidur. Satinah lalu mengambil uang majikan sebesar 37.970 Riyal dan berusaha kabur. Satinah tertangkap polisi di terminal bus Saptco.
Saat disidik, Satinah mengakui jika perbuatannya tak ada niat membunuh dan hanya membalas perlakuan kasar sang majikan kepadanya.
Sejak kasus ini mencuat, KBRI Riyadh mengupayakan pendampingan dan mendapatkan pemaafan dari keluarga korban. Sayangnya, pihak ahli waris yang menentukan Satinah dihukum pancung atau tidak, tetap bersikeras Satinah dihukum pancung. Pada tanggal 24 Oktober 2010 keputusan pancung Satinah telah disetujui Raja Arab Saudi.
Kendati demikian, KBRI terus mengupayakan pemaafan dari ahli waris, dan eksekusi diperpanjang hingga batas waktu 14 Desember 2012 ini. "Sayangnya ahli waris meminta uang darah yang terlalu tinggi diluar kemampuan pemerintah untuk membayarnya," ungkap Humprey Djemat, mantan juru bicara satgas TKI yang sempat ikut mendampingi kasus ini.
Ahli waris almarhumah. Nura meminta uang darah sebesar 10 Juta Riyal dan sudah turun menjadi 7 Juta Riyal. Sayangnya, jumlah ini terlalu fantastis untuk pemerintah RI yang hanya sanggup membayar 2 Juta Riyal. Menurut Humprey, kasus ini menjadi sulit karena ada kesalahan dalam mekanisme uang diyat atau uang darah (semacam uang penebus hukuman pancung).
"Seharusnya dibayar oleh keluarga korban atau dermawan yang ingin membantu dan ini yang biasa di Arab Saudi. Kalau pemerintah yang bayar diyat nanti dianggap pasti punya uang," ungkapnya berdasarkan pengalaman pemerintah membayar uang diyat Darsem 2 Juta Riyal atau sekitar 4,8 Miliar Rupiah.
Kini keluarga Satinah sedang dirundung duka karena kabar ini.
Laili
KOMENTAR