Merugi Ratusan Juta
Tursinah (34) kehilangan sumber penghasilan akibat banjir yang terjadi, Minggu (18/11) lalu di Kompleks Perumahan Cingcin Permai Indah, Soreang, Kabupaten Bandung. Kompleks perumahan tempat tinggal sekaligus tempat usaha konveksi miliknya itu memang langganan terkena banjir. "Tahun 2006 lalu banjir terakhir yang saya alami, tingginya 110 sentimeter," ujar ibu dua anak ini.
Akibat banjir, Tursinah mengalami kerugian yang tak bisa dibilang kecil. "Kain-kain yang belum dijahit, bahan yang sudah dijahit dan tinggal dikirim terbawa banjir. Belum mesin-mesin jahitnya," tukas perempuan yang mulai merintis usaha konveksi tahun 2000 lalu. Sebagian tembok tempat usahanya pun jebol diterjang air bah. "Lemas badan saya lihat tempat usaha saya acak-acakan. Sandal, celana, boneka yang siap kirim hanyut semua. Sebagian kain yang tersisa sampai sekarang masih basah dan terendam lumpur. Saya belum menghitung detail kerugiannya, mungkin sampai ratusan juta."
Tursinah hanya bisa pasrah. "Bingung saya, mau memulai lagi dari mana, semua isi rumah juga habis. Baju dan stok makanan saja dapat dari bantuan. Saya juga masih pusing memberitahu pelanggan, belum lagi memikirkan karyawan yang jumlahnya belasan," keluh Tursinah yang sebelumnya dalam sehari mampu membuat 1.500 boneka Smiley dan 1.000 sandal Smiley, termasuk baju, celana, dan lainnya.
Ketika banjir melanda, dalam waktu bersamaan longsor pun terjadi di kawasan Desa Sadu, Soreang, Kabupaten Bandung. Selain sempat melumpuhkan jalan menuju Ciwidey, longsor juga telah merenggut nyawa Rosmini (46) dan putrinya, Siti Tresna Asih (9). Ade Sulaiman (56), suami Rosmini dan ayah Siti tampak amat bersedih selama menanti kabar tim Search And Rescue (SAR) dari sejumlah organisasi yang hingga saat ini masih terus mencari jenazah kedua orang yang disayanginya itu.
Di saat longsor terjadi, Minggu (18/11) lalu, Ade sedang tak ada di rumah. Ia pamit demi mengurus sawahnya. Curah hujan yang tinggi membuat debit air yang mengaliri sawahnya ikut meninggi, Ade khawatir padi yang ditanamnya membusuk. "Sebelum pergi saya titip pesan ke istri, kalau hujan tambah lebat mengungsi saja ke rumah kakaknya di kampung tetangga. Maksudnya agar tak terkena longsor, soalnya tepat di atas tebing belakang rumah ada galian pasir dan batu," ucapnya.
Belum lama mengerjakan pengairan di sawahnya, Ade dijemput beberapa tetangganya yang mengabarkan rumahnya luluh lantak diterjang longsor. Sontak Ade berlari menuju rumahnya. "Saya enggak bisa lagi lihat bentuk rumahnya. Tanah dan batu sudah menimbun rumah saya," tutur Ade pelan.
Di dalam rumahnya ada istri dan kedua anaknya. "Anwar, si sulung yang masih SMP selamat. Dia bilang, sebelum longsor seisi rumah bergoyang dan bergeser sampai akhirnya dia berada di reruntuhan rumah. Tak sempat juga dia menyelamatkan ibu dan adiknya," beber Ade sedih.
Senin (19/11) pagi, lanjut Ade, datanglah petugas yang mulai mencari keberadaan jasad istri dan anaknya. "Sehari sebelum kejadian, istri saya berencana mau jual padi. Uangnya buat beli lemari baju warna putih dan sepeda baru buat Siti. Tapi namanya maut tak pernah bisa diduga. Saya cuma berharap jasad mereka bisa ditemukan agar arwahnya tenang dan saya bisa menjalankan kewajiban untuk memakamkan mereka dengan layak," tutup Ade.
KOMENTAR