Ide itu semakin mengkristal pada tahun 2007. "Kebetulan saya suka masak. Saya terus mencari resep dan coba-coba selama nyaris dua bulan, sampai menemukan resep dan teknik yang tepat. Kacang buatan saya tidak digoreng tapi di oven. Hasilnya lebih garing, enggak cepat apek dan bebas kolesterol. Bumbu yang semula hanya manis, kini ada varian pedas dan asin. Kacang tanah yang digunakan berukuran besar, yakni 29-32, impor dari Cina," papar Brusli yang menghabiskan kacang tanah sampai 1-2 ton per bulan.
Di awal usahanya, Brusli berkali-kali menemui hambatan. Salah satunya, menjaga kacang bertahan lama walau tanpa pengawet. "Saya mulai cari agen, ternyata penjualan di toko tidak cepat. Dua bulan kemudian kacang mulai tak enak karena tak bisa disimpan lama."
Akibatnya, proses produksi sempat terhenti selama setahun demi menemukan cara membuat kacang awet tanpa bahan pengawet. "Saya temukan jawabannya, ternyata ada di soal kemasan. Saya harus menggunakan kemasan vakum udara, agar kacang tetap awet."
Brusli lalu membeli alat pengemas dan mulai menghidupkan kembali usahanya. "Saya panggil agen-agen saya yang dulu untuk kembali memasarkan kacang Brusli. Ternyata makin banyak yang suka. Kemasannya bagus dan mulai dijual secara online. Malah kacang saya sudah dibawa ke luar negeri sampai Hongkong dan Australia," imbuhnya.
Untuk menjadi agen kacang Brusli sangat mudah. "Tinggal bayar Rp 1 juta sudah bisa jadi agen dengan keuntungan 25 persen per boks yang dijual seharga Rp 20-25 ribu. Sekarang saya sudah ada 50 agen, tersebar di 12 kota. Dari Malaysia sudah ada yang ingin jadi distributor, tapi masih terhalang soal perizinan."
Bila dulu masih dikerjakan sendiri, kini Brusli sudah dibantu 8 karyawan di bagian produksi. Selanjutnya, Brusli akan terus mengembangkan varian kacang buatannya. Misalnya kacang bawang atau kacang resep tradisional bernama kacang lorjuk. "Selain usaha kacang, kini saya sedang mengembangkan usaha lain seperti warung steik di Surabaya," tutup ayah satu anak ini.
EDWIN / bersambung
KOMENTAR