Sorak ketidakpuasan terdengar membahana memenuhi pintu gerbang Lapas Wanita Tangerang, Sabtu (6/10) lalu. Di tengah terik matahari, ratusan orang tanpa henti berteriak menuntut kebebasan Omih, buruh perempuan PT Panarub Dwikarya (PDK) yang dipenjara.
Tak hanya keluarganya, para buruh PDK dan berbagai kelompok masyarakat yang peduli pada nasib Omih rela menungguinya sejak pagi. Setelah pihak penjamin bernegoisasi alot di Kepolisian, Omih akhirnya resmi bebas dan keluar melewati pintu Lapas pukul 14.00.
Ungkapan bahagia, rasa lega, dan isak tangis bercampur jadi satu menyambut Omih yang langsung bersujud syukur. Setelah disel selama seminggu, akhirnya ia mendapat jaminan penangguhan penahanan tapi dikenakan wajib lapor tiap Senin dan Kamis ke Polres Metro Tangerang.
Dipersulit Izin Cuti
Kejadian pahit itu berawal dari demo tanggal 12 Juli silam. Saat itu, sekitar 1.300 buruh PDK yang mogok kerja di-PHK sepihak oleh perusahaan pembuat sepatu yang berada di kawasan Tangerang. Omih termasuk satu di antaranya.
Terakhir bekerja, Omih menjabat sebagai mandor buruh di bagian assembling. Kendati berstatus mandor, kata Omih yang sudah bekerja sejak 2009, ia harus mengerjakan tiga pekerjaan yang seharusnya dibagi kepada tiga orang lainnya.
Alhasil, belum selesai satu pekerjaan, sudah ditunggu pekerjaan lain. "Suka ditegur, 'Ayo cepat kerjanya! Lambat banget! Bisa kerja enggak, sih? Kalau enggak bisa kerja, jualan aja di luar!'" paparnya menirukan omelan sang atasan yang kerap diterimanya selama bekerja.
Kekesalan Omih terus menumpuk tatkala ia dipersulit mendapat izin cuti, "Teman sesama buruh pun begitu. Mau ke toilet, salat, atau minum,tidak dapat izin. Atasan bilang, nanti saja. Masak begitu? Itu, kan, hak kami," ujar Omih dengan nada gusar.
Terhitung sejak Februari lalu, pabrik PDK melakukan efisiensi jumlah karyawan. Perusahaan juga memberlakukan sistem kerja produksi di bagian cutting, sewing, assembling, berubah menjadi line system (one piece flow). Sehingga pekerjaan tiap buruh akan menumpuk bila ditinggalkan, meski hanya beberapa menit saja.
Kehilangan Anak
Dengan jam kerja mulai dari pukul 07.00 hingga pukul 16.00, tiap bagian rata-rata memiliki target yang harus dipenuhi, yakni 150 pasang sepatu per jam. Namun jam kerja itu tidaklah mutlak. "Kami sering harus lembur sampai tengah malam. Diawasi dengan ancaman." Bahkan, tambah Omih, "Kami terus-menerus diintimidasi, dibilang lambat lah, bakal diganti orang lain lah. Banyak kata-kata tak enak terdengar dari mulut atasan (supervisor)."
Hal yang paling membuatnya kesal, "Susah sekali minta izin cuti. Katanya, enggak ada orang yang bisa menggantikan tugas saya. Padahal, minta cutinya sejak jauh-jauh hari. Kalau saya belum menangis dan memohon-mohon, atasan akan cuek dan tak percaya alasan saya. Malah belum juga diizinkan, saya sudah habis dimarahi."
Cerita pilu terpaksa Omih alami ketika anak perempuan semata wayangnya meninggal dunia akibat DBD, 29 Desember 2010 silam. "Saya tak bisa merawatnya karena tak juga diberi izin cuti."
Velinda Putri, buah hati Omih yang berusia 2,5 tahun itu, awalnya panas tinggi disusul muntaber. Omih yang harus lembur hingga jam 22.00 terus tertunda membawa anaknya berobat. Omih pun bersikeras kepada Jun, kepala bagian produksi, untuk cuti merawat anaknya yang sedang sakit.
"Dia malah bentak saya, 'Kamu ini alasan cuti soal anak terus! Apa-apa anak!'" Omih mengaku sampai memohon karena ia tak mau sampai menyesal tak bisa mengobati Velin. "Terbersit di pikiran, andai Velin sampai meninggal, saya akan bawa mayatnya ke pabrik biar atasan sadar."
Izin cuti akhirnya diberikan meski diperlama. Velin lalu dilarikan ke rumah sakit, namun tenaga medis kesulitan mencari urat nadinya. Nyawanya pun tak tertolong karena pembuluh darah di otak Velin sudah pecah. "Kalau ingat peristiwa itu, sakit rasanya. Saya menyesal kenapa tak bisa merawat dia di masa kritis. Hampir gila saya kehilangan anak," tuturnya sedih.
Meskipun sadar umur manusia telah diatur Allah SWT, namun Omih tetap kecewa dengan perusahaan yang mempersulit izin cutinya. Bahkan saat ia kembali bekerja, "Saya malah disalahkan atasan karena dianggap teledor menjaga anak. Padahal saya berjuang sendiri, jual motor dan teve buat biaya anak berobat. Jangankan uang duka, ucapaan bela sungkawa saja, tidak ada," ujar Omih yang telah bercerai dari suaminya sejak Velin masih dalam kandungan.
Merasa kondisi kerjanya makin tak nyaman, Omih memutuskan ikut mogok kerja pada 12-20 Juli lalu. Bersama kawan buruh lainnya, ia menuntut dibayar rapelan untuk tiga bulan upah yang ditunda pembayarannya, perbaikan kondisi kerja, dan hak normatif lainnya. Alih-alih didengarkan tuntutannya, ia malah diberhentikan sepihak oleh PDK.
Dalam keputusasaan, Omih mengirim sebuah pesan singkat (SMS) kepada lima teman kerjanya, 13 September lalu. SMS yang sama juga ia kirim ke dua orang dari pihak manajemen PDK (Edy Suyono - Manager HRD dan Guan An - Manager Produksi). Isi SMS itu, "Hati-hati untuk yang di dalam PDK, malam ini sedang dirakit bom untuk meledakkan PDK esok hari."
Omih mengaku tak ada niat sungguhan. "Spontan saja." Akibatnya, kepolisian bersama tim gegana menggeledah rumah yang ditempati Omih dan keluarganya, 28 September. Tak menemukan Omih dan rakitan bom, polisi meminta Omih menyerahkan diri malam itu juga. "Padahal, polisi enggak bawa surat izin geledah rumah dan surat penangkapan."
Esoknya, Omih diciduk aparat dan dibawa ke Polres Kota Tangerang. Saat itu, tuturnya, "Saya ditakut-takuti akan dapat enam tahun penjara gara-gara sudah merepotkan banyak orang dan main-main dengan polisi." Seketika tubuh Omih lemas. "Untuk makan saja sulit, apalagi bikin bom. Uang dari mana? Dasarnya SMS saya itu karena rasa kesal sama perusahaan tapi saya bukan teroris!" kata Omih yang kemudian dipindah ke Lapas Wanita Tangerang sebagai tahanan titipan.
Terus Maju
Tanpa lelah, rekan kerja Omih sesama buruh mendatangi Lapas dan berdemo demi kebebasan Omih. "Saya sampai ditegur Ibu Kalapas. Dia merasa repot dengan keberadaan saya karena sudah mengundang demo di luar gerbang." Omih juga diminta untuk mencegah teman-temannya demo.
Pihak manajemen PDK sempat mendatangi rumah Omih. Mereka berunding dengan orangtua Omih, menawarkan damai atas kasus Omih yang sudah ramai menjadi pemberitaan di banyak media.
"Syaratnya, keluarga datang ke perusahaan. Tapi Ibu dan Bapak sudah menyerahkan persoalan ini ke serikat (buruh)," bebernya. Kini, pasca pembebasannya, Omih merasa sangat bersyukur. "Ini semua berkat kawan-kawan," kata Omih yang meski tak bekerja lagi di PDK, tetap berharap 1.300 temannya yang di-PHK sepihak dapat bekerja kembali. "Saya ingin terus maju, tak akan mundur selama proses ini berjalan. Kami semua ini perempuan yang jadi tulang punggung keluarga."
Ade Ryani / bersambung
KOMENTAR