Ayam Probiotik Edukasi dalam Produksi
Bagi penyuka ayam, tak ada salahnya beralih ke ayam organik yang tak menggunakan bahan kimia dalam proses ternaknya. Inilah yang dijanjikan pemilik Probio Chicken, Christopher Emille Jayanata. Probiotik, menurut Emille adalah mikroorganisme yang berguna bagi kesehatan makhluk hidup, termasuk manusia.
Sejak 2001, Emille mempromosikan probiotik ke pertanian di seluruh Jawa. Selain menggunakannya pada sayuran, larutan yang ia produksi dengan nama Tumbuh itu juga digunakan pada padi, buah, ikan, dan lainnya. "Pada tahun 2004, kami terapkan pada ayam." Unggas ini dipilih karena harganya relatif murah dan banyak dikonsumsi orang. "Kami potong sendiri sehingga kualitas dan higienitasnya terjamin," ujar arsitek yang mengaku akrab dengan dunia pertanian sejak kecil.
Perjalanan ayam probio hingga dikenal masyarakat cukup terjal. Mulanya, hanya kaum ekspatriat yang membeli ayam Emille. Kebutuhan ayam probio meningkat pesat sejak 2007, saat jumlah penderita autisme semakin banyak. "Banyak orangtua menelepon, anaknya yang autis hanya bisa makan ayam probio. Saya mulai jual ke lebih banyak supermarket, restoran, dan hotel." Dari 30-an ayam per minggu, penjualan meningkat hingga 800-an ekor per bulan. Saat ini Emille bahkan bisa mengirim 10 ribuan ayam per bulan dengan harga satuan sekitar Rp 35 ribu.
Emille yang kini mengelola sekitar 22 peternak ayam skala kecil dari Tangerang, Bogor, dan Sukabumi, juga telah merambah produk olahan. Antara lain nugget dan bakso ayam probio yang dibuat tanpa bahan pengawet, pewarna, dan vetsin. Agar ayam selalu segar, Emille hanya memotong ayam 3-4 kali per minggu. Dalam dua hari, ayam yang dikirim ke kantor pusat di Jakarta untuk didistribusikan ini harus habis sehingga tak ada produk beku. "Kecuali ada permintaan untuk pengiriman jauh seperti ke Balikpapan dan Timika. Pengiriman juga sampai ke Surabaya, Bandung, dan Bali."
Ketertarikan Emille pada probiotik bermula sejak 2001, saat melihat penggunaan bahan kimia dalam bidang pertanian sudah luar biasa banyak. "Sudah bukan dalam taraf merusak tanah lagi, tapi meracuni manusia yang mengonsumsinya," tutur Emille yang belakangan menemukan produk ayam juga terkontaminasi bahan kimia sangat tinggi.
"Penggunaan probiotik pada ayam sudah dilarang WHO. Makanya, bisnis ini lebih banyak edukasinya dibanding produksinya," ujar Emille yang mengaku lebih sulit mengedukasi para konsumen untuk beralih ke ayam organik. "Kalau petani, rata-rata lebih suka probiotik karena hemat pupuk sampai 50 persen. Pada ayam, penggunaan probiotik bahkan membuat efisiensi pakan sampai 20 persen. Tingkat kematian ayam juga lebih rendah."
Soeparwan Soeleman adalah muara bertanya soal seluk-beluk organik. Sebulan sekali, petani sayur organik ini mengadakan pelatihan bertani organik. Peminatnya beragam, dari pegawai yang sedang menyongsong masa pensiun hingga mereka yang sekadar penasaran dengan serba-serbi bertani organik.
Menariknya lagi, pemilik kebun organik di Parompong, Lembang (Jawa Barat) ini mengambil konsep halaman organik. Artinya, peserta diajari cara berkebun organik dengan memanfaatkan halaman rumah yang ada. "Sebagai petani organik, kami sedih. Kok, hasil tanaman kami hanya dinikmati oleh kalangan menengah ke atas saja. Makanya, jika ingin mendapatkan sayuran organik yang murah, ya, harus menanam sendiri," tukas Soeparwan yang sehari-hari berkantor di Sukajadi, Bandung.
Konsep berkebun organik ala Soeparwan yang praktis dan tak butuh lahan besar ini justru jadi daya tarik. Menurutnya, konsep pelatihan yang biasa digelarnya ada tiga. "Berkebun di halaman, berkebun tanaman organik, dan memanfaatkan limbah organik dan non-organik yang berasal dari rumah sehingga sampah berkurang."
Untuk konsep yang pertama, Soeparwan mengajarkan berbagai teknik. Di antaranya bertanam di atas, digantung, hingga bertanam di atas lantai! Sisi rumah Soeparwan pun jadi ajang pamer. Ia membuat pot tanam dari tumpukan batako yang tak direkatkan dengan semen. "Jadi kalau tempatnya mau dipakai, tinggal bongkar saja," tandas mantan karyawan sebuah perusahaan internasional ini.
Pada konsep kedua, Soeparwan mengajarkan cara bertanam sayuran dan tanaman herbal tanpa menggunakan pupuk kimia. "Banyak, lho, yang mengaku sayur organik tapi masih mengoplosnya dengan bahan kimia, baik pupuk maupun pembasmi hama," ujar Soeparwan. Padahal, lanjutnya, hama tak perlu dibasmi. "Tapi ekosistemnya harus dibuat seimbang. Itulah konsep dasar tanaman organik."
Bertanam sayur organik di halaman rumah juga mesti mengikuti kebutuhan keluarga. Soeparwan berbagi trik. "Konsep menanamnya harus terus-menerus dan tidak serempak. Artinya, harus ada tanaman yang kecil, sedang, besar, dan siap panen. Konsumsi sayur untuk keluarga, kan, tidak banyak tapi harus selalu ada," ujarnya.
Yang tak banyak orang tahu, imbuh Soeparwan, hampir semua sayuran bisa ditanam di halaman rumah. Mulai dari brokoli, kecipir, kacang panjang, hingga berbagai selada. "Tak perlu khawatir sayuran tak tumbuh bila tidak sejuk. Di tempat panas pun bisa, kok. Yang penting perlakukan mereka seperti makhluk hidup," sela Dobor Rahayu, istri Soeparwan.
Untuk pelatihan yang amat berguna ini, Soeparwan mengutip biaya Rp 300 ribu per orang. Ini sudah termasuk makalah, snack, makan siang di hari pertama dan kedua, serta starter kit yang terdiri dari tray semai, media, pupuk, dan benih. "Hari pertama kami ajari teorinya, sedangkan hari kedua langsung praktik." Tertarik? Klik saja www.famorganic.com untuk informasi lebih lanjut.
Hasuna, Krisna / bersambung
KOMENTAR