Tak ada yang paling menyedihkan bagiku, saat mengetahui putri semata wayangku, Cecillia Putty Vickend (26), harus tergolek lemah akibat menderita kanker lidah stadium 4. Berbagai upaya sudah kulakukan. Berobat tak hanya ke satu dokter, menjalani pengobatan herbal, sampai memilih merawat Puti, sapaan sayangku untuk putriku, di rumah. Hingga ajal menjemputnya.
Ikhlas, inilah yang kurasakan setelah Puti meninggalkanku untuk selama-lamanya. Mungkin ini adalah jalan terbaik baginya. Aku bisa merasakan betapa sakitnya penyakit yang dideritanya. Kadang aku suka bertanya kepadanya, "Sakit atau tidak, Puti?"
Seharusnya aku tak perlu bertanya. Tapi kuakui ia begitu hebat selama menahan sakitnya. Meski kadang berontak dan ingin melepas semua alat yang menempel di tubuhnya, di saat ia merasa amat kesakitan.
Beberapa hari lalu, sebelum Puti mengembuskan napas terakhirnya, darah menyembur dari mulutnya. Puti kembali mengalami perdarahan. Segara kubawa ia ke rumah sakit. Biasanya, saat rasa sakit menyerang Puti akan berontak melepas alat penyambung ke ventilator yang menempel di lehernya. Namun di saat-saat terakhirnya, ia begitu manis dan tidak memberontak.
Aku jadi teringat, belakangan aku terkena flu sehingga selama menjaga Puti, aku tak berani terlalu sering berada di dekatnya. Aku takut menambah beban sakitnya. Agar ia tak sedih, aku memberi kode dengan memegang hidungku, tanda aku sedang pilek dan memberi ciuman dari jauh. Puti membalas dengan senyuman manisnya dan mengangguk tanda mengerti.
Lalu, aku juga sempat sampaikan kepadanya, jangan memikirkan kondisiku. Ikhlaskan saja semuanya. "Mami akan baik-baik saja, Puti." Setelah aku bicara demikian, tiba-tiba tekanan darahnya berangsur membaik, meski sebelumnya sempat drop.
Ternyata Allah punya rencana lain, Kamis (27/12) pukul 19.26 Puti meninggalkanku. Aku melihat ia mengembuskan napasnya pelan-pelan sambil tersenyum manis. Senyum yang dulu selalu menghiasi hari-hari indahnya. Putri tercintaku kini sudah bebas, tak akan merasakan lagi sakit yang dideritanya selama ini.
Tak Neko-neko
Masih terbayang dalam ingatanku saat-saat merawat Puti di rumah. Tiap kali memandangnya terbaring menahan sakit, kucoba menunjukkan kekuatanku di hadapannya. Meski dalam hati aku menjerit, menangis pedih.
Gadisku yang dulu ceria dan selalu bersemangat, harus menahan kesakitan akibat mengidap kanker lidah stadium 4. Berat badannya terakhir hanya 30 kg, yang semula 52 kg. Makan pun harus pakai selang. Karena sudah tak bisa menelan, ludahnya harus disedot memakai alat pula. Sebelumnya, kami bisa berkomunikasi lewat tulisan tangan. Namun semakin hari semakin sulit dilakukan.
Putriku tumbuh sebagai anak yang ceria, periang, baik, lembut, tak neko-neko, dan banyak teman. Hobinya wisata kuliner dan traveling bersama teman-temannya. Jika uangnya sedang pas-pasan, ia menabung dulu untuk bisa jalan-jalan ke banyak tempat.
Sebagai ibu, aku cukup protektif terhadapnya. Terlambat sedikit saja sampai di rumah, aku akan terus meneleponnya, menanyakan keberadaannya. Puti anak yang baik, ia selalu mengangkat teleponku tanpa terdengar bosan. Padahal, bisa saja ia mematikan ponselnya, kan?
Hubunganku sangat dekat dengan Puti karena kami memang hanya tinggal berdua, setelah aku bercerai dari suamiku. Siapapun temannya, pasti kuketahui. Begitu pula dengan orangtua mereka, pasti kukenal.
Tak heran, ketika mengetahui anakku sakit, teman-teman SMA ataupun kuliahnya bersama-sama melakukan penggalangan dana untuk membantu Puti. Aku tak pernah meminta, mereka lah yang berinisiatif melakukannya. Itu membuktikan, betapa sosok Puti sangatlah baik di mata teman-temannya. Aku bangga padanya.
Sejak SMA Puti memang sudah aktif di dunia entertainment, salah satunya main sinetron. Akulah yang selalu mengantarnya ke lokasi syuting. Puti lebih banyak main untuk film televisi (FTV). Sesekali menjadi MC di berbagai acara. Kuakui, ia tak terlalu ambisius menjalani kariernya.
Menginjak masa kuliah, Puti bahkan mulai jarang syuting dan memilih fokus belajar. Di saat jenuh, ia pernah magang di Singapura. Di sisi lain, aku melihat jiwa sosial putriku ternyata sangat tinggi. Bersama dua temannya ia membuat sepatu merek Junkee Shoes, yang sebagian dari hasil penjualannya ia serahkan ke Yayasan Sayap Ibu, para penderita kanker, atau panti asuhan.
Menurut dokter yang dimintai komentarnya di sebuah tayangan teve, penyebab kanker lidah yang diderita Puti akibat merokok, minum alkohol, dan kehidupan negatif. Padahal ketiga hal itu tak pernah dilakukannya. Aku dan teman-temannya tahu, bagaimana sosok Puti semasa hidup. Clubbing pun tak pernah, paling hanya untuk makan malam. Pokoknya, tak ada yang aneh dalam hidupnya. Namun kakeknya Puti memang meninggal akibat kanker. Mungkin faktor keturunan juga mempengaruhi.
Sebelum divonis menderita kanker lidah stadium 4, Puti terlebih dulu menderita sariawan yang tak kunjung sembuh. Itu terjadi sekitar 3 tahun lalu. Karena cuma sariawan, Puti dan aku mengira ini penyakit biasa. Sudah berobat ke banyak dokter namun sariawan di mulut Puti tak juga hilang. Kebetulan Puti menggunakan kawat gigi, sehingga kami kira sariawan muncul akibat penggunaan kawat gigi.
Sampai suatu hari salah satu giginya patah, meninggalkan bekas runcing pada gigi yang patah itu. Akibatnya, membuat lidah Puti terluka dan menjadi sariawan. Menurut dokter, mulut adalah tempat banyak kuman dan bakteri sehingga ketika ada luka di area mulut, akan membuatnya jadi meradang.
Di samping itu, Puti juga menderita vertigo. Bila sedang menyerang, ia akan merasa sangat pusing, tapi kemudian sembuh sendiri. Namun di bulan puasa tahun 2011 vertigonya kembali menyerang cukup parah hingga ia harus dirawat selama dua hari di RS. Seusai Lebaran 2011 yang Puti rayakan di Padang bersama ayah dan adik-adiknya, aku kembali mengecek vertigonya. Saat diperiksa, ternyata dokter menemukan benjolan sebesar bakso di leher kiri Puti. Dokter lalu menyarankan kami mengunjungi spesialis onkologi dan melakukan biopsi.
Ya Allah, aku lemas ketika dokter mengatakan putriku terkena kanker lidah stadium 2B setahun yang lalu. Bayangkan, bagaimana perasaan Puti saat itu. Dokter lalu menyarankan langsung dioperasi saja. Aku keberatan dan ingin mencari pendapat dokter lain atau second opinion. Ternyata hasilnya sama, Puti harus dioperasi.
Sebelum dioperasi, aku mencoba pengobatan herbal untuk Puti. Namun tak tak ada hasilnya. Kondisi Puti malah semakin drop. Akhirnya, aku pasrah dan Puti dioperasi di Bukit Tinggi, tempat tinggal mantan suamiku. Tujuannya, tak lain agar banyak yang bisa menjaga dan mengawasi.
Selain itu, adik Puti baru saja melakukan operasi payudara dan berhasil diangkat. Kami berharap operasi Puti kali ini pun berhasil. Usai operasi, Puti harus menjalani kemoterapi sebanyak tiga kali. Namun saat menjalani kemo kedua, muncul benjolan baru. Kemo harus ditambah tiga kali lagi. Karena kondisinya makin melemah, aku minta Puti dirawat di Jakarta saja. Rumah kami, toh di Jakarta.
Lalu aku membawa Puti berobat ke RS Dharmais dan menjalani kemo sebanyak 5 kali. Kondisi Puti ketika itu sangat lemah. Aku tak tega melihat anakku dikemo terus. Apalagi banyak orang bilang, penderita kanker akan makin buruk kondisinya usai dikemo. Aku menjadi takut.
Aku kembali memilih melakukan pengobatan herbal demi kesembuhan Puti. Namun di saat melakukan pengobatan herbal, lagi-lagi di bawah dagunya muncul benjolan besar. Melihat kondisi ini, dokter menyarankan agar Puti diradiasi.
Sayang, usai diradiasi luka di dagunya justru makin membesar dan tak ada perubahan pada kesehatannya. Lama-lama dokter yang merawat putriku menyerah. Selain di lidah, kanker sudah menyerang kelenjar getah beningnya. Akhirnya, aku memutuskan merawat Puti di rumah saja, ditunjang sejumlah alat untuk membantu perawatannya.
Aku kerap memberinya painkiller dan morfin. Sebenarnya itu hanya obat pereda nyeri, bukan untuk menyembuhkan sakitnya. Saat kondisinya drop, misalnya muntah tak henti, barulah aku membawa Puti ke RS. Saat kondisinya mendingan, aku bawa ia pulang ke rumah.
Noverita K Waldan / bersambung
KOMENTAR