Di persidangan, Neni mengakui pihaknya melaporkan pembukuan penjualan tunai menjadi penjualan cash tempo (pembayaran di belakang) ke kantor pusat. Laporan itu terpaksa dilakukan untuk menutupi kekurangan harga sepeda motor yang dijual (tunai) di bawah standar.
Akibatnya, kondisi keuangan real dengan laporan jadi berbeda. Kondisi ini akhirnya sampai ke telinga Lukas Kurniawan Susabda, General Manager PT SBM Yogyakarta. Menurut Lukas, seperti kesaksiannya dalam sidang, ia memerintahkan Hendrik, anak buahnya, untuk melakukan audit di SMB cabang Purwokerto.
Dari hasil audit di awal Oktober, ditemukan selisih Rp 131,9 juta. Itu pun, kata Lukas, belum termasuk uang hasil penjualan motor senilai Rp 52,9 juta, yang oleh Neni hanya disetorkan ke perusahaan sebesar Rp 500 ribu saja.
Masih kata Lukas dalam kesaksiannya di pengadilan, saat semua karyawan PT SBM cabang Purwokerto dikumpulkan, Neni mengaku akan mengembalikan selisih saldo itu dan minta kelonggaran waktu tiga bulan. Rupanya pihak perusahaan memilih langkah hukum dengan melaporkan Neni ke polisi.
Neni mengaku apa yang dilakukannya sudah diketahui pimpinan cabang. "Bahkan semua karyawan juga tahu dan uangnya dibagi-bagikan ke semua orang," jelas Neni seraya menambahkan, "Saya, kan, sudah menjalani hukuman selama 1 tahun 2 bulan. Saya harusnya sudah bebas!"
Diambil yang Terberat
Persidangan kedua yang dijalani Neni ini dipermasalahkan pengacaranya, Djoko Soesanto. Alumni FH Unsoed ini menilai, apa yang dilakukan polisi, jaksa, dan hakim sudah menyalahi aturan. "Seseorang tidak boleh dihukum dua kali untuk perbuatan yang sama." Kasus ini, lanjut Djoko, sengaja dipisah meski sama-sama kasusnya penggelapan di kantor. "Kalau, toh, Neni benar-benar melakukan penggelapan uang dan BPKB, seharusnya tidak dipisah karena perbuatan itu dalam satu rangkaian."
Djoko mengibaratkan, jika seseorang melakukan pencurian yang disertai pemerkosaan dan pembunuhan, hakim hanya memutus perbuatan yang ancaman hukumannya paling berat, yakni pembunuhan. "Kalau klien saya melakukan beberapa kali penggelapan, seharusnya dipilih mana yang paling berat. Tapi ini, kok, malah dipisah?"
Itu sebabnya, Djoko mempermasalahkan putusan kedua ini. "Saya sudah lapor masalah ini ke Komnas Perempuan. Kami minta keadilan dan mohon masalah ini jadi perhatian. Apalagi kami melihat, Neni hanya jadi korban. Andai benar dia menggelapkan uang sebanyak itu, tentu sudah kaya."
Senada dengan Djoko, pakar hukum pidana Unsoed Purwokerto Dr. H. Kuat Puji Prayitno, SH, MHum, menilai, jika penggelapan uang dan BPKB itu masih dalam satu rangkaian perbuatan, seharusnya persidangan dijadikan satu perkara. Tidak dipisah seperti yang dialami Neni. Dalam hukum pidana ada istilah konkursus pidana yakni pengabungan perbuatan pidana. "Jika Neni terbukti bersalah, putusannya diiambil yang terberat."
Namun lantaran kedua kasus ini sudah diputus, Kuat menyarankan, sebaiknya Neni maupun pengacaranya mengambil langkah hukum. "Salah satunya, banding."
Sukrisna
KOMENTAR