Ketajaman pikiran Malala di usia yang masih teramat muda ini bisa jadi merupakan hasil didikan keras Ziauddin, seorang aktivis pendidikan di Swat Valley. Adam B. Ellick, jurnalis yang mendokumentasikan kehidupan keluarga ini di tahun 2009 menyebut, "Dulu Malala adalah gadis yang sedikit pemalu dan penurut. Namun kini ia berkembang menjadi remaja yang pemberani," tulisnya dalam kolom berjudul My 'Small Video Star' Fights for Her Life untuk www.nytimes.com.
Untuk film dokumenter berjudul Class Dissmissed ini, Adam mengikuti Malala dan ayahnya selama enam bulan. "Setelah itu, keluarga Ziauddin menjadi keluarga bagi saya," tulis Adam yang juga menyebutkan, Malala adalah anak yang sangat spesial di mata sang ayah. "Sering kali dia membiarkan Malala duduk bersama kami hingga larut malam untuk membicarakan falsafah kehidupan dan politik."
Inilah yang membuat Malala jauh lebih dewasa ketimbang remaja lain seusianya. "Jangan tertipu oleh suaranya yang lembut, karena dia bisa jadi sangat keras kepala dan teguh pendirian," lanjut Adam.
Malala, sebut Adam lagi, adalah gadis yang haus akan ilmu dan pengetahuan. Karena itulah ketika Taliban merampas haknya untuk mendapatkan pendidikan, hatinya hancur berkeping-keping. Dalam Class Dissmissed, Malala menangis terisak-isak setelah mengungkapkan cita-citanya menjadi seorang dokter. Sebuah cita-cita yang tak akan pernah terwujud bila akses pendidikan baginya ditutup.
Namun di akhir film itu, Malala mengaku mengganti cita-citanya. Ia tak lagi ingin menjadi seorang dokter, ia ingin menjadi politisi agar bisa mengubah Swat Valley dan Pakistan yang ia cintai ke kondisi seperti semula. Sebelum diduduki Taliban dan menjadi medan perang antara Taliban dan militer Pakistan, Swat Valley adalah daerah pegunungan yang damai dan indah. Konon, dulu Swat Valley disebut seperti surga karena keindahannya.
"Ya, aku berubah pikiran. Sekarang aku melihat politik sebagai sesuatu yang sangat penting. Orang harus bisa memperjuangkan hak mereka dan politik adalah salah satu cara untuk melakukannya. Aku akan menjadi politisi dan membuat Pakistan menjadi negara yang lebih baik," ujar gadis cilik yang belakangan telah mencuri hati seluruh dunia ini.
Nobel Perdamaian
Kisah hidup dan perjuangan Malala menjadi inspirasi dan membawa perubahan bagi banyak orang. Pada 15 Oktober lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui mantan Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown yang kini menjabat sebagai utusan khusus di bidang pendidikan global, meluncurkan sebuah petisi yang diberi judul "I Am Malala".
Petisi ini menuntut agar tak ada lagi anak-anak perempuan Pakistan yang bernasib seperti Malala dan pada 2015 nanti seluruh anak-anak di dunia harus menempuh pendidikan. Brown kemudian menyerahkan petisi itu kepada Presiden Pakistan, Asif Ali Zardari, ketika berkunjung ke Islamabad November ini. Di saat yang sama, Brown juga menyatakan tanggal 10 November sebagai Hari Malala. Penghormatan ini diberikan untuk memperingati perjuangan Malala selama ini. Sebelumnya, lebih dari satu juta orang menandatangani petisi yang mengusulkan hadiah Nobel Perdamaian untuk Malala.
Penghargaan ini menambah deretan panjang penghargaan internasional yang sebelumnya telah diterima Malala. Pada tahun 2011, Malala menerima International Children Peace Prize setelah setahun sebelumnya menerima Pakistan's National Youth Peace Prize. Beberapa sekolah di Pakistan dan Swat Valley pun kini mengambil nama Malala Yousafzai sebagai nama sekolah mereka. Sebelum tragedi penembakan ini terjadi, Malala juga aktif menjadi pembicara di berbagai event dunia mengenai pendidikan. Semua ini, sebut Adam, dilakukan Malala sambil terus sekolah.
Kepada Adam pula, Malala mengaku tak akan pernah berhenti memperjuangkan hak anak-anak perempuan untuk mengenyam pendidikan. "Dalam surel terakhir yang ia kirimkan kepada saya, Malala menulis dengan huruf kapital, 'AKU INGIN AKSES KEPADA SEMESTA PENGETAHUAN.' Seperti itulah Malala."
Ajeng / Dari Berbagai Sumber
KOMENTAR