Roti Maryam Ya Rofa
Kemampuan memasak orangtua Husein Fauzi (23) sudah diakui kerabat sejak lama. Terlebih membuat penganan khas Timur Tengah bernama roti maryam. Pada 2001 sang bunda mulai membuat roti maryam dan menjualnya ke sebuah restoran di kawasan Condet, Jakarta Pusat. Ketika makin banyak restoran menjual roti maryam, muncul komplain pada Husein. Ada yang merasa roti maryam buatan sang Ibu berubah rasa. "Ternyata yang dijual itu roti buatan orang lain. Akhirnya kami memutuskan mulai memakai merek. Dipilihlah nama YA ROFA, nama gabungan antara Ibu dan Ayah, Muniroh dan Fauzi."
Pada 2005, produksi makin besar dan promosi yang awalnya hanya dari mulut ke mulut kian gencar dilakukan. Husein pun turun tangan membantu lebih banyak usaha orangtua. Sebagai lulusan Fakultas Informasi dan Teknologi, Husein coba membuat Ya Rofa semakin besar. "Semula saya tak tertarik berwirausaha, saya ingin kerja di perusahaan multinasional. Tapi semua berubah. Saya justru tertarik berwirausaha, meski sempat ingin "membunuh" usaha Ya Rofa ini. Soalnya saya ingin bikin usaha lain."
Namun, dari tujuh jenis usaha yang ingin dilakukannya, Husein yang kini tengah meneruskan kuliah S2 bidang bisnis ternyata beranggapan Ya Rofa dinilai paling tepat. "Pertimbangan saya, usaha ini sangat potensial. DI tahun 2010 saja sudah bisa memproduksi sampai 600 roti. Sampai akhirnya saya membuat Ya Rofa jadi perusahaan legal dan mulai rajin mengikuti beragam pelatihan untuk mengembangkan usaha."
Setelah makin berkembang, "Dalam sehari penjualan bisa sampai 2.000 buah dan mulai memproduks makanan lain seperti sambosa dan lainnya. Omzet yang kami dapat sekitar Rp 200 juta per bulan," tuturnya. Untuk membuat usahanya makin besar, Husein membuat sistem keagenan pada 2010.
"Untuk agen, awalnya kami beri minimal 100 buah. Bulan ketiga dan keenam dinaikan sampai angka normal 500 buah. Harganya jelas lebih murah dibandingkan harga jual pasaran. Lalu muncul konsep kemitraan, ada dua sistem jualan secara frozen atau jual langsung dengan gerobak."
Kini Ya Rofa sudah mulai tersebar sampai Aceh, Lampung, dan Semarang. Permintaan juga makin banyak, hingga Kalimantan dan Sulawesi. "Tapi saya enggan menerima semua dan tak melakukan kerja sama secara sporadis. Usaha ini berbasis makanan, ada kendala dalam pengiriman dan penyimpanan. Lagi pula kami tak pakai pengawet sehingga tak tahan lama jika disimpan di luar freezer," ucap Husein yang kini memiliki mitra sebanyak 12 orang dan agen 60 orang.
Untuk memulai kerjasama, kata Husein, dapat dimulai dengan harga Rp 10 juta. "Mitra dapat gerobak, seragam karyawan, dan pelatihan sebelum jualan. Saya juga berikan konsultasi sebelumnya, misalnya dalam menilai lokasi jualan. Keuntungan semua uintuk mitra, selanjutnya tinggal beli putus produk saja. Enggak ada biaya franchise dan pembayaran royalti."
Di tangan orang kreatif, sesuatu yang terlihat biasa saja bisa berubah jadi bernilai luar biasa. Tak hanya rasa, kemasan dan nama menarik membuat usaha semakin tumbuh dan berkembang. Seperti yang dilakukan pria asal Surabaya bernama B. Rusli yang kerap disapa Brusli ini.
"Saya senang nyangkruk atau duduk-duduk di warung kopi bersama teman-teman. Sambil minum kopi, biasanya ditemani kacang goreng. Nah, dari situlah terpikir oleh saya untuk bikin produk kacang goreng yang lain dari pada yang lain, enak, dan berharga tinggi," katanya.
Ide itu semakin mengkristal pada tahun 2007. "Kebetulan saya suka masak. Saya terus mencari resep dan coba-coba selama nyaris dua bulan, sampai menemukan resep dan teknik yang tepat. Kacang buatan saya tidak digoreng tapi di oven. Hasilnya lebih garing, enggak cepat apek dan bebas kolesterol. Bumbu yang semula hanya manis, kini ada varian pedas dan asin. Kacang tanah yang digunakan berukuran besar, yakni 29-32, impor dari Cina," papar Brusli yang menghabiskan kacang tanah sampai 1-2 ton per bulan.
Di awal usahanya, Brusli berkali-kali menemui hambatan. Salah satunya, menjaga kacang bertahan lama walau tanpa pengawet. "Saya mulai cari agen, ternyata penjualan di toko tidak cepat. Dua bulan kemudian kacang mulai tak enak karena tak bisa disimpan lama."
Akibatnya, proses produksi sempat terhenti selama setahun demi menemukan cara membuat kacang awet tanpa bahan pengawet. "Saya temukan jawabannya, ternyata ada di soal kemasan. Saya harus menggunakan kemasan vakum udara, agar kacang tetap awet."
Brusli lalu membeli alat pengemas dan mulai menghidupkan kembali usahanya. "Saya panggil agen-agen saya yang dulu untuk kembali memasarkan kacang Brusli. Ternyata makin banyak yang suka. Kemasannya bagus dan mulai dijual secara online. Malah kacang saya sudah dibawa ke luar negeri sampai Hongkong dan Australia," imbuhnya.
Untuk menjadi agen kacang Brusli sangat mudah. "Tinggal bayar Rp 1 juta sudah bisa jadi agen dengan keuntungan 25 persen per boks yang dijual seharga Rp 20-25 ribu. Sekarang saya sudah ada 50 agen, tersebar di 12 kota. Dari Malaysia sudah ada yang ingin jadi distributor, tapi masih terhalang soal perizinan."
Bila dulu masih dikerjakan sendiri, kini Brusli sudah dibantu 8 karyawan di bagian produksi. Selanjutnya, Brusli akan terus mengembangkan varian kacang buatannya. Misalnya kacang bawang atau kacang resep tradisional bernama kacang lorjuk. "Selain usaha kacang, kini saya sedang mengembangkan usaha lain seperti warung steik di Surabaya," tutup ayah satu anak ini.
EDWIN / bersambung
KOMENTAR