Ermita atau Mita, tante Afriyani sekaligus adik ke-4 Yurneli, ibunda Afriyani, tampak selalu mendampingi Afriyani menjalani persidangan. Kata Mita yang paling dekat dengan Afriyani ini, keluarga tahu soal gugatan perdata yang dilayangkan keluarga korban, Rabu (7/11) lalu. "Waktu itu kami sedang menonton teve di rumah lalu melihat newsticker (running text di bagian bawah layar teve). Kok, tulisannya berita Afriyani Tugu Tani digugat 10 milyar. Jujur, kami syok, kaget."
Apalagi, lanjut Mita, tuntutannya berupa nominal sebesar itu. "Benar-benar bikin kami tercengang. Mimpi dapat Rp 10 milyar saja belum pernah, apalagi jadi nyata. Kami ini keluarga biasa saja. Bunda juga nangis waktu tahu hal ini."
Keluarga besar, tuturnya, semakin sedih setelah membaca berita di internet tentang pernyataan keluarga korban yang menyatakan keluarga Afriyani sejak awal tak punya itikad baik. Padahal, sejak acara tahlilan hari ke-3, ke-7, ke-40, dan ke-100 hari, "Kami selalu memperhatikan keluarga korban, membantu pengajian. Kami juga sering komunikasi di telepon, ketemu di pengadilan, mengobrol. Apa itu artinya tidak ada itikad baik?"
Pernah, lanjutnya, ketika keluarga Afriyani memberi uang kerohiman, salah satu keluarga korban berkata, "Enak saja, nyawa anak kami dihargai Rp 3 juta, kambing saja harganya Rp 6 juta. Berarti nyawa korban ini dijadikan tukar tambah untuk nego harga. Benar-benar tak punya keikhlasan."
Terdapat tiga nama dari sembilan keluarga korban tragedi Tugu Tani yang mengajukan gugatan perdata RP 10 milyar, yaitu Mulyadi (49) keluarga Bukhari (16), Jumari (42) keluarga M. Akbar (22), dan Sutantio (44) keluarga Huzaifay (16). Padahal, Yadi salah satu di antara tiga nama tadi, cukup intens berhubungan baik dengan keluarga Afriyani.
"Saling telepon, ketemu di sidang, dan mengobrol seperti biasa, malah sempat datang dan main ke rumah. Tapi kenapa di belakang kami bicaranya beda?" Bahkan, kata Mita, ketika Afriyani bergegas untuk kembali ke tahanan selepas sidang pledoi Agustus lalu, Yadi pernah menghampiri Afriyani yang berada di dalam mobil tahanan. Ketika itu Mita mendengar perkataan Yadi kepada Afriyani, "Mbak, yang sabar, ya, Mbak. Hati-hati di jalan." Afriyani pun membalas sambil mengucap terima kasih dan minta maaf pada Yadi.
Di suatu kesempatan, Yadi juga pernah buka suara soal aksinya yang berbeda di dalam dan di luar sidang. Terutama saat datang ke rumah Afriyani. "Yadi bilang, dia bingung dan tak enak ikut-ikutan mereka (keluarga korban lain). 'Kalau saya ke sini (rumah Afriyani) saya dimarahi keluarga sana (Tanah Tinggi), tapi saya kasihan juga lihat Bunda.' Kami pikir dia ikhlas. Soalnya, dia sering cerita ke kami. Malah di telepon pun komunikasinya baik," papar Mita.
Jauh sebelum vonis akhirnya diketuk palu oleh hakim, Yadi juga sempat bicara soal "damai" secara kekeluargaan. Saat itu Mita didampingi suaminya dan Rully, adik Afriyani. "Saya bilang, bicarakan dulu dengan keluarga Tanah Tinggi, agar ada kesepakatan dan tak menuntut perdata. Saya minta dikabari."
Seminggu berselang, Yadi menelepon dan mengabarkan semua keluarga setuju dan minta ditemui di rumahnya. "Ketika saya tanya ke Sutantio, dia bilang Yadi tak pernah bilang soal uang damai itu. Kami lalu tanya berapa nominal yang diminta. Tapi mereka malah mau bicara ke pengacara dulu. Berarti ini bukan kekeluargaan."
Selang sepekan berikutnya, ketika kembali ditanyakan berapa nominal yang mereka mau, "Dia malah tanya, keluarga Afriyani sanggup kasih berapa? Kalau ditanya begitu, kami hanya sanggup Rp 100 ribu. Setelah itu tak ada lagi komunikasi. Padahal, kami beritikad baik dan tanya berapa dia minta, tapi malah tidak mau bilang."
Setelah vonis dijatuhkan, praktis keluarga Afriyani tak pernah lagi bertemu Yadi maupun keluarga korban lain. Soal gugatan Rp 10 M, kata Mita, "Mau gugat apa juga, ya, silakan. Itu hak mereka. Kami pasrah saja. Kalau menurut hukum harta yang harus diserahkan harta pribadi Afri, yang ada di kamar dia cuma baju, handphone, sandal. Dia cuma punya itu. Rekening di bank juga sudah tak ada saldonya. Kalau harta orangtua, ya, tak bisa dituntut."
Mita lalu menambahkan dengan nada agak gusar, "Apa perlu dicicil tiap bulan sekuatnya Afri? Misalnya Rp 100 ribu per bulan ke keluarga korban? Mau sampai Rp 10 milyar, ayo kami jalani meski harus ratusan tahun. Cuma itu yang bisa kami penuhi."
Sehari sebelum sidang Afriyani berlangsung, tiga keluarga korban yang berdomisili di Jakarta, yaitu keluarga Muhammad Huzaifah alias Ujay, Buhari, dan M. Akbar menggugat Afriyani dan ketiga temannya yang juga di berada dalam mobil saat kecelakaan, secara perdata sebesar Rp 10 M.
Sutantio (44), ayah Ujay, mengaku sudah lelah menunggu realisasi janji yang diucapkan pihak Afriyani. "Katanya mau kasih bantuan pada kami untuk kebutuhan hidup, karena saya masih punya dua anak lagi. Tapi sampai sekarang tidak ada wujudnya. Kalau sejak awal mereka menepati, kami tidak akan menuntut seperti ini," tukasnya kesal.
Disinggung soal uang kerohiman Rp 3 juta yang diberikan pihak Afriyani, Sutantio menyergah. "Coba pakai logika. Anak yang sudah kami didik dan sekolahkan sejak kecil lalu mengalami kejadian begini, pantas atau tidak kalau kami hanya diberi Rp 3 juta? Selain itu, saat pertemuan kami diminta menandatangai surat perjanjian untuk menghilangkan kasus pidana dan perdatanya, tapi kami tolak," tandasnya lantang.
Ditanya berapa uang yang pantas diterima, ia menjawab, "Kita musyawarahkan saja, berapa kemampuannya memberi. Lagipula, kalau anak saya yang melakukan, sebagai orangtua pasti kami ikut bertanggungjawab, ikut membantu keluarga korban," ujar Sutantio yang mengaku sangat sulit mengikhlaskan kepergian Ujay.
Menurut Ronny Talapessy, SH, kuasa hukum keluarga korban, dasar gugatan dari pihaknya adalah putusan PN Jakarta Pusat yang menyatakan Afriyani terbukti melakukan tindakan melanggar hukum, dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain. "Setelah putusan itu keluar, kami menyiapkan gugatan secara perdata. Strategi ini sudah kami pikirkan sejak awal," ujar Ronny.
Kata Ronny, sejak awal pihaknya tak melihat adanya itikad baik dari keluarga Afriyani dan teman-temannya. "Di sisi lain, para korban adalah tulang punggung keluarga," tandas pria bertubuh tinggi ini. Soal besaran gugatan, lanjutnya, sudah dikonsultasikan dengan konsultan keuangan profesional. "Kami dapat angka itu karena selama korban hidup, ada biaya hidup, sekolah dari TK sampai kuliah, bahkan sampai bekerja yang dikeluarkan. Setelah dikalkulasi ditambah dengan biaya inflasi dari ketiga korban, didapatlah angka Rp 7 miliar," jelas Ronny.
Gugatan imaterial Rp 3 miliar, tuturnya, untuk rasa duka mendalam, nilai moral, dan sebagainya. "Yang harus diingat, keluarga korban juga punya hak perdata. Biarlah masyarakat belajar, ada konsekuensi hukum dari sebuah perbuatan. Bukan hanya secara pidana, tapi juga perdata. Jumlah gugatan ini juga tak bisa dihargai dan digantikan oleh nyawa."
Ronny yakin gugatan perdata ini bakal dikabulkan karena memiliki landasan hukum yang kuat. "Soal berapa jumlah yang dikabulkan, kami serahkan ke majelis hakim," ujarnya. Bagaimana bila keluarga Afriyani ingin berdamai? "Kami sangat terbuka untuk itu. Pada dasarnya, tujuan kami adalah ganti rugi ini bisa bermanfaat bagi keluarga korban," katanya sambil menambahkan, "Gugatan ini kami minta sebagai eksekusi seumur hidup. Jika tuntutan kami dikabulkan, kami akan tunggu sampai Afriyani keluar dari penjara. Sampai dia kembali kerja dan dianggap mampu, dia tetap punya kewajiban terhadap keluarga korban!"
Ronny boleh saja merasa optimis, tapi tak demikian halnya dengan Efrizal, SH, kuasa hukum Afriyani. "Gugatan itu tidak pada tempatnya dan sangat mengada-ada. Seharusnya mereka melihat fakta, Afriyani punya apa, sih? Kalau memang sudah rezeki dia sehingga bisa punya uang Rp 10 miliar, silakan saja," tukas Rizal.
Seharusnya pula, "Kuasa hukum keluarga korban melihat secara riil dulu, jangan hanya menjanjikan angin surga ke mereka. Menurut saya, ini hanya mencari sensasi atau ada udang di balik batu. Afriyani sudah menjalani hukuman fisik, dipenjara. Apa yang sebetulnya diinginkan keluarga korban? Pemerintah saja, menurut undang-undang, hanya wajib mengganti maksimal Rp 25 juta," tandasnya.
Di sisi lain, tambah Rizal, tak ada undang-undang yang mengharuskan Afriyani mengganti rugi ke keluarga korban. "Soal mereka mengajukan pasal tertentu, silakan. Jika setelah saya lihat ternyata ada unsur pemerasan, akan saya pidanakan. Jika ada unsur perbuatan tak menyenangkan, akan saya gugat balik," ujar pria yang mengetahui gugatan ini dari media.
Lagipula, lanjut Rizal, putusan hukum kasus pidananya belum final karena masih terus banding. "Jadi, belum bisa digugat. Prosesnya masih panjang. Istilahnya, Belanda masih jauh. Tunggu saja tanggal mainnya di pengadilan. Kami tak mengesampingkan ada korban. Kami beri santunan, ikut tahlilan 3, 7, 40, dan 100 hari, serta mengirim seribu besek makanan sebagai tanda duka cita. Keluarga korban sudah diundang ke restoran dan diberi uang kerohiman Rp 3 juta per keluarga. Apa lagi yang diinginkan keluarga korban? Itikad baik mana lagi yang diharapkan?"
Ade Ryani, Hasuna
KOMENTAR