Apa kegiatan pasca vonis 15 tahun penjara di akhir Agustus lalu?
Ya, saya hanya bisa pasrah terima hukuman itu, harus saya jalani. Setelah vonis jatuh, petugas rutan nawarin saya untuk bantu mereka di bagian registrasi. Sekarang saya jadi tamping register (tamping adalah narapidana yang dinilai berkelakuan baik, yang diperbantukan dalam operasional keseharian melayani tahanan dan narapidana di dalam Lapas dan Rutan, Red.).
Seperti apa tugasnya?
Bantu-bantu petugas untuk registrasi tahanan baru, urus berkas-berkas. Seperti staf administrasi lah. Kalau ada keluarga yang mau jenguk, saya juga bantu panggil tahanan ke sel mereka. Jaraknya, kan, lumayan jauh, tapi saya lebih hafal. Mulai kerja dari jam 07.30 kadang sampai jam 17.00. Pernah juga kalau ada registrasi penerimaan tahanan baru, kerjanya sampai jam 19.00.
Bagaimana perasaan Anda saat ini?
Senang karena ada kesibukan rutin. Saya juga sudah ketemu komputer di bagian registrasi, jadi saya bisa menulis lebih leluasa misalnya di blog. Teman-teman juga datang menjenguk dua minggu sekali. Juga reuni sama teman-teman SMA. Saya juga tetap mengikuti perkembangan informasi lewat teve. Ada program yang saya suka, seperti Master Chef Indonesia.
Ya, saya tidak mau berkeluh kesah dan cerita ke belakang. Tiap orang tanya masalah saya, saya jawab sudah lah. Kan, sudah ketuk palu vonis kemarin jadi biarkan saya menjalani sisa masa hukuman dengan normal sebagaimana manusia. Saya bismillah saja, semua Allah yang punya porsinya. Saya enggak gila karena kasus ini saja, saya rasa Allah sudah bekerja sangat luar biasa. Alhamdulillah saya bisa kuat, jalani hidup dengan normal. Jadi, wujud rasa syukur saya, ya, harus menjalani dengan lebih baik lagi.
Sehari menjelang sidang narkoba, Anda tahu soal adanya gugatan perdata keluarga korban senilai Rp 10 milyar?
Soal menggugat... (Afriyani terdiam cukup lama) Hmm... Saya juga baca beritanya kemarin di koran, sempat dikasih tahu Bunda soal gugatan itu. Apa ya, hmm... saat ini saya ada di titik pasrah, yang artinya tidak lagi bertanya ketika beban itu datang buat saya. Saya tak mau lagi bertanya kepada Allah apa maksud semua ini. Saya sudah menjalani ini. Kalau memang rezeki mereka ada di saya, insya Allah itu akan jadi hak mereka. Saya cuma bisa berharap. Ini semua memang tidak tergambarkan rasanya, tapi saya pikir sebenarnya tuntutan Rp 10 milyar itu sesuatu yang tidak bisa saya penuhi.
Ayah saya punya cita-cita sederhana sekali, anaknya harus sekolah lebih tinggi dari dia. Dia bekerja mati-matian dan alhamdulillah cita-citanya kesampaian. Kami juga hidup sederhana, bekerja untuk menyambung nyawa, kami bukan orang yang punya kelebihan materi. Tapi apa yang keluarga korban tuntut... (Afriyani terdiam lagi) Hmm... saya kerja mati-matian untuk menghidupi ibu dan adik-adik. To be honest ini too much buat saya. Sangat, sangat too much... (Afiyani pun mulai menangis).
Saya sudah kehilangan waktu berharga dalam hidup sampai 15 tahun ke depan. Saya harus jalani hukuman sekarang. Gugatan ini juga sudah pembunuhan karakter. Saya masih punya adik yang harus disekolahkan. Dengan adanya tuntutan ini, otomatis tambah masalah dan keluarga jadi terus-menerus mikirin saya. Kakak-adik dan ibu saya jadi kepikiran. Semua yang berhubungan dengan materi, manusia pasti enggak pernah ada puasnya. Tapi saya bisa apa? Selama ini saya putuskan untuk diam, tidak berkomentar.
Saya tahu saya salah, tak ada yang perlu saya gembar-gemborkan. Tapi apa belum cukup hukuman yang saya dapat? Tuntutan Rp 10 milyar... Seumur hidup pun saya belum pernah lihat uang sebanyak itu. Bahkan RP 1 milyar pun tidak pernah. Andai saya punya uang sebesar itu, sudah saya kasih sejak awal ke mereka. Kalau ditanya apa harta pribadi saya, ya, hanya baju, lemari pakaian, Blackberry yang dulu saya pakai tapi entah sekarang di mana. Uang dari penghasilan saya berputar untuk menafkahi keluarga. Bila mereka mau menuntut, ya, barang-barang tadi lah yang saya punya.
Lalu bagaimana Anda menanggapinya?
Mereka mau menuntut begitu, itu hak mereka. Tapi saya juga punya hak untuk membela diri. Sebelumnya, saya tak pernah bicara soal harga diri. Tapi hari ini saya bicara soal harga diri (Afriyani kembali menangis). Saya tak mau lagi diinjak-injak, saya harus bicara dan membela diri. Apa mau mereka sebenarnya? Kalau dibilang keluarga saya tidak ada itikad baik, apa artinya sejak awal keluarga saya datang menyantuni para korban? Memang, tiap orang punya persepsi berbeda tentang itikad baik seperti apa yang mereka harapkan. Tapi semua yang dilakukan keluarga saya seperti tak ada artinya.
Masalah ini membuat saya, pertama, harus berpikir sehat. Kedua, saya mengadu kepada Ya Robb (Allah SWT). Biar Allah yang bekerja. Sekarang dalam kapasitas saya, saya tak punya harta sebanyak itu. Bahkan dari keluarga saya tujuh turunan pun. Tapi kalau memang Allah bilang Rp 10 milyar itu hak mereka, saya yakin Allah akan mendatangkan rezeki sebanyak itu ke hadapan saya dan akan saya berikan ke keluarga korban. Jadi, saya pasrah saja. Hanya itu yang bisa saya lakukan.
Bagaimana Anda menilai keluarga korban dengan adanya gugatan ini?
Selama ini mereka selalu menghujat dan memojokkan saya, itu hak masing-masing orang. Tapi ketika soal harta disinggung, apa yang mau mereka ambil? Mereka mau ambil kehidupan keluarga saya? Rumah keluarga saya? Saya tak mau gegabah untuk menggugat balik atau tidak. Tapi kita lihat ke depan saja gimana baiknya, sejauh mana gugatan mereka, apa tindakan saya atas apa yang mereka lakukan. Saya akan bela diri dan harga diri keluarga saya, karena mereka sudah too much merampas sampai ke akar-akar saya. Jika itu tuntutan mereka, kenapa tidak dibicarakan sejak awal? Ini, kan, bukan ajang balas dendam dan bisa seenaknya. Dalam bentuk apa saya membela diri, akan saya pikirkan lagi.
Saya tak perlu bereaksi berlebihan, juga tidak dendam. Ini semacam drama anti-klimaks dari mereka (keluarga korban). Ketika berhubungan dengan nafsu, tak pernah ada ujungnya. Saya ingin hidup normal sebagai manusia dalam sisa hukuman saya ke depan. "Hal-hal kecil" seperti itu tidak mau saya pikirkan, lebih baik fokus mengubah diri agar menjadi lebih baik. Saya berharap Allah memberi keajaiban agar saya bisa kumpul lagi dengan keluarga.
Pernah terbersit untuk membicarakan ini dengan keluarga korban?
Saya rasa sudah cukup untuk dibicarakan atau berhubungan dengan mereka. Bukan saya tak mau bicara lagi, saya rasa sudah cukup. Biarkan rasa bersalah dan gundah saya hanya Allah saja yang tahu. Tak ada lagi yang ingin saya sampaikan. Semua orang punya hak untuk memuaskan diri, hak untuk memperbaiki diri, hak untuk diam, hak untuk bicara. Dan saya tidak melanggar hak siapa pun untuk itu. Saya sedang dalam tahap memperbaiki diri, terserah mereka mau bersikap apa. Tapi seandainya nanti saya membela diri, itu karena hak saya dan tak boleh diganggu gugat. Kita lihat saja gugatan itu. Ini masalah Afriyani dengan keluarga korban, bukan keluarga saya dengan keluarga korban. Jadi, tidak perlu melibatkan keluarga saya.
Ade Ryani / bersambung
KOMENTAR