Saya tak pernah menyangka si sulung Reza akhirnya akan menyerah, mengembuskan napas setelah mengalami peristiwa tragis, bahkan menjadi perhatian masyarakat dan pemberitaan sedemikian luas. Kini suasana rumah menjadi teramat sepi. Saya betul-betul kehilangan suasana ceria yang kerap dihadirkan Reza yang memang humoris.
Reza suka menggoda adiknya. Ia juga anak yang penuh pengertian. Tak pernah menuntut banyak ke orangtua. Semasa hidupnya, dia juga tahu persis kondisi keuangan kami. Saya ikut bekerja membantu suami berbisnis salon dan menjual paket wisata dari rumah. Reza memang anak yang patut dibanggakan.
Dia pernah jadi juara ke-2 lomba renang tingkat kabupaten. Tapi setelah masuk SMA Dominicus, Wonosari, ia lebih suka main futsal. Cita-citanya ingin jadi pembalap dan punya usaha bengkel motor. Sayang, saya tak suka ia jadi pembalap karena tak punya uang buat mendukung hobinya itu.
Duh, kenapa Reza harus pergi secepat itu? Kendati sepekan sebelum ia pergi memang ada sejumlah firasat yang saya rasakan. Di hari terakhirnya, Senin (21/10) sore itu, Reza mengenakan kaos hitam buah tangan saya yang sepekan sebelumnya baru pulang dari Bangkok. Ia terlihat segar dan tampak baru selesai mandi. Neneknya yang tinggal bersama kami bertutur, Reza minta dijerangkan air panas untuk mandi. Anehnya, hari itu ia mandi sampai tiga kali! Padahal, beberapa hari belakangan ini, dia malas mandi.
Melawan Arus
Selanjutnya, tak ada percakapan yang terjadi di antara kami karena saya pikir ia tak akan pergi ke mana-mana. Saya pun langsung masuk kamar. Namun malamnya, ketika saya ke luar kamar, Reza sudah tak kelihatan. Pergi tanpa pamit hingga larut malam. Saya merasa dua minggu terakhir sebelum Reza meninggal, ia menjauh dari saya.
Padahal selama ini ia lebih dekat dengan saya dibanding ayahnya. Ia seperti memusuhi keluarganya. Yang lebih aneh lagi, ia mengaku sering melihat dunia lain. Katanya, di rumah kami ada mahluk ini dan itu. Atau melihat sosok perempuan berdiri di sampingnya.
Belakangan saya juga mendapat cerita dari temannya, sore itu Reza berpamitan ke teman-temannya, menitipkan salam, dompet, dan ponselnya. Reza bilang, "Aku arep lungo, ora nggawa apa-apa (Aku mau pergi, tidak membawa apa-apa, Red.)."
Seorang teman lainnya mengaku heran pada perubahan sikap Reza. Tak biasanya Reza main ke rumah temannya itu dan minta kenang-kenangan berfoto bersama. "Ini foto terakhir yang mau saya up-load di Facebook," tutur Reza kala itu. Foto-foto di ponsel Reza masih saya simpan. Tapi saya belum berani membukanya, belum kuat.
Ya, Reza sudah pergi dan tak mungkin kembali. Ini semua gara-gara kejadian yang menimpanya pada malam Idul Adha, Kamis (25/10) lalu. Menurut teman-temannya yang malam itu bersepeda motor beriringan, mereka berlima pulang dari futsal dan hendak mampir ke warung angkringan. Mereka saling berboncengan. Hanya Reza yang tidak, karena baru saja mengantar pulang teman yang diboncengnya.
Malam itu, arus lalu lintas kota tengah dialihkan karena ada konvoi takbiran Idul Adha keliling kota. Berhubung Reza beragama Kristen, ia dan teman-temannya melajukan motornya berbalik arah dengan arus konvoi takbiran. Dari sinilah kemungkinan masalah timbul. Reza yang ada di posisi depan, saat melewati polisi yang tengah berjaga lalu-lintas, menurut penuturan teman Reza, tanpa peringatan apa pun langsung dipukul polisi. Reza sontak terjatuh menyentuh aspal di perempatan Jalan Veteran, depan Gedung DPRD.
Kesaksian teman Reza lainnya yang tengah menonton konvoi di pinggir jalan, ia buru-buru hendak menolong Reza yang terjatuh, namun segera dihalau polisi. "Ini urusan polisi, bukan kalian!" gertak si polisi kepada teman Reza tadi. Si petugas itu juga langsung memagari Reza yang masih terkapar di aspal.
Beberapa saat kemudian para polisi membawa Reza ke RSU Wonosari. Teman-teman Reza mengikuti hingga ke RS. Setiba di sana, kata teman Reza, para polisi segera pergi tanpa menanyakan nama maupun alamat Reza. Tinggallah Reza yang bersimbah darah ditemani beberapa teman. Kejadian itu terjadi sekitar jam 22.00.
Saya mendapat berita Reza dibawa ke RS pada tengah malam ketika sudah tertidur. Teman-teman Reza datang ke rumah kami di Jeruksari, Gunung Kidul, tak jauh dari RS. Malam itu, suami saya, Nugroho, sedang tak di rumah. Jelas saya terkejut dan langsung menduga, Reza kecelakaan. Pantas, sejak sore hati saya gelisah. Selain pergi tak pamit, di-SMS tak membalas, ditelepon pun tak diangkat.
Dengan perasaan kalut saya langsung ke RS. Saya temui Reza sudah muntah darah dan mengeluh sakit berkali-kali. Saya makin panik dan belum tahu pasti apa yang terjadi pada Reza malam itu. Saya hanya berpikir, Reza mengalami kecelakaan. Itu saja.
Melihat kondisi Reza, saya minta izin dokter untuk membawanya ke RS Bethesda di pusat kota Jogja. Namun prosedurnya berbelit-belit, sehingga saya harus minta bantuan kakak ipar yang kebetulan seorang dokter. Menjelang berangkat ke Jogja, seorang polisi datang menanyakan nama dan alamat Reza. Setelah itu pergi begitu saja.
Saya membawa Reza ke RS Bethesda diantar kakak ipar dan seorang perawat dari RSU Wonosari. Suami menyusul dengan kendaraan lain. Sepanjang perjalanan Wonosari hingga Jogja, Reza terus-terusan muntah darah. Sampai di RS Bethesda jam 01.30, Reza tak sadarkan diri dan langung dimasukkan ke ruang ICU.
Disodori Amplop
Bila dilihat dari lukanya, Reza mengalami patah tulang hidung, kedua mata lebam, di bagian wajahnya terdapat luka baret. Kemungkinan jatuhnya dalam posisi telungkup. Reza juga mengalami perdarahan di seluruh otaknya. Bisa jadi kepala Reza dihantam helm lebih dari sekali oleh si oknum polisi.
Esok paginya, saya menerima berita yang tersebar dari teman Reza via Twitter. Dia mengatakan, Reza jatuh akibat dipukul oknum polisi. Namun teman-temannya tak berani bersaksi karena pelakunya polisi. Andai benar begitu, saya dan suami lantas bertekad menuntut keadilan. Tapi ketika itu kami tak tahu harus berbuat apa.
Berita soal Reza pun mulai bermunculan di media massa lokal dan nasional. Antara lain memuat pernyataan polisi bahwa Reza terjatuh akibat kecelakaan tunggal. Karuan saja berita itu membuat masyarakat yang mengetahui kejadian sesungguhnya menjadi heboh.
Sepekan kemudian, Sabtu (27/10) jam 22.00, tiba-tiba tiga anggota polisi berpakaian preman datang ke RS. Mereka menanyakan kabar Reza dan menyodorkan amplop kepada saya, yang saya duga berisi uang. Tapi saya tak mau menerimanya. Menurut saya, orang bodoh saja tahu, jika benar Reza mengalami kecelakaan tunggal, kenapa polisi harus merasa sepeduli itu, datang ke RS bahkan hendak memberi uang? Selama ini mana ada polisi yang peduli kepada korban kecelakaan lalu lintas?
Selanjutnya, Kapolres Gunungkidul sempat memberi pernyataan, Reza jatuh dari motor akibat menabrak trotoar. Lucunya, di lain hari, polisi juga menyatakan Reza mabuk. Karena itu saya meminta dokter yang menangani untuk tes urin Reza. Hasilnya bersih. Reza tak mabuk. Kesimpulan saya, polisi sudah mau menang sendiri. Anehnya lagi, Kapolres Gunung Kidul juga mau repot mendatangi saya ke RS. Beliau bilang, kalau butuh pertolongan tinggal bilang saja. Lho, kok, aneh, Kapolres sampai mau peduli kepada keluarga korban kecelakaan tunggal?
Rini Sulistyati / bersambung
KOMENTAR