Bila aku diminta menggambarkan keadaanku kini, akan kukatakan aku lelah. Secara fisik dan psikis. Mengidap dua macam gangguan kejiwaan - skizofrenia dan bipolar disorder - di usia begini muda, aku merasa seperti sudah berusia 40 tahun saja. Pasalnya, setiap hari adalah perjuangan untuk hidup normal buatku.
Sebagai penderita skizofrenia, aku kerap mengalami halusinasi yang terasa nyata. Khayalan seperti suara langkah kaki atau suara bergemuruh, juga bayangan hitam dan perasaan seperti diintai membuat hidupku kerap dibayangi ketakutan. Tak hanya itu, belakangan aku juga didiagnosa mengidap gangguan bipolar, yakni perubahan suasana hati yang sangat ekstrem. Ada saat-saat manic, yang membuatku merasa amat bahagia sampai berjingkrak-jingkrak. Lalu ada pula saat-saat depresif, yang membuatku merasa amat sedih sampai menangis berhari-hari. Dua perasaan itu bisa sekonyong-konyong datang dan pergi tanpa sebab.
Tidur bukan jawaban karena otakku tak mau berhenti kerja. Aku bisa terjaga hingga berhari-hari namun tak mengantuk sama sekali. Bahwa aku memiliki dua gangguan kejiwaan sekaligus ini baru kuketahui beberapa tahun belakangan. Sebelumnya aku sama sekali tak tahu apa yang membuatku begini. Lebih-lebih keluargaku yang memiliki dasar agama kuat. Di tahun-tahun kelam itu, aku merasa sangat tersesat.
Dirantai dan Disiram Air
Seingatku, semasa kecil aku tumbuh normal. Aku punya tiga saudara kandung, seorang kakak lelaki dan dua adik perempuan. Orangtuaku, Kuswardi (50) dan Rita Wardani (45), memang berwatak keras. Dulu, aku sering menyaksikan mereka bertengkar di depan mataku. Ditambah, aku pernah mengalami pelecehan seksual di masa kecil.
Aku tak tahu apakah aku mengalami trauma. Yang jelas, saat duduk di bangku SD, aku mulai dihantui rasa ketakutan dan mimpi buruk. Seperti ada sesosok bayangan hitam yang ingin berbuat jahat kepadaku. Walau hanya bayangan, semua terasa nyata. Alhasil, aku sering berteriak-teriak dan histeris.
Ini berlangsung terus sampai aku menginjak usia SMP. Keluargaku bilang, aku kesurupan. Bagaimana tidak, tiap hari aku merasa paranoid. Dorongan untuk mengakhiri hidup amat kuat, sampai aku tak tahan lagi. Sudah tak terhitung berapa kali aku mencoba bunuh diri. Aku bahkan pernah membawa pisau dapur dan menyerahkannya ke Mama. "Mama, tolong bunuh Alfi. Alfi enggak tahan lagi," ujarku sambil menangis meraung-raung.
Sering pula aku mengunci diri di kamar karena minder dan ketakutan bila bertemu orang banyak. Aku ingat, suatu pagi aku mengunci pintu kamar rapat-rapat karena tiba-tiba diserang rasa takut yang teramat sangat. Papa mendobrak pintu dan langsung menyiram seember air dingin ke sekujur badanku. Papa juga membawa rantai dan mengata-ngatai aku seperti binatang. Aku takut bukan main. Sedihnya, Mama bukannya melindungiku dari amukan Papa, tapi malah ikut menghakimi. Hari itu lalu kulalui dengan kekangan rantai dan terkunci di dalam kamar. Tak lama, keluarga membawaku menjalani pengobatan alternatif rukiyah.
Aku meronta-ronta dan menangis pedih saat badanku dipegangi dan dibacakan ayat suci Al Quran. Berkali-kali Mama berbisik, "Tobat, Alfi... Tobat," seakan-akan aku ini makhluk hina. Sungguh, tak ada lagi yang bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Sedih dan kebingungan, sudah pasti.
Toh, setelah pengobatan itu aku tak merasa lebih baik. Suara dan bayangan tetap ada dan semakin menerorku. Aku tak punya tempat bergantung karena orangtuaku lama-kelamaan memilih mengacuhkan tingkah 'gila'ku. Tiap kali aku bertanya apa yang salah dengan diriku, Mama hanya bilang, "Enggak ada. Kamu baik-baik saja!" lalu berlalu. Hatiku gamang. Masa, sih, aku baik-baik saja? Mungkin secara fisik aku tak terlihat sakit. Tapi aku tahu, ada yang salah dengan diriku.
Lama-kelamaan, hubunganku dengan kedua orangtua makin retak. Rumah bukan lagi jadi tempat yang sejuk buatku berlindung, tapi justru panas layaknya medan perang. Aku mulai tak betah di rumah. Suatu hari, aku cekcok besar dengan Mama dan telepon genggamku disita kakakku. Ketika aku melangkahkan kaki ke luar rumah, mereka hanya berkata sambil lalu, "Kalau butuh apa-apa kabarin aja." Aku pun diusir dari rumah.
Sambil menangis, aku memeluk dua adikku yang masih kecil-kecil. Merana sekali rasanya diikhlaskan pergi seperti itu. Tanpa uang dan baju ganti, aku angkat kaki dari rumah. Saat merogoh kantong celana jins yang kukenakan, aku menemukan uang Rp 300. Dengan uang itu, aku pergi ke wartel (warung telepon) dan menelepon teman yang nomor telepon rumahnya aku ingat. Kepada teman itu aku minta izin menginap, tapi dia bilang, malam itu aku tak bisa datang karena suatu alasan.
Jadilah malam itu aku tidur di sebuah musala. Subuh-subuh sekali, aku dibangunkan untuk pindah karena musala itu mau dipakai salat berjamaah. Aku pindah tidur ke sebuah pos satpam yang terletak di pinggir kali. Jangan tanya bagaimana perasaanku. Berkali-kali terlintas berbagai kejahatan yang bisa menimpaku, tapi buru-buru kutepis pikiran itu. Aku menutup mata sambil merapal doa, semoga Tuhan masih melindungiku.
Masalah kembali datang saat perutku mulai keroncongan. Lapar tapi tak punya uang, aku mengamen di tepi jalan daerah Jatinegara, Jakarta Timur. Mungkin karena perawakanku bersih dan tak seperti pengamen lain, jarang ada yang mau memberi recehan kepadaku. Akhirnya, aku makan apa saja yang bisa dimakan.
Rupanya, setelah nyaris dua minggu menggelandang, Mama mendatangi sekolahku dan menceritakan apa yang terjadi ke kepala sekolahku sambil menangis. Alhasil, guru-guru dan kepala sekolah ikut heboh mencariku. Saat akhirnya aku ditemukan, lagi-lagi aku seperti menemui jalan buntu. Mama begitu ketus saat aku berada di rumah, tapi saat aku tak pulang ia mencariku. Mama mengusirku, tapi lalu menangis minta aku kembali. Pengusiran dan kabur dari rumah ini tak hanya terjadi sekali, tapi berkali-kali. Sungguh, masa remaja adalah masa suram buatku.
Astudesra Ajengrastri / bersambung
KOMENTAR