Hanya menangis meratapi nasib yang bisa dilakukan Sudarwati (39) saat ini. "Nita memang bukan anak kandung saya, tapi sejak umur 28 hari sampai usia 5 tahun, dia tak pernah lepas dari pelukan saya. Kalau sekarang tiba-tiba dia diambil dan dipisahkan dari saya, siapa yang tidak syok?" tuturnya sambil berurai air mata.
Saat ditemui di rumahnya, Desa Sambijajar, Tulungagung (Jatim), perempuan yang belum dikaruniai anak ini menceritakan asal-muasal Nita berada di tangannya sekian lama. Nita adalah anak paman Sudarwati yang bernama Paryono. Sang paman menikahi Mutingatun atau Muti tapi kemudian berpisah. Muti, kata Sudarwati, amat cemburu saat mengetahui istri siri pamannya, Sutiani, yang sudah lama menghilang tiba-tiba hadir lagi di tengah-tengah rumah tangga mereka.
"Padahal paman saya sudah tidak mau menerima Sutiani karena dia mengkhianati cintanya dengan meninggalkan rumah bertahun-tahun," papar Sudarwati sambil menjelaskan, sebelum menikah dengan Sutiani, sang paman sudah pernah menikah dan punya dua anak.
Wasiat Sebelum Ajal
Dipicu rasa cemburu kepada Sutiani, rumah tangga Paryono dan Muti pun goyah. Keduanya, menurut Sudarwati, mulai kehilangan rasa saling percaya. Bahkan konon sejak itu Muti sering pergi meninggalkan rumah berhari-hari tanpa jejak. "Padahal, paman saya sebenarnya cinta sekali sama Mbak Muti. Tapi tampaknya Mbak Muti sudah tidak peduli lagi," tutur Sudarwati.
Kekesalan sang paman, masih menurut Sudarwati, memuncak karena Muti terus saja meninggalkan rumah tanpa bisa dicegah. "Termasuk saat mbak Muti baru melahirkan Nita. Keluarga jadi heran, sudah punya bayi, kok, masih pergi diam-diam dan enggak jelas ke mana. Dia seperti tak peduli pada suami dan bayinya."
Begitulah, saat Nita berumur 28 hari, Muti akhirnya diusir dari rumah tanpa boleh membawa bayinya. Oleh Paryono, Nita si bayi mungil diserahkan ke Sudarwati yang kebetulan belum memiliki momongan. "Banyak sekali saksinya." Lalu saat menjelang ajal menjemput Paryono tahun 2009, "Ia berwasiat kepada saya agar mengasuh Nita dan siapa pun tidak boleh mengambilnya," cerita Sudarwati.
Selama lima tahun mengasuh Nita, hubungan Muti dan Nita seolah terputus. Bahkan, dua tahun pertama, Muti sama sekali tak pernah datang menjenguk Nita. Baru setelah melewati dua tahun, Muti sempat beberapa kali datang. "Itu pun tak lebih dari sekadar berkunjung selama 30 menit. Saat datang, Mbak Muti tak pernah memperlihatkan usaha untuk mendekati Nita layaknya seorang ibu yang kangen anaknya," kisah Sudarwati. Akan halnya Nita, ia tumbuh sehat dan bahagia di tengah orang-orang yang sangat mencintainya. "Dia lucu dan cerdas. Saya sampai rela keluar kerja semata-mata demi bisa total merawat dan mengantarnya sekolah," terang Sudarwati yang bersuamikan Muryatm, pemilik agen TKI di desanya.
Meski masih duduk di TK, "Nita sudah tahu nama anggota tubuhnya, baik dalam bahasa Arab maupun Inggris. Ia juga hafal ayat-ayat Al Quran. Hobinya menyanyi," tutur Muti dengan mata berbinar.
Apa mau dikata, kebahagiaan Sudarwati mulai terganggu sejak Muti ingin mengambil kembali Nita setelah Paryono meninggal. Seminggu setelah kepergian Paryono, Muti datang ke rumah Sudarwati. "Herannya, yang pertama kali ditanya malah soal uang Taspen dan gaji pensiunan Paryono sebagai guru SD Negeri. Memang, sih, meskipun sudah lama pisah, status Mbak Muti masih istri sah paman saya. Kami bantu urus soal Taspen dan uang pensiun sampai beres."
Rupanya tak hanya itu yang diinginkan Muti. "Dia minta Nita dikembalikan kepadanya. Sebetulnya saya tidak melarang tapi lakukan cara pendekatan yang baik. Selama ini, kan, kalau datang selalu dengan pengacaranya. Itu pun tidak lebih dari 30 menit," ujar Sudarwati jengkel.
Setelah terjadi tarik-ulur, Muti didampingi pengacaranya Djamal, SH, mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama (PA) Tulungagung demi mendapatkan hak asuh Nita. Gugatan Muti dikabulkan. Jelas, Sudarwati amat kecewa sehingga ia kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Ternyata Sudarwati kalah. "Tak bisa dibayangkan perasaan saya setelah kalah di pengadilan. Hati saya benar-benar hancur," ujarnya.
Ia mengaku merasa lebih miris saat eksekusi dilakukan (Jumat, 5/10). Juru sita, polisi, dan Muti datang ke rumah Sudarwati untuk mengambil Nita. "Sedih saya melihat Nita dipeluk setengah dipaksa lalu langsung diajak masuk ke dalam mobil yang sudah menanti di depan rumah. Nita berusaha meronta sambil teriak-teriak. Saya tak bisa apa-apa kecuali menangis sejadi-jadinya," tutur Sudarwati.
Sejak kepergian Nita, tiada hari tanpa tangisan Sudarwati. Setiap hari foto bocah kesayangannya itu tak pernah lepas dari genggamannya. "Suaranya yang menyayat memang-mangil nama saya saat dibawa paksa itu, sampai sekarang tidak bisa saya lupakan," ungkap Sudarwati berurai air mata sambil memeluk foto Nita.
Dua hari pasca eksekusi pengambilan Nita, di saat ia tak bisa lagi menahan kangen, Sudarwati sempat nekat ingin datang ke rumah Muti. 'Tapi saya batalkan karena takut diusir. Soalnya, kakak tiri Nita, anak Paryono dari istri pertamanya, diusir Muti waktu datang ke rumahnya. Nita pun disembunyikan. Sekarang saya cuma bisa berdoa agar dapat mukjizat supaya Nita bisa kembali di pelukan saya..."
Gandhi Wasono M. / bersambung
KOMENTAR