Masih terbayang jelas di ingatan Rini Novanita (37) rentetan kejadian di hari Sabtu (29/9) itu. Ia, putra sulungnya yang bernama Faris (12), dan orangtuanya, menjadi saksi saat pesawat AS-202 Bravo yang diawaki Toni Hartanto (42), jatuh berkalang tanah. Rini dan orangtuanya duduk di kursi penonton, sementara Faris yang sebelumnya dijemput dari sekolahnya melepas Toni dari kantor FASI. "Kami berpisah di situ," ujar Rini yang masih terus menangis jika menceritakan musibah itu. Tiap kali Rini menangis, Faris mengulurkan tisu dan menggenggam lembut tangan sang bunda. "Faris sangat tegar. Demi anak-anak, saya juga harus kuat."
Saat pesawat Toni tinggal landas, kisah Rini, "Faris telepon memberitahu pesawat Mas Toni berwarna merah-putih. Ketika terlihat pesawat itu muncul dari arah belakang hanggar tempat saya duduk, saya mulai merekamnya pakai kamera ponsel." Tak berapa lama pesawat terbang vertikal lalu menghilang tertutup atap-atap rumah. "Tapi, kok, tidak naik-naik lagi? Beberapa detik kemudian, muncul asap hitam dan orang-orang berteriak, 'Pesawat jatuh!'. Lemas lah seluruh persendian saya..." cerita Rini dengan mata berkaca-kaca.
Tanpa mengindahkan kondisi sekitar, Rini berlari menuju arah asap. Ia bahkan nekat memanjat pagar besi yang menutupi area itu. Namun sang ibu mencegahnya. "Saya histeris dan lari ke sana-ke mari. Saya bingung. Yang saya tahu, harus segera menuju asap itu," papar Rini yang kemudian tak sengaja bertubrukan dengan seorang pria berseragam TNI AU. "Saya bilang ke dia, suami saya ada di pesawat itu. Lalu dia membawa saya ke kantor dan minta saya duduk."
Sepanjang menunggu kepastian berita, hati Rini tak henti berdebar. "Saya terus berdoa, memohon keajaiban. Siapa tahu Mas Toni sempat menggunakan kursi lontar dan selamat. Saya mohon kepada Allah, biarlah Mas Toni cacat asalkan tetap hidup." Saat menunggu, barulah ia teringat Faris yang masih berada di kantor FASI. "Saat saya telepon Faris, dia sudah menjerit-jerit. Saya paham, Mas Toni tidak selamat," katanya sambil menambahkan, Faris terus berada di samping ayahnya, sejak melakukan briefing hingga naik pesawat. "Dia juga melihat ayahnya melambaikan tangan untuk terakhir kalinya sebelum pesawat jatuh."
"Semua orang bilang, tidak usah. Khawatir saya tak kuat," kata Rini yang menduga jenazah sang suami sudah tak utuh lagi akibat benturan yang menghancurkan moncong pesawat. "Saat peti jenazah dibawa ke rumah pun, sudah dalam kondisi ditutup. Saya juga tidak ngotot mau lihat jasadnya," tutur Rini yang menjalin asmara dengan Toni saat mereka masih tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan, tahun 1990-an. "Saat itu saya masih kuliah, sementara Mas Toni baru bergabung dengan TNI AU dan penempatan pertama di sana. Rumah kami bersebelahan," ujar Rini yang berayahkan prajurit TNI.
Sejak menikah tahun 1998, Rini setia mendampingi Toni yang di TNI AU menerbangkan pesawat tempur jenis Skyhawk. Karena penugasan Toni kerap berpindah daerah sementara Rini bekerja di Jakarta, pasangan yang dikaruniai dua anak, Faris dan Muhammad Hanif Rafassya Rifki Hartono (2,5), ini pun terpaksa tinggal berjauhan. "Baru empat bulan lalu kami putuskan tinggal di Bandung."
Rupanya, Toni yang beberapa waktu lalu 'gantung helm' alias berhenti terbang, dipindahtugaskan menjadi staf TNI AU. "Mas Toni memutuskan pensiun dini karena tak betah kerja di belakang meja. Terbang sudah jadi bagian jiwanya. Dia lalu mendaftar jadi instruktur di Bandung Pilot Academy (BPA) setahun lalu," kisah Rini sambil menambahkan, "Selama berkumpul kembali empat bulan itu, banyak sekali kenangan indah. Kebetulan rumah ini juga belum jadi sepenuhnya, Mas Toni suka bantu mengecat bersama para tukang jika sedang tidak mengajar," kenang Rini.
Suatu ketika, ingatnya, Toni pulang membawa berkantung-kantung plastik berisi lampu. Saat ditanya buat apa lampu sebanyak itu, "Kata Mas Toni, untuk dipasang di ruang tamu dan garasi. Jadi kalau ada acara, bisa terlihat bersih dan rapi. Tak tahunya dia menyiapkan lampu untuk acara pengajian ini," ungkap Rini meneteskan air mata.
Firasat lain yang dirasakan Rini, "Tanpa sepengetahuan saya, dia menelepon teman-teman lamanya di AU. Dia minta mereka datang ke Bandung hari Sabtu untuk menonton atraksinya. 'Setelah itu, kumpul di rumahku, ya,' katanya. Ternyata benar, sepulang menonton BAS, semua temannya memang berkumpul di rumah," imbuh Rini sambil mengatakan, rumah yang ditempatinya sengaja dipilih karena dekat dengan rumah orangtuanya. "Kata Mas Toni, biar kalau ditinggal ada yang jaga anak-anak. Tak tahunya, ini maksudnya..."
Ajeng
KOMENTAR