Female Photographer Community MEMBINGKAI ALAM LEWAT KAMERA
Mulanya Mira Chandra, Ary Yuniasti, dan seorang rekan lain ikut berburu foto yang diadakan sebuah komunitas fotografi di Jakarta. Sejak itu ketiganya merasa akan lebih seru bila ada komunitas fotografi perempuan. "Kami sepakat membentuknya pada 4 Desember 2008. Lalu, kami sounding ide itu ke situs komunitas fotografi yang kami ikuti. Waktu itu, perempuan yang hobi fotografi belum sebanyak sekarang," ujar Mira yang sudah hobi memotret sejak remaja.
Komunitas Female Photographer pertama kali berburu foto pada Desember 2008 ke kawasan Kota Tua di Jakarta Utara. Ketika itu sebanyak 25 perempuan ikut berburu foto. Pada 7 Januari silam, terjadi perubahan kepengurusan dan rekan Mira mengundurkan diri. Mira dan Ary lalu mengubah nama komunitas menjadi Female Photographer Community (FPC), yang sekaligus jadi akun grup di Facebook. Kegiatan FPC di antaranya mengadakan workshop dan berburu foto.
"Kami mengundang narasumber untuk jadi pembicara di workshop, misalnya bicara soal pencahayaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan fotografi. Biasanya workshop diadakan tiga bulan sekali," papar Mira sambil menambahkan, fotografer profesional pun diundang untuk jadi pembicara agar anggotanya bisa belajar sekaligus praktik. Sementara kegiatan berburu foto ke luar kota sudah lebih dari 30 kali diadakan, biasanya berdasarkan tema.
Para anggota dipersilakan bila ingin menggunakan kamera saku atau kamera ponsel. Selain itu, bukan hanya fotografer atau yang gemar memotret saja yang bisa jadi anggota. "Penikmat dan peminat foto juga boleh bergabung. Biasanya dari situ mereka akan tertarik beli kamera dan senang memotret."
Usia anggota pun bervariasi, mulai dari siswi SMP sampai ibu-ibu. Lantaran sesama perempuan, para anggota yang sebulan sekali berkumpul ini merasa lebih bebas mengobrol tanpa rasa malu atau risih. Hanya saja, kekuatan fisik terkadang jadi kendala, apalagi bila berburu foto dilakukan di medan yang berat atau cuacanya cukup ekstrem. "Kadang mereka jadi sakit atau tidak bisa maksimal memotret. Belum lagi, sebagai perempuan saat menstruasi juga bisa jadi masalah tersendiri."
Namun hasil foto yang indah membuat mereka merasa pengorbanan yang dilakukan tak sia-sia, apalagi tak jarang harus meninggalkan keluarga di rumah. Bahkan, FPC sudah tiga kali berpameran. "Banyak anggota yang sekarang sudah "jadi". Dulu baru belajar motret, sekarang fotonya sudah banyak menghiasi koran. Dulu hanya iseng, sekarang sudah terima order. Banyak, lho, anggota FPC yang dapat order antara lain untuk pernikahan dan iklan," ujar Mira bangga.
Anggota FPC, menurut Mira lagi, tersebar di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri. Manakah lokasi berburu foto paling bagus di Indonesia? "Belitung. Medannya tidak berat, alamnya luar biasa indah. Indonesia punya alam yang bagus untuk difoto. Nah, FPC dibentuk agar kami tetap bisa mengapresiasi dan memperkenalkan keindahan alam Indonesia. Visi dan misi kami adalah memajukan dunia pariwisata dan kebudayaan Indonesia lewat foto," papar Ary antusias.
Saat mengambil kuliah S2 di Inggris tahun 2004, Imazahra sempat bingung ketika libur panjang tiba karena kampusnya sepi. Rupanya, para mahasiswa liburan ala backpack. Barulah Ima tahu, rupanya traveling dengan gaya backpack sudah jadi budaya di Amerika, Kanada, dan Eropa. Ima jadi tertarik mencoba dan pelan-pelan mencari tahu soal backpack di internet. Apa daya, saat itu belum banyak orang Indonesia yang bepergian dengan cara ini.
"Ada memang milisnya, tapi masih sepi. Buku tentang traveling juga belum banyak. Akhirnya saya menemukan situs dari luar negeri tentang backpack, lengkap dengan tipsnya," ujar Ima yang sebelumnya bingung bagaimana bepergian ala backpack. Setelah tahu, ia jadi ketagihan dan berkali-kali melakukannya. Tahun 2007, lanjut Ima, mulai banyak tumbuh komunitas backpack dunia di Indonesia. Ia pun aktif di beberapa komunitas dan blog traveling.
Namun Ima merasa semua komunitas itu masih terbilang umum, tak ada yang khusus perempuan. Terkadang, menurut perempuan yang lebih dikenal sebagai penulis ini, ada hal-hal yang tak bisa diceritakan perempuan begitu saja ke forum umum. Sebab, gaya bepergian anggota sejumlah komunitas tersebut berbeda-beda, mulai dari traveling nyaman sampai backpack yang ekstrem. Akhirnya, Ima mendirikan Komunitas Muslimah Backpacker Indonesia (KMBI) pada Desember 2011 di grup Facebook dengan nama Muslimah Backpacker.
"Saya gunakan kata muslimah karena yang lebih takut bepergian adalah perempuan berjilbab," ujar Ima. Terutama, lanjut perempuan yang menjadi konsultan di sebuah LSM ini, bila bepergian ke negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim, misalnya Amerika atau negara-negara Eropa. "Banyak yang berjilbab bertanya, kalau mau backpack ke Eropa, misalnya, akan diganggu enggak? Terutama setelah adanya tragedi pengeboman di World Trade Center di Amerika."
Pada 1-2 bulan pertama, KMBI masih sepi peminat. Namun Ima tak bosan mengunggah foto dan cerita perjalanan yang ia lakukan ke berbagai tempat dan negara. Sejak itulah makin banyak perempuan yang bergabung jadi anggota. Kini KMBI punya 500 anggota dari berbagai negara yang semuanya aktif. Mereka cukup beragam, mulai dari siswi kelas 3 SMA sampai ibu-ibu berusia 50 tahun. Meski banyak anggota yang sudah menikah, bepergian tak jadi masalah.
"Kecenderungannya, suaminya juga suka backpack. Atau suaminya egaliter sehingga tidak keberatan istrinya bepergian, sementara dia menjaga anak-anak di rumah," imbuh Ima yang dibantu tiga admin lain dalam mengelola komunitas ini.
Apa syarat untuk jadi anggota? "Perempuan. Itu saja. Tidak harus berjilbab, karena banyak anggota yang tidak. Malah, non muslim pun ada dua orang. Saya memberi nama komunitas seperti itu lebih agar para perempuan muslim terinspirasi untuk bepergian, bukan untuk mengotak-kotakkan."
Kegiatannya, antara lain bepergian bersama, termasuk ke Garut Selatan dan Kalimantan Selatan. Bulan Ramadan lalu, mereka juga sekaligus mengadakan bakti sosial ke Garut. "Kami melakukan baksos di pesantren yang santrinya penghapal Quran. Ini pengalaman berkesan, karena banyak dari kami yang menangis saat berkunjung ke sana. Kami merasa "tertampar", sudah setua ini tapi dalam hal hapal ayat suci kalah jauh dibanding anak-anak kecil dari golongan tidak mampu itu," kenang Ima.
Bepergian bersama seperti ini juga melatih mental para anggota. Saat menginap di rumah penduduk, salah seorang anggota yang tergolong anak manja mengeluhkan fasilitas penginapan. Setelah diberi pengertian, akhirnya dia bisa menerima. "Pengalaman itu justru jadi titik balik dia untuk jadi lebih tegar. Ada pula yang sebelumnya takut air, setelah kami beri semangat jadi berani nyebur. Punya hobi seperti ini memang harus siap mental dan mau berbagi," jelas perempuan yang biasanya mengajak suami atau teman lelaki untuk ikut mengawasi bila bepergian ke medan yang berisiko.
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR